Sunday, October 21, 2012

Sebab Kerasnya Kalbu

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk kalbu mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu kalbu mereka menjadi keras.”

(QS, al-Hadid: 16)

 

Makna Ayat

 

Ibnu Katsir t dalam mukadimah Tafsir-nya mengatakan, para ulama wajib menyingkap makna-makna yang tertera dalam kalamullah (al-Qur’an) dan tafsirnya, mencarinya pada sumbernya, mempelajari, dan mengajarkannya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mencela orang-orang sebelum kita dari kalangan ahlul kitab karena mereka berpaling dari Kitabullah yang diturunkan kepada mereka, lantas mereka mendatangi, mendekat, dan mengumpulkan urusan dunia. Mereka tersibukkan dari Kitabullah oleh urusan yang mereka tidak diperintahkan untuk mengikutinya.

 

 

Maka dari itu, wajib atas kita semua—kaum muslimin—untuk berhenti dan tidak melakukan perbuatan yang menjadi sebab Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencela mereka. Kita wajib mengikuti apa saja yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yakni mempelajari Kitabullah, mengajarkan, memahami, dan memahamkannya.

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,  “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk kalbu mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya setelah diturunkan al-Kitab kepadanya. Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu kalbu mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebenaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.” (al-Hadid: 16—17)

Penyebutan ayat ini setelah ayat sebelumnya mengandung peringatan bahwa sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menghidupkan bumi sesudah matinya, demikian pula Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan melunakkan kalbu dengan sebab iman dan petunjuk, yang sebelumnya keras karena dosa dan kemaksiatan.

 

Beliau juga menyebutkan ucapan Qatadah t, bahwa Syaddad bin Aus z pernah meriwayatkan dari Rasulullah n, Beliau Shallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda (yang artinya), “Yang pertama kali akan diangkat dari diri manusia adalah khusyuk.”

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang orang-orang mukmin menyerupai orang-orang sebelum mereka yang membawa al-Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Tatkala berlalu atas mereka masa yang panjang, mereka mengganti Kitabullah yang ada di tangan mereka dengan cara menukarnya dengan harga yang sedikit. Mereka melemparkannya ke belakang punggung mereka, memiliki pendapat/ucapan yang berbeda-beda, bertaklid kepada pendapat orang dalam urusan agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dan menjadikan orang-orang alim mereka sebagai Rabb selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di saat itulah kalbu mereka menjadi keras. Mereka tidak bisa menerima nasihat. Kalbu mereka tidak bisa menjadi lunak, baik oleh janji maupun ancaman.

 

Asy-Syaikh as-Sa’di t mengatakan bahwa ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan (pada ayat sebelumnya) tentang keadaan orang-orang mukmin—baik pria maupun wanita—dan orang-orang munafik—baik pria maupun wanita—kelak di hari akhir, hal itu termasuk perkara yang seharusnya mendorong kalbu untuk tunduk kepada Rabbnya dan tenang/tenteram karena keagungan-Nya. Namun, tatkala keadaan mereka tidak sebagaimana yang dimaksud, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan teguran kepada orang-orang mukmin. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,  “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk kalbu mereka mengingat Allah….”

 

Maknanya, belumkah datang waktu yang (al-Qur’an) menjadikan kalbu mereka lunak dan tunduk untuk mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, patuh kepada perintah dan larangan-Nya, serta kepada kebenaran yang telah turun, yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam? Hal ini mendorong orang-orang yang beriman untuk berusaha dengan sungguh-sungguh menundukkan kalbu mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tunduk kepada al-Qur’an dan al-Hikmah (as-Sunnah), mengingat berbagai peringatan dan hukum syariat-Nya setiap waktu, serta melakukan muhasabah (introspeksi) diri tentang hal-hal tersebut.

 

Selanjutnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang orang-orang mukmin menyerupai orang-orang yang telah diturunkan al-Kitab kepada mereka. Kitab itu mengharuskan kekhusyukan kalbu dan ketundukan yang sempurna. Akan tetapi, mereka tidak menetapi dan tidak mengerjakan apa yang ada pada al-Kitab. Berlalu atas mereka masa yang panjang dalam keadaan kelalaian terus-menerus ada pada diri mereka. Akhirnya, hilanglah keimanan mereka dan sirnalah keyakinan mereka. Karena itulah, kalbu mereka menjadi keras.

 

Maka dari itu, setiap waktu kalbu sangat butuh untuk mengingat kepada kebenaran yang telah diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan berbicara dengan hikmah. Tidak sepantasnya kalbu lalai dari hal tersebut karena akan dapat menyebabkan kerasnya kalbu dan keringnya air mata.

 

Mengenal Hakikat Kalbu

Termasuk prinsip agama dan landasan bagi para penempuh kebaikan adalah mengenal kalbu dan sifat-sifatnya. Karena, barang siapa mengetahui hakikat kalbunya, ia akan mengetahui hakikat Rabb-nya. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui hakikat kalbu dan jiwanya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,  “Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan kalbunya.” (al-Anfal: 24)

Maksudnya, dengan menghalangi manusia dari mengetahui hakikatnya dan dari merasa terawasi oleh-Nya.

Kalbu (jantung, Ind.) adalah organ tubuh yang sangat penting. Ia memiliki berbagai jenis. Ada kalbu yang sakit (berpenyakit) dan ada yang sehat (selamat). Ada yang lunak (lembut dan khusyuk), ada pula yang keras (kering dan kasar).

Ayat yang disebutkan dalam pembahasan tafsir kali ini menjelaskan bahwa seorang mukmin hendaknya melunakkan kalbunya dengan cara tunduk mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, patuh kepada perintah dan larangan-Nya. Seorang mukmin tidak boleh menjadikan kalbunya keras, dengan cara tidak meniru perbuatan orang-orang ahlul kitab sebelumnya.

 

Penyebab Kerasnya Kalbu

Al-Alusi t mengatakan bahwa kata “kerasnya kalbu” berasal dari kata “kering dan keras”. Ibrahim bin as-Sari t menyatakan, kata qasat bermakna ghilzhah, yaitu kasar dan keras. Jadi, kerasnya kalbu bermakna hilangnya kelembutan, kasih sayang, dan kekhusyukan darinya.

 

Berikut ini beberapa hal yang menjadi penyebab kerasnya kalbu.

 

1. Melanggar janji (berkhianat)

Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Bani Israil. Mereka suka mengubah kalam (Allah Subhanahu Wa Ta’ala), dengan cara mengubah arti kata, tempat, atau menambah dan menguranginya. Mereka sengaja melupakan sesuatu yang telah diperingatkan. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,  “(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka dan Kami jadikan kalbu mereka keras membatu.” (al-Maidah: 13)

 

2. Berlalunya masa yang panjang (terus-menerus dalam kelalaian, red).

Hal ini seperti yang terjadi pada ahlul kitab. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan kepada mereka al-Kitab, yang mengharuskan khusyuknya kalbu dan ketundukan yang sempurna. Akan tetapi, mereka tidak menetapi dan tidak mengerjakan apa yang ada pada al-Kitab, hingga berlalu atas mereka masa yang panjang dalam keadaan kelalaian terus-menerus ada pada mereka. Akhirnya, hilanglah keimanan mereka dan sirnalah keyakinan mereka. Oleh sebab itulah, kalbu mereka menjadi keras.

Maka dari itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang orang-orang mukmin menyerupai mereka.

 

3. Dosa dan kemaksiatan.

Sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menghidupkan bumi sesudah matinya, maka demikian pula Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan melunakkan kalbu dengan sebab iman dan petunjuk, setelah kalbu menjadi keras karena dosa dan kemaksiatan.

Ibnul Qayyim t mengatakan bahwa di antara perkara yang harus diketahui, dosa dan kemaksiatan itu berbahaya (berdampak buruk). Pengaruh buruknya kepada kalbu layaknya pengaruh racun terhadap badan, dengan tingkatan yang tidak sama. Apa pun keburukan dan penyakit yang ada di dunia dan akhirat, tiada lain penyebabnya adalah dosa dan kemaksiatan.

 

Tingkatan Kerasnya Kalbu

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfiman,  “Kemudian setelah itu kalbumu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai darinya, di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air darinya, dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.” (al-Baqarah: 74)

 

Al-Alusi t mengatakan, ayat di atas mengandung isyarat perbedaan (tingkat) kerasnya kalbu, sebagaimana halnya perbedaan tingkat kerasnya batu. Para ulama tafsir menyebutkan ucapan Ibnu Abbas c dan Mujahid t dalam hal ini.

Ibnu Abbas l mengatakan, “Sesungguhnya, di antara batu itu ada yang lebih lunak daripada kalbu kalian dengan sebab seruan kebenaran yang tertuju kepadanya.”

Mujahid t berkata, “Setiap batu yang mengalir sungai darinya, yang terbelah lantas keluar mata air darinya, dan yang meluncur jatuh dari puncak gunung adalah karena takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

 

Tercelanya Kalbu yang Membatu

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,  “Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allah kalbunya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu kalbunya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu kalbunya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)

 

Abu Ja’far ibnu Jarir ath-Thabari t mengatakan, “Apakah sama orang yang dilapangkan kalbunya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk mengenal-Nya, menetapkan keesaan-Nya, mengakui rububiyah-Nya, tunduk karena ketaatan kepada-Nya, ‘ia selalu mendapat cahaya dari Rabb-Nya’, yaitu di atas hujah dan keyakinan yang nyata pada urusan yang ia berada padanya, dengan cahaya kebenaran yang ada di kalbunya—yang dengan sebab itu ia mengikuti perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak melanggar larangan-Nya—dengan orang yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan kalbunya keras dan kosong dari mengingat-Nya, sempit dari mendengar kebenaran dan berbuat yang benar, serta mengikuti hawa nafsunya?”

Tentu tidak sama.

 

Berbolak-Baliknya Kalbu

Sebagai akhir pembahasan rubrik ini, kami mengingatkan pribadi kami dan segenap kaum muslimin bahwa kalbu yang ada dalam diri kita bukan kita yang mampu mengendalikannya. Seperti pada ayat di atas, Allah Subhanahu Wa Ta’ala membatasi antara manusia dan kalbunya. Selain itu, kalbu dapat berbolak-balik dengan cepat sehingga seseorang tidak boleh merasa aman dengan keadaannya sekarang. Hendaknya ia sering berdoa dan memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk ditetapkan serta diteguhkan kalbunya di atas kebaikan dan kebenaran. Lebih-lebih, kita berada pada masa yang jauh dari diturunkannya al-Kitab yang merupakan kebenaran, dan keadaan yang semakin buruk.

 

Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda,  “Sesungguhnya kalbu-kalbu manusia seluruhnya berada di antara dua jari dari jari-jemari ar-Rahman seperti kalbu yang satu, Ia ubah (bolak-balikkan) sebagaimana yang Ia kehendaki.” Lantas Rasulullah shalallahu alaihi wassalam berdoa, “Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan kalbu, palingkanlah kalbu kami untuk senantiasa berada di atas ketaatanmu.” (HR. Muslim, dari Abdullah bin Amr c)

Beliau Shallahu ‘Alaihi Wassalam juga bersabda,  “Perumpamaan kalbu itu seperti bulu yang berada di padang sahara, yang dibolak-balikkan oleh angin.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Musa al-Asy’ari z)

 

Ketahuilah, dalam hal tetapnya dalam kebaikan/keburukan atau kebimbangan, kalbu terbagi tiga.

1. Kalbu yang terisi oleh ketakwaan, disucikan dengan ibadah dan akhlak yang mulia, dibersihkan dari keburukan akhlak, dibukakan bisikan yang telah menetap di kalbu berupa kebaikan, dan para malaikat pun membentangkan hidayah baginya.

2. Kalbu yang lalai, dipenuhi oleh hawa nafsu, dikotori oleh kejelekan, dilumuri oleh akhlak yang tercela.

Menguatlah kekuasaan setan untuk memperluas wilayahnya, sebaliknya kekuasaan iman melemah. Kalbu penuh kejelekan hawa nafsu, cahayanya sirna sehingga berubah seperti mata yang tertutupi oleh asap, tidak mungkin dapat melihat. Larangan dan nasihat tidak kagi berpengaruh baginya.

3. Kalbu yang membuka bisikan hawa nafsu, lalu mengajaknya pada keburukan. Namun, bisikan iman menyusulnya dan mengajaknya pada kebaikan. (dinukil dari Mukhtashar Minhajil Qashidin)

Wallahul muwaffiq.

 

Catatan :

Penjelasan Mufradat Ayat (al-Hadid: 16),

(penjelasan ini aslinya ada di paragraf depan, dipindahkan khusus bagi yang memerlukan detailnya, bila terjadi kesalahan tulis bahasa arab dikarenakan teknis keterbatasan program computer kami, red)

Mayoritas ulama membacanya أَلَمْ, sedangkan al-Hasan dan Abu Simak rahimahumallah membacanya dengan أَلَمَّا.

Al-Qurthubi t mengatakan bahwa يَأْنِ berasal dari kata آنَ dengan mad (memanjangkan alif) yang bermakna حَانَ, yaitu telah dekat dan tiba waktunya.

Ibnu Qutaibah t mengatakan bahwa kata ini berasal dari أَنَى yang bermakna حَانَ الشَّيْءُ, artinya telah dekat atau tiba waktunya.

Asy-Syinqithi t mengungkapkan bahwa setiap fi’il mudhari’ yang majzum dengan lam yang tertera dalam al-Qur’an, apabila didahului oleh hamzah istifham, mengandung dua sisi penafsiran.

Makna mudhari’ (yang berarti “sedang” atau “akan”) diubah menjadi makna madhi (yang berarti “telah lampau/berlalu”). Adapun nafi (peniadaan) diubah maknanya menjadi itsbat (penetapan), dan hamzam istifham di sini bermakna istifham inkari.

Dengan demikian, makna kalimat tersebut adalah الْمَاضِي الْمُثْبَتُ (yang telah lalu yang ditetapkan). Jadi, makna ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ adalah آنَ لِلَّذِينَ آمَنُوا. Artinya, telah dekat/tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman.

Apa pun bentuknya, apakah berasal dari kata آنَ seperti بَاعَ-يَبِيْعُ, atau dari kata أَنَى seperti رَمَى-يَرْمِي, keduanya bermakna حَانَ, yaitu telah dekat/tiba waktunya.

Kata khusyu’ secara bahasa berasal dari kata yang bermakna ketenangan, ketenteraman, dan kerendahan (tawadhu’). 

Hal ini seperti yang tertera dalam ayat,  “Dan merendahlah semua suara kepada Rabb Yang Maha Pemurah.” (Thaha: 108)

Demikian pula bumi yang kering, tandus, rendah, tidak tampak hijaunya tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman, disebut bumi yang khusyu’. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

“Di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur.” (Fushshilat: 39)

Adapun menurut istilah syariat, khusyu’ adalah rasa takut karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang merasuk dalam kalbu dan membekas, hingga terlihat tanda kerendahan dan ketenangan pada anggota badan, seperti keadaan orang yang takut.

Yang dimaksud dengan al-haq disini adalah al-Qur’an.

Maksudnya, berlalu atas mereka masa, zaman, dan rentang waktu yang panjang.

 

 

Sumber :
Sebab Kerasnya Kalbu
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 079
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin)
http://asysyariah.com/sebab-kerasnya-kalbu.html

No comments:

Post a Comment

Kemerdekaan Menurut Islam

Salah satu hak setiap bangsa, golongan, masyarakat atau pribadi yaitu hak mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Lalu, ba...