Friday, November 23, 2012

Manfaatkan waktu senggang untuk belajar agama, beribadah dan berdoa

Alhamdulillah sudah lancar kembali, maaf ya.. para pembaca sudah seminggu lebih ga bisa posting disebabkan sesuatu hal, gangguan berhubungan dengan koneksi  (modem error). sekarang ada rezeki buat beli lagi, semoga artikel2 ini bermanfaat buat kita semua. dan semoga ilmu yang kita dapat dengan membaca bermanfaat buat bekal kita didunia dan akhirat. 

Insya Allah. 

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan hikmah-Nya yang sempurna dan keadilan-Nya menjadikan dunia yang fana ini sebagai medan ujian dan cobaan bagi hamba-hamba-Nya. Inilah yang diberitakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya:

“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha pengampun.” (Al-Mulk: 2)

 

Mereka dihadapkan pada berbagai ujian (fitnah) dan cobaan. Di antaranya adalah (ujian) harta, sehingga ada sebagian orang yang kaya dan ada yang miskin. Juga tahta sehingga di antara mereka ada yang menjadi pejabat dan ada yang menjadi rakyat. Dan ujian berupa ilmu, maka di antara mereka ada yang berilmu dan ada yang tidak berilmu (jahil/bodoh). Dan masih banyak lagi berbagai fitnah (ujian) di dunia ini.

Hal ini sebagaimana yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan:

“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha melihat.” (Al-Furqan: 20)

 

 

 

Dengan adanya berbagai ujian dan cobaan itu, kita pun menyaksikan sebagian orang berjatuhan. Kita senantiasa memohon hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala keselamatan dari berbagai fitnah (ujian dan godaan). Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  “Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah.” (At-Taubah: 49)

 

Sehingga, terpilahlah hamba-hamba-Nya menjadi dua golongan, ash-shadiqun (orang-orang yang benar/jujur) dan al-kadzibun (orang-orang yang berdusta). Sebagaimana yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala beritakan:  Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-’Ankabut: 1-3)

 

Lalu, siapakah orang yang akan selamat tatkala menghadapi berbagai ujian dan cobaan, sehingga dia berhak mendapatkan janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dunia dan di akhirat? Jawabannya, mereka pastilah orang-orang yang mendapatkan keutamaan dan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya:  “Maka kalau tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya atasmu, niscaya kamu tergolong orang-orang yang rugi.” (Al-Baqarah: 64)

“Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah atasmu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa’: 83)

 

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya: “Maksudnya, bila bukan karena hidayah taufiq yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala karuniakan kepada kalian, juga tuntunan adab dan ilmu yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala ajarkan kepada kalian –di mana kalian sebelumnya tidak mengetahuinya– niscaya kalian akan mengikuti setan kecuali sedikit saja di antara kalian yang selamat. Karena tabiat asli manusia adalah zalim dan jahil, sehingga tidaklah jiwa memerintahkan kecuali kepada yang jelek.”

Apabila dia meminta perlindungan kepada Rabbnya dan berpegang teguh dengan-Nya, serta bersungguh-sungguh dalam hal itu, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan merahmatinya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberi hidayah kepadanya untuk melakukan berbagai kebaikan dan melindunginya dari tipu daya setan yang terkutuk.

 

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan:

“Fitnah (ujian/godaan) itu banyak jumlahnya dan bermacam-macam bentuknya. Dia datang silih-berganti dari waktu ke waktu. Seorang muslim yang berpegang teguh dengan agamanya senantiasa akan menghadapi berbagai ujian itu. Barangsiapa yang selamat dari berbagai macam fitnah (ujian), berarti dia memiliki dua hal yang agung, yaitu keutamaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang dilimpahkan kepadanya dan mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman kepada para sahabat  setelah tersebarnya haditsul ifk (berita keji dan dusta) terhadap Ummul Mukminin Aisyah rah:

“Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya atas kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (An-Nur: 21)

Selanjutnya berkata: “Alangkah nikmatnya orang yang diberi hidayah taufiq untuk menjauhi berbagai fitnah, baik yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (At-Tanbihul Hasan hal. 12)

 

Demikianlah. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda:

“Sesungguhnya orang yang bahagia adalah yang dijauhkan dari fitnah-fitnah, dan barangsiapa yang diuji lalu bersabar, maka betapa indahnya.”

 

Di antara upaya yang bisa ditempuh agar seorang muslim selamat dari berbagai fitnah adalah:

 

1. Menyibukkan diri dengan menuntut ilmu (belajar Islam)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda:

“Barangsiapa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala kehendaki kebaikan baginya niscaya Allah akan menjadikannya paham dalam agama.” (Muttafaqun alaih dari Mu’awiyah z)

Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Yang dapat dipahami dari hadits ini adalah barangsiapa yang tidak berusaha untuk mempelajari agama, di mana dia tidak mempelajari kaidah-kaidah yang ada di dalamnya, juga tidak mempelajari segala sesuatu yang terkait dengannya berupa berbagai permasalahan cabangnya, sungguh dia telah diharamkan (terhalang) dari kebaikan.” (Fathul Bari 1/165)

 

Ummu Abdillah bintu Asy-Syaikh Muqbil mengatakan: “Termasuk pengarahan orangtuaku (yakni Asy-Syaikh Muqbil t) adalah ‘Bersungguh-sungguhlah kalian dalam belajar, sebelum datangnya hal-hal yang akan memalingkan kalian darinya.’ Dan kesibukan-kesibukan itu berbanding terbalik dengan mencari ilmu, mengulangnya, terlebih lagi menghafalnya. Semakin banyak kesibukan akan melemahkan ingatan. Oleh karena itulah, sebagian ulama ketika menduduki jabatan hakim, seperti Syarik bin Abdillah An-Nakha’i t, hafalannya menjadi jelek karena kesibukannya. Meskipun ada ulama lain yang ketika menjabat justru semakin bertambah banyak ilmunya. Permasalahan apapun yang dihadapkan kepadanya dia akan membahasnya, seperti Al-Imam Asy-Syaukani t. Barakah itu hanyalah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata.” (Nashihati lin Nisa’ hal. 23)

 

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan: “Sesungguhnya, termasuk faedah mempelajari dan memahami ilmu agama ini adalah berusaha menempuh jalan yang akan menyelamatkan diri dari berbagai macam fitnah. Ini adalah keutamaan yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala karuniakan kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.”

 

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya keagungan agama Islam itu tersimpan dalam setiap ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam. Sehingga tatkala umat Islam menghadapi berbagai ujian dan cobaan, sudah ada jalan keluarnya di dalam ayat atau hadits tersebut. Bahkan, satu ayat atau hadits, bisa mengandung lebih dari satu jalan keluar. Sungguh, Islam datang membawa obat bagi setiap fitnah yang muncul, namun sedikit sekali orang yang terobati dengannya.

 

Sebagai contoh, ketika Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam meninggal, terjadi perbedaan pendapat di kalangan sahabat, apakah pakaian yang dikenakan beliau harus dilepaskan ketika dimandikan atau tidak. Tiba-tiba mereka mendengar perkataan “Jangan kalian lucuti pakaian Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam”, sehingga mereka tidak melakukannya. Mereka juga berbeda pendapat tentang siapa yang akan menjadi khalifah setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam meninggal. Abu Bakr z kemudian berkata: Aku mendengar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda: “Quraisy adalah yang akan memegang urusan ini.” Sehingga para sahabat pun menyerahkan kedudukan tersebut kepada Abu Bakr z, karena beliau dari Quraisy.

 

Perhatikanlah bagaimana perbedaan di antara mereka  dapat dengan mudah diselesaikan dengan berdasarkan ilmu dan tunduk kepada dalil serta penjelasan yang syar’i. Sehingga menuntut ilmu dan memahaminya adalah dasar atau fondasi setiap kebaikan. Hanya saja, menuntut ilmu dilakukan kepada ahlul ilmi yang lurus aqidahnya, selamat manhajnya, dan bagus niatnya. Kemudian, memilih kitab-kitab yang baik dan guru yang cerdas dalam memahami agama. Inilah hal-hal yang dicari oleh setiap orang yang mencari kebenaran.” (At-Tanbihul Hasan, hal. 26-27)

 

2. Menyibukkan diri dengan ibadah

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Ali ‘Imran: 133)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam bersabda:  “Bersegeralah kalian beramal (shalih) untuk menyelamatkan diri dari berbagai fitnah yang seperti potongan malam yang gelap. Di mana seseorang pada pagi hari dalam keadaan beriman lalu di sore harinya dia menjadi kafir. Ada pula yang di sore hari dalam keadaan beriman kemudian dia masuk waktu pagi menjadi kafir. Dia menjual agamanya untuk mendapatkan keuntungan dunia.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah z)

 

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Bila setiap muslim menyibukkan diri dengan ibadah sebagaimana yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala kehendaki, niscaya tidak ada waktu yang terbuang sia-sia untuk terlibat dalam fitnah, berdebat dan berbantah-bantahan. Benarlah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam ketika bersabda:  “Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia tertipu padanya (terbuang sia-sia): nikmat kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas c)

 

Beliau hafizhahullah juga berkata: “Kata ibadah di sini mencakup seluruh jenis ibadah, seperti kejujuran, keikhlasan, perasaan dekat (diawasi) oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, takwa, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat, sabar, teguh di atas kebenaran, komitmen dalam belajar dan mengajarkan ilmu yang bermanfaat. Demikian pula amalan shalih yang lain seperti shalat dan puasa, dalam hal muamalah maupun akhlak, serta macam-macam ibadah lainnya.” (At-Tanbihul Hasan hal. 12)

 

Hal ini termasuk terapi yang sangat baik.

Demikian juga upaya untuk mengajarkan hal-hal yang bermanfaat bagi umat manusia. Bila semua orang menyibukkan diri dengan amalan masing-masing, niscaya tidak akan terjadi fitnah, seperti demonstrasi dan penggulingan kekuasaan. Semua ini adalah fitnah. Maka, alangkah agungnya terapi yang syar’i ini dan alangkah sedikitnya orang yang bisa mengambil manfaat darinya. (At-Tanbihul Hasan, hal. 14)

 

3. Menyibukkan Diri Dengan Belajar Agama (Banyak Berguru dan Bertanya kepada ahlul ilmi /ulama)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (An-Nahl: 43)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman:  “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (An-Nisa’: 83)

 

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata dalam tafsirnya:

“Ini adalah tuntunan adab dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya terhadap sikap mereka yang tidak sepantasnya ini. Selayaknya, apabila suatu berita yang penting atau terkait dengan kepentingan umat sampai kepada mereka –seperti berita yang berkaitan dengan keamanan, atau berita yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau urusan yang dikhawatirkan akan menimpa mereka– hendaknya mereka memperjelas kebenarannya terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Namun hendaknya mereka menyerahkan urusan tersebut kepada Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasalam (semasa hidup beliau) atau menyerahkannya kepada ulim amri di antara mereka, yaitu orang-orang yang ahli menentukan pendapat, berilmu, penasihat, dan memiliki sikap tenang. Mereka adalah orang-orang yang memahami urusan-urusan tersebut dan dampaknya yang baik. Mereka juga orang-orang yang paham terhadap akibat jelek yang akan ditimbulkannya.

 

Sehingga, apabila mereka melihat kebaikan dan akan menggembirakan orang-orang yang beriman, atau justru akan membangkitkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, niscaya mereka akan menyebarkannya. Namun apabila mereka melihat bahwa tidak ada kebaikan untuk disebarkan, atau mengandung kebaikan bila disebarkan tetapi dampak buruknya yang lebih besar, niscaya mereka tidak akan menyebarkannya.

Oleh karena itulah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:  “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”

 

Maknanya, kata beliau t, mereka akan berusaha mengeluarkan hukum atau keputusan dengan pikiran dan pendapat yang tepat serta ilmu mereka yang mapan.

Dalam firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini terdapat dalil yang menunjukkan benarnya sebuah kaidah dalam adab, yaitu apabila terjadi pembahasan sebuah masalah yang sangat penting, sudah selayaknya urusan tersebut diserahkan kepada orang-orang yang ahli di dalamnya, dan tidak boleh ada yang mendahului mereka. Dengan cara ini, akan lebih mendekati kebenaran dan lebih selamat.

 

Disamping itu, firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini juga mengandung larangan dari sikap tergesa-gesa dalam menyebarkan berita setelah mendapatkannya. Yang diperintahkan justru untuk memerhatikan dan meneliti lebih dahulu sebelum menyebarkannya, apakah berita itu berupa kebaikan sehingga dapat disebarkan, ataukah sebaliknya.

 

Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).”

Maksudnya, bila bukan karena hidayah taufiq dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tuntunan dan ajaran terhadap hal-hal yang tidak kalian ketahui sebelumnya, niscaya kalian akan mengikuti bisikan setan, kecuali sedikit saja dari kalian yang selamat. (Taisir Al-Karimirrahman)

 

Namun, musibah bisa saja terjadi sebagaimana yang diperingatkan oleh Asy-Syaikh Muqbil t: “Namun sebagian penuntut ilmu merasa mantap atau cukup dengan sedikit ilmu yang dimilikinya. Dia siap membantah setiap orang yang menyelisihi pendapatnya. Ini adalah salah satu sebab yang akan menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Wallahul musta’an.”

Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah berkata: “Para penuntut ilmu adalah duta para ulama kepada umat manusia. Hanya saja yang dicela di antara mereka adalah yang mendahului para ulama serta merasa tidak membutuhkan arahan dan nasihat mereka, kemudian tidak mau menimba ilmu dari para ulama.” (Bidayatul Inhiraf, hal. 437)

 

4. Menyibukkan Diri dengan Banyak Berdoa

Hakikatnya, seorang hamba sangat membutuhkan ilmu dan petunjuk, sehingga dia meminta dan mencarinya (melalui berdoa,  red). Dengan mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan merasa sangat membutuhkan-Nya, niscaya Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menunjukinya, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam hadits qudsi:

“Wahai hamba-hamba-Ku, kalian semua tersesat kecuali siapa yang Aku beri petunjuk, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan menunjukimu.” (HR. Muslim dari Abu Dzar z)

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Apabila seorang hamba merasa dirinya sangat membutuhkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan senantiasa berusaha belajar / meneliti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam dan ucapan para sahabat nabi, tabi’in, serta para imam kaum muslimin, niscaya akan terbuka baginya jalan petunjuk (hidayah).” (Majmu’ Fatawa, 5/118)

 

Beliau t juga berkata: “Barangsiapa yang telah jelas baginya kebenaran dalam suatu urusan, hendaknya dia mengikutinya. Sedangkan barangsiapa yang masih belum mendapatkan kejelasan hendaknya dia tidak bersikap sampai Allah Subhanahu Wa Ta’ala menampakkan kejelasan kepadanya. Selayaknya dia meminta pertolongan dalam urusan tersebut dengan berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

 

Termasuk doa yang paling baik dalam urusan tersebut adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t dalam Shahih-nya dari Aisyah radiyallahu anha, bahwa bila Nabi shalallahu alaihi wasalam terbangun dari tidur malamnya, beliau lalu shalat dan berdoa (dalam doa iftitahnya):  “Ya Allah, wahai Rabb Jibril, Mikail dan Israfil! Wahai Yang memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya! Wahai Dzat Yang mengetahui yang gaib dan yang tampak! Engkau menghukumi/memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam perkara yang mereka berselisih di dalamnya. Tunjukilah aku mana yang benar dari apa yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.”

 

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Sesungguhnya orang yang meneliti dan membahas ilmu ketika membutuhkannya untuk beramal atau berbicara, kemudian dia belum mendapatkan pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran setelah dia meniatkan mencarinya dalam hatinya dan membahasnya, maka sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak akan mengecewakan orang yang seperti ini. Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Musa q ketika beliau bermaksud pergi ke kota Madyan padahal beliau tidak tahu jalan ke arahnya. Beliau berdoa:

“Mudah-mudahan Rabbku memimpinku ke jalan yang benar.” (Al-Qashash: 22)

 

Sungguh Allah ta’ala telah membimbing beliau serta memberikan apa yang beliau harapkan dan cita-citakan.” (Taisir Al-Lathifil Mannan, hal. 180)

Kita memohon kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata agar kita senantiasa ditunjuki kepada jalan yang lurus dan diselamatkan dari berbagai fitnah hingga datangnya ajal kita.

 

Amin ya Rabbal alamin.

 

 

Wedha Kencana 


Sumber :  
Mari Menyibukkan Diri Dengan Ilmu, Ibadah dan Doa (ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan).  http://asysyariah.com/syariah/akhlak/782-mari-menyibukkan-diri-dengan-ilmu-ibadah-dan-doa-akhlak-edisi-59.html

Wednesday, November 14, 2012

Menyikapi Tahun Baru 1434 Hijriyah

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Sebentar lagi kita akan memasuki tahun baru Islam, 1434 Hijriyah. Berarti kita diingatkan kepada sejarah dimulainya pembentukan masyarakat yang Islami, yaitu setelah hijrahnya Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam dari Makkah menuju Madinah.

 

Penentuan dan penanggalan tahun hijriyah belum dimulai sejak itu, akan tetapi baru dicanangkan di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khath-thab Radhiyallahu 'Anhu. Sekitar tahun ketiga atau keempat masa pemerintahannya.

Pada waktu itu, sahabat Abu Musa Al-Asy'ary menulis surat kepada Umar bin Khathab selaku khalifah, yang isinya bahwa Umar memberikan beberapa kitab kepadanya yang tiada tertera tanggalnya.

Lalu, Khalifah Umar mengumpulkan para sahabat dan bermusyawarah dengan mereka tentang penanggalan Islam. Sebagian perpendapat agar memberikan penanggalan seperti penanggalan orang-orang Qurthubi, maka sebagian sahabat tidak menghendaki hal itu.

 

Sebagian yang lain berpendapat agar penanggalan Islam seperti penanggalan Romawi, maka sahabat yang lain juga menolaknya. Ada yang usul agar penanggalan dimulai berdasarkan kelahiran Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam, ada juga yang berpendapat agar dimulai sejak hijrahnya ke Madinah. Maka Umar berkata, "Hijrah telah membedakan antara yang hak dan yang batil, maka mulailah penanggalan Islam dengannya."

Kemudian para sahabat menyetujuinya. Dan setelah itu mereka bermusyawarah mengenai di bulan apa sebaiknya awal tahun dimulai. Sebagian berpendapat agar tahun baru dimulai dengan bulan Ramadhan, yang lain berpendapat dengan bulan Rabiul Awal.

Namun, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'Anhum mengusulkan agar dimulai dengan bulan Muharram, yaitu bulan suci setelah bulan Dzul-Hijjah yang kaum muslimin telah melaksanakan Haji sebagai penyempurna rukun Islam. Selain itu, di bulan Muharram tersebut kaum Anshar melakukan baiat kepada Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam. Lalu dimulailah tahun baru Hijriah dengan bulan suci Muharram.

 

Merupakan suatu yang sangat disayangkan ketika kaum muslimin lebih mengutamakan penanggalan kaum Nasrani, yaitu penanggalan Masehi. Di sisi lain, mereka melupakan penanggalan Islam, yaitu penanggalan Hijriyah. Ini adalah sesuatu yang jarang disadari oleh kaum muslimin, bahwa orang-orang kafir menjajah mereka, ingin mengganti akidah, konsep hidup, dan budaya, termasuk penanggalan, agar seperti mereka. Na'udzubillah min dzalik!

Sebenarnya, sekarang ini tidak ada lagi alasan bagi kaum muslimin yang berada di negeri-negeri Islam untuk tidak menggunakan penanggalah Islam, Hijriah. Apalagi setelah diketahui bahwa para sahabat membenci penanggalan dan penamaan bulan yang berasal dari Romawi, Persi, maupun bangsa kafir lainnya.

 

Kemuliaan Muharram

Karena bulan Muharram adalah bulan suci bagi kaum muslimin, maka sebagian orang menjadikannya sebagai hari besar yang harus diperingati. Sehingga sebagian kaum muslimin melakukan berbagai ritual untuk memperingati dan merayakannya. Ada yang mengadakan tabligh akbar, syukuran dengan makan-makan bersama, dan bentuk perayaan lainnya. Padahal, peringatan ini tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat Radhiyallahu 'Anhum. Ada yang lebih parah dari itu bahwa sebagian mereka melakukan acara-acara yang pada hakekatnya adalah syirik. Seperti yang terjadi di daerah Yogyakarta, budaya larung sesaji bulan Muharram, di Surakarta ada arak-arakan kerbau yang bernama Kiai Slamet, di Gunung Lawu ada ritual khusus yang dilakukan oleh sebagian orang di malam tanggal satu Muharram, dan masih ada segudang contoh yang lain. Ini membuktikan betapa tingginya tingkat kebodohan umat, sehingga mereka terjerumus ke dalam jurang kemusyrikan yang begitu dalam.

 

Dari sisi lain, biasanya, kaum muslimin saling memberikan ucapan selamat tahun baru hijriah kepada sesama mereka. Sebenarnya hal ini tidak sesuai dengan sunah Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam. Karena tidak ada contoh dari Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam maupun dari para sahabat. Hal ini tidak perlu dilakukan.

 

. . . menyambut tahun baru Hijriah ini dengan meningkatkan ketaatan kepada Allah, mengintrospeksi diri, melakukan pembenahan dan pembaruan terhapap amal-amal perbuatan kita yang rusak, dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia . . .


Sikap yang tepat adalah menyambut tahun baru Hijriah ini dengan meningkatkan ketaatan kepada Allah, mengintrospeksi diri, melakukan pembenahan dan pembaruan terhapap amal-amal perbuatan kita yang rusak, dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia; terutama keluarga, mulai istri, anak-anak, dan karib kerabat. Karena seseorang akan dimintai pertanggung jawaban nanti hari kiamat tentang mereka. Allah berfirman,   

"Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka." (At-Tahrim: 6).

 

Selain itu, hendaknya kita melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada kita dengan sebaik-baiknya, karena nanti di hari kiamat, anggota tubuh seseorang akan berposisi sebagai musuh baginya. Yaitu ketika Allah menutup mulut seorang hamba lalu tangan dan kaki dan anggota tubuh lainnya berbicara mengungkapkan apa yang pernah dilakukannya. Allah berfirman,  

"Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, 'Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?' Kulit mereka menjawab. 'Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata', dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan'. Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka terhadap Tuhanmu, prasangka itu telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi." (Ash-Shaffat: 20-23).

 

Pada Al-Qur'an terjemahan Depag diterangkan bahwa mereka itu memperbuat dosa dengan terang-terangan karena mereka menyangka bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan mereka dan mereka tidak mengetahui bahwa pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka akan menjadi saksi di akhirat kelak atas perbuatan mereka.

 

. . . Pada hakekatnya, satu tahun berlalu, berarti satu tahun lebih dekat dengan kuburan. . .


Hendaknya kita berupaya menjadikan setiap tahun lebih baik daripada tahun yang sebelumnya. Pada hakekatnya, satu tahun berlalu, berarti satu tahun lebih dekat dengan kuburan. Maka, hendaknya kita mempergunakan sisa waktu dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan ketaatan kepada Allah.

Sesungguhnya dunia tidak akan sejahtera kecuali dengan tegaknya agama. Kemuliaan, keagungan, dan ketinggian derajat tidak akan diperoleh kecuali bagi orang yang tunduk, patuh, dan berendah diri di hadapan Allah. Keamanan serta kedamaian tidak akan terwujud kecuali dengan mengikuti konsep para Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

 

Jika bulan demi bulan dan tahun demi tahun berlalu dengan penuh penyimpangan dan kemaksiatan kepada Allah, berarti hal itu adalah istidraj dari Allah, yang akan berakibat kehancuran dan kebinasaan. Maka, hendaknya kita menghindari hukuman Allah dengan mentaati-Nya dan bertaubat kepada-Nya.

Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam menganjurkan umatnya untuk mengerjakan puasa pada bulan Muharram yang mulia, yaitu puasa sunah pada tanggal sepuluhnya. Dan, puasa ini adalah puasa yang paling afdhal setelah puasa Ramadhan. Kemudian, untuk menyelisihi kaum Yahudi yang juga berpuasa di tanggal sepuluh bulan tersebut, maka Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam mengisyaratkan untuk berpuasa pula pada tanggal sembilannya. Dan, puasa sunah bulan Muharram, akan menghapus dosa-dosa setahun sebelumnya.

 

 ... Nabi Shallallaahu Alaihi Wasallam menganjurkan umatnya untuk mengerjakan puasa pada bulan Muharram yang mulia, yaitu puasa sunah pada tanggal sepuluhnya. . . 

 

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,

وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

"Puasa hari 'Asyura, sungguh aku berharap kepada Allah agar menghapuskan dosa setahun yang telah lalu." (HR. Muslim no. 1975)

 

Semoga Allah memberikan tambahan hidayah dan taufik kepada kita untuk meningkatkan ketaatan kepada-Nya di tahun baru yang segera tiba dan tahun-tahun sesudahnya, sehingga kita berpisah dari dunia dalam kondisi mulia, husnul khatimah. Sesungguhnya nilai kita ditentukan saat ruh berpisah dari jasad kita. 

 

 Wallahu a'lam. 





Wedha Kencana


Sumber:
[PurWD/voa-islam.com]  Oleh: Zen Yusuf Al Choudry


Sunday, November 11, 2012

Nasehat Untuk Remaja Muslim

Kami persembahkan nasehat ini untuk saudara-saudaraku terkhusus para pemuda dan remaja muslim. Mudah-mudahan nasehat ini dapat membuka mata hati mereka sehingga mereka lebih tahu tentang siapa dirinya sebenarnya, apa kewajiban yang harus mereka tunaikan sebagai seorang muslim, agar mereka merasa bahwa masa muda ini tidak sepantasnya untuk diisi dengan perkara yang bisa melalaikan mereka dari mengingat Allah subhanahu wata’ala sebagai penciptanya, agar mereka tidak terus-menerus bergelimang ke dalam kehidupan dunia yang fana dan lupa akan negeri akhirat yang kekal abadi.

 


Wahai para pemuda muslim, tidakkah kalian menginginkan kehidupan yang bahagia selamanya? Tidakkah kalian menginginkan jannah (surga) Allah subhanahu wata’ala yang luasnya seluas langit dan bumi?

Ketahuilah, jannah Allah subhanahu wata’ala itu diraih dengan usaha yang sungguh-sungguh dalam beramal. Jannah itu disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa yang mereka tahu bahwa hidup di dunia ini hanyalah sementara, mereka merasa bahwa gemerlapnya kehidupan dunia ini akan menipu umat manusia dan menyeret mereka kepada kehidupan yang sengsara di negeri akhirat selamanya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya) :  “Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (Ali ‘Imran: 185)

 

 

Untuk Apa Kita Hidup di Dunia?

Wahai para pemuda, ketahuilah, sungguh Allah subhanahu wata’ala telah menciptakan kita bukan tanpa adanya tujuan. Bukan pula memberikan kita kesempatan untuk bersenang-senang saja, tetapi untuk meraih sebuah tujuan mulia. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya) :  “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)

 

Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Itulah tugas utama yang harus dijalankan oleh setiap hamba Allah.

Dalam beribadah, kita dituntut untuk ikhlas dalam menjalankannya. Yaitu dengan beribadah semata-mata hanya mengharapkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wata’ala. Jangan beribadah karena terpaksa, atau karena gengsi terhadap orang-orang di sekitar kita. Apalagi beribadah dalam rangka agar dikatakan bahwa kita adalah orang-orang yang alim, kita adalah orang-orang shalih atau bentuk pujian dan sanjungan yang lain.

 

Umurmu Tidak Akan Lama Lagi

Wahai para pemuda, jangan sekali-kali terlintas di benak kalian: beribadah nanti saja kalau sudah tua, atau mumpung masih muda, gunakan untuk foya-foya. Ketahuilah, itu semua merupakan rayuan setan yang mengajak kita untuk menjadi teman mereka di An Nar (neraka).

Tahukah kalian, kapan kalian akan dipanggil oleh Allah subhanahu wata’ala, berapa lama lagi kalian akan hidup di dunia ini? Jawabannya adalah sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala (artinya):  “Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan dilakukannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)

 

Wahai para pemuda, bertaqwalah kalian kepada Allah subhanahu wata’ala. Mungkin hari ini kalian sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang tertawa, berpesta, dan hura-hura menyambut tahun baru dengan berbagai bentuk maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, tetapi keesokan harinya kalian sudah berada di tengah-tengah orang-orang yang sedang menangis menyaksikan jasad-jasad kalian dimasukkan ke liang lahad (kubur) yang sempit dan menyesakkan.

 

Betapa celaka dan ruginya kita, apabila kita belum sempat beramal shalih. Padahal, pada saat itu amalan diri kita sajalah yang akan menjadi pendamping kita ketika menghadap Allah subhanahu wata’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Yang mengiringi jenazah itu ada tiga: keluarganya, hartanya, dan amalannya. Dua dari tiga hal tersebut akan kembali dan tinggal satu saja (yang mengiringinya), keluarga dan hartanya akan kembali, dan tinggal amalannya (yang akan mengiringinya).” (Muttafaqun ‘Alaihi)

 

Wahai para pemuda, takutlah kalian kepada adzab Allah subhanahu wata’ala. Sudah siapkah kalian dengan timbangan amal yang pasti akan kalian hadapi nanti. Sudah cukupkah amal yang kalian lakukan selama ini untuk menambah berat timbangan amal kebaikan.

Betapa sengsaranya kita, ketika ternyata bobot timbangan kebaikan kita lebih ringan daripada timbangan kejelekan. Ingatlah akan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya) :

“Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas.” (Al Qari’ah: 6-11)

 

Bersegeralah dalam Beramal

Wahai para pemuda, bersegeralah untuk beramal kebajikan, dirikanlah shalat dengan sungguh-sungguh, ikhlas dan sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena shalat adalah yang pertama kali akan dihisab nanti pada hari kiamat, sebagaimana sabdanya:  “Sesungguhnya amalan yang pertama kali manusia dihisab dengannya di hari kiamat adalah shalat.” (HR. At Tirmidzi, An Nasa`i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad. Lafazh hadits riwayat Abu Dawud no.733)

 

Bagi laki-laki, hendaknya dengan berjama’ah di masjid. Banyaklah berdzikir dan mengingat Allah subhanahu wata’ala. Bacalah Al Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat nanti.

Banyaklah bertaubat kepada Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak dosa dan kemaksiatan yang telah kalian lakukan selama ini. Mudah-mudahan dengan bertaubat, Allah subhanahu wata’ala akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memberi pahala yang dengannya kalian akan memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

 

Wahai para pemuda, banyak-banyaklah beramal shalih, pasti Allah subhanahu wata’ala akan memberi kalian kehidupan yang bahagia, dunia dan akhirat. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya) :  “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (An Nahl: 97)

 

Engkau Habiskan untuk Apa Masa Mudamu?

Pertanyaan inilah yang akan diajukan kepada setiap hamba Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat nanti. Sebagaimana yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam salah satu haditsnya:  “Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) pada hari kiamat nanti di hadapan Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: umurnya untuk apa dihabiskan, masa mudanya untuk apa dihabiskan, hartanya dari mana dia dapatkan dan dibelanjakan untuk apa harta tersebut, dan sudahkah beramal terhadap ilmu yang telah ia ketahui.” (HR. At Tirmidzi no. 2340)

 

Sekarang cobalah mengoreksi diri kalian sendiri, sudahkah kalian mengisi masa muda kalian untuk hal-hal yang bermanfaat yang mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wata’ala? Ataukah kalian isi masa muda kalian dengan perbuatan maksiat yang mendatangkan kemurkaan-Nya?

 

Kalau kalian masih saja mengisi waktu muda kalian untuk bersenang-senang dan lupa kepada Allah subhanahu wata’ala, maka jawaban apa yang bisa kalian ucapkan di hadapan Allah subhanahu wata’ala Sang Penguasa Hari Pembalasan? Tidakkah kalian takut akan ancaman Allah subhanahu wata’ala terhadap orang yang banyak berbuat dosa dan maksiat? Padahal Allah subhanahu wata’ala telah mengancam pelaku kejahatan dalam firman-Nya (artinya):  “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An Nisa’: 123)

 

Bukanlah masa tua yang akan ditanyakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, pergunakanlah kesempatan di masa muda kalian ini untuk kebaikan.

Ingat-ingatlah selalu bahwa setiap amal yang kalian lakukan akan dipertanggungjawabkan kelak di hadapan Allah subhanahu wata’ala.

 

Jauhi Perbuatan Maksiat

Apa yang menyebabkan Adam dan Hawwa dikeluarkan dari Al Jannah (surga)? Tidak lain adalah kemaksiatan mereka berdua kepada Allah subhanahu wata’ala. Mereka melanggar larangan Allah subhanahu wata’ala karena mendekati sebuah pohon di Al Jannah, mereka terbujuk oleh rayuan iblis yang mengajak mereka untuk bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala.

 

Wahai para pemuda, senantiasa iblis, setan, dan bala tentaranya berupaya untuk mengajak umat manusia seluruhnya agar mereka bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala, mereka mengajak umat manusia seluruhnya untuk menjadi temannya di neraka. Sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala jelaskan dalam firman-Nya (yang artinya):

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)

 

Setiap amalan kejelekan dan maksiat yang engkau lakukan, walaupun kecil pasti akan dicatat dan diperhitungkan di sisi Allah subhanahu wata’ala. Pasti engkau akan melihat akibat buruk dari apa yang telah engkau lakukan itu. Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya):  “Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apapun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Az Zalzalah: 8)

 

Setan juga menghendaki dengan kemaksiatan ini, umat manusia menjadi terpecah belah dan saling bermusuhan. Jangan dikira bahwa ketika engkau bersama teman-temanmu melakukan kemaksiatan kepada Allah subhanahu wata’ala, itu merupakan wujud solidaritas dan kekompakan di antara kalian. Sekali-kali tidak, justru cepat atau lambat, teman yang engkau cintai menjadi musuh yang paling engkau benci. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya) :  “Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu karena (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perbuatan itu).” (Al Maidah: 91)

 

Demikianlah setan menjadikan perbuatan maksiat yang dilakukan manusia sebagai sarana untuk memecah belah dan menimbulkan permusuhan di antara mereka.


Ibadah yang Benar Dibangun di atas Ilmu

Wahai para pemuda, setelah kalian mengetahui bahwa tugas utama kalian hidup di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala semata, maka sekarang ketahuilah bahwa Allah subhanahu wata’ala hanya menerima amalan ibadah yang dikerjakan dengan benar. Untuk itulah wajib atas kalian untuk belajar dan menuntut ilmu agama, mengenal Allah subhanahu wata’ala, mengenal Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mengenal agama Islam ini, mengenal mana yang halal dan mana yang haram, mana yang haq (benar) dan mana yang bathil (salah), serta mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.

Dengan ilmu agama, kalian akan terbimbing dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, sehingga ibadah yang kalian lakukan benar-benar diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala. Betapa banyak orang yang beramal kebajikan tetapi ternyata amalannya tidak diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala, karena amalannya tidak dibangun di atas ilmu agama yang benar.

 

Oleh karena itu, wahai para pemuda muslim, pada kesempatan ini, kami juga menasehatkan kepada kalian untuk banyak mempelajari ilmu agama, duduk di majelis-majelis ilmu, mendengarkan Al Qur’an dan hadits serta nasehat dan penjelasan para ulama. Jangan sibukkan diri kalian dengan hal-hal yang kurang bermanfaat bagi diri kalian, terlebih lagi hal-hal yang mendatangkan murka Allah subhanahu wata’ala.

 

Ketahuilah, menuntut ilmu agama merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka barangsiapa yang meninggalkannya dia akan mendapatkan dosa, dan setiap dosa pasti akan menyebabkan kecelakaan bagi pelakunya.  “Menuntut ilmu agama itu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah no.224)


Akhir Kata

Semoga nasehat yang sedikit ini bisa memberikan manfaat yang banyak kepada kita semua. Sesungguhnya nasehat itu merupakan perkara yang sangat penting dalam agama ini, bahkan saling memberikan nasehat merupakan salah satu sifat orang-orang yang dijauhkan dari kerugian, sebagaimana yang Allah subhanahu wata’ala firmankan dalam surat Al ‘Ashr (artinya):  “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasehat- menasehati dalam kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 1-3)

 

Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.

 

 

Wedha Kencana


Sumber:  
Buletin Al-Ilmu, Penerbit Yayasan As-Salafy Jember
http://www.assalafy.org/mahad/?p=418

Saturday, November 10, 2012

Apa Artinya As Sunnah ? Bagaimana Kedudukannya Terhadap Al Qur’an ?

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:

“Aku telah meninggalkan kepada kalian dua hal, jika kalian berpegang dengan keduanya pasti tidak akan tersesat, yaitu kitabullah (Al-Qur`an) dan sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik dan al-Hakim)

 

 

Pembaca yang dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa, sering kita mendengar kata “As-Sunnah” diucapkan baik dalam ceramah-ceramah agama atau disebut dalam tulisan-tulisan di majalah atau buletin bernuansa Islam. Sering pula kita dapati kata As-Sunnah digandengkan dengan kata Al-Qur`an. Namun sebuah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap kita sebagai seorang muslim, “Apakah kita telah memahami kata As-Sunnah dengan pemahaman yang benar?”

 

Pemahaman yang dapat membantu kita untuk menerapkan makna As-Sunnah sesuai dengan yang diinginkan Allah subhaanahu wa ta’aalaa dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tentu hal itu akan terjawab dengan kita berusaha mengkaji ilmu agama yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka, pada tema kali ini kita mencoba membahas kata As-Sunnah dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

 

Definisi As-Sunnah

Kata As-sunnah adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata kerja (fi’il) yang secara bahasa bermakna jalan atau cara, yang baik maupun yang buruk. Adapun secara istilah syar’i yaitu jalan atau cara yang telah ditempuh oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mencakup yang wajib maupun yang mustahab. Mencakup pula urusan akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah. Al-Imam Ibnu ‘Allan rahimahullaahu berkata dalam kitab beliau Dalilul Falihin (2/418), ketika menjelaskan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam hadits al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallaahu ‘anhu, “Yakni caraku (cara Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ed.) dan jalan hidupku yang lurus yang aku berada di atasnya dari segala apa yang telah aku rinci kepada kalian. Baik hukum-hukum yang berkaitan dengan akidah maupun amaliah yang wajib, mustahab dan selainnya.” (Lihat Dharuratul Ihtimam bis Sunan an-Nabawiyah hal. 20)

 

Dengan demikian, kata As-Sunnah jika disebutkan secara mutlak dengan konteks pujian maka yang dimaksud adalah makna secara syar’i yang umum mencakup hukum-hukum yang terkait dengan akidah dan amaliah baik yang wajib, mustahab, maupun mubah. Demikian pula jika disebutkan dalam sabda Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para sahabat radhiyallahu ‘anhum atau tabi’in. (Lihat Dharuratul Ihtimam hal. 20). Dan bukanlah makna As-Sunnah dengan konteks di atas bermakna lawan dari wajib (apabila dikerjakan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa) sebagaimana pengertian As-Sunnah menurut ahli fiqih.

 

Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaahu dalam Fathul Bari (10/341), “Telah tetap bahwa lafazh As-Sunnah yang ada di dalam hadits bukan bermakna lawan dari wajib.” Beliau juga berkata ketika menjelaskan hadits:

“Barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (Muttafaq ‘alaihi)

“Yang dimaksud dengan lafazh Sunnah di sini adalah jalan atau cara, bukan lawan dari wajib.” (Lihat Fathul Bari 9/105).

Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin memahami ini dengan benar, karena di sana ada sebagian orang yang memaknakan kata As-Sunnah secara mutlak, yaitu lawan dari wajib. Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggal tidak berdosa. Sehingga mereka bermudah-mudahan meninggalkan As-Sunnah yang mustahab dan bahkan yang wajib. Allahul musta’an.

 

Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an

Setelah kita mengetahui definisi As-Sunnah yang benar, maka perlu kita ketahui bagaimana kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an.

Sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah menjelaskan dalam banyak ayat-Nya yang mulia, demikian pula Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjelaskan tentang kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an. Di antaranya:

 

1. As-Sunnah sebagai penjelas dan perinci Al-Qur`an 

Hal ini sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa (yang artinya):

“Dan telah kami turunkan adz-Dzikr (Al-Qur`an) kepadamu agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang kami turunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)

Di dalam ayat ini Allah subhaanahu wa ta’aalaa menjelaskan bahwa As-Sunnah adalah penjelas dan pemerinci Al-Qur`an. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan bersama itu yang semisalnya (As-Sunnah).” (HR. Abu Dawud dan yang selain beliau dari sahabat al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallaahu ‘anhu, dishahihkan Ibnu Hibban, al-Hakim dan asy-Syaikh al-Albani rahimahumullaahu)

Al-Imam Ahmad rahimahullaahu berkata, “As-Sunnah adalah tafsir (penjelas, ed.) Al-Qur`an.” (Ushulus Sunnah lil Imam Ahmad hal. 16)

 

2. As-Sunnah adalah wahyu Allah subhaanahu wa ta’aalaa sebagaimana Al-Qur`an

Hanya saja Al-Qur`an adalah mukjizat dan membacanya telah termasuk ibadah, berbeda dengan As-Sunnah. Akan tetapi keduanya memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman (yang artinya):

“Dan tidaklah dia (Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ed.) berkata dari hawa nafsunya semata, melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm: 3-4)

Seorang muslim tidak mungkin mencukupkan dirinya dengan Al-Qur`an saja, bahkan ia tidak bisa beramal dan beribadah dengan benar tanpa As-Sunnah. Karena As-Sunnah adalah penjelas atau pemerinci Al-Qur`an. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengerjakan shalat lima waktu dengan benar kalau ia tidak merujuk kepada As-Sunnah?! Karena hanya dalam As-Sunnah terdapat penjelasan dan rincian tentang tatacara shalat-shalat tersebut, baik dengan ucapan maupun amaliah atau praktik dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dari sini kita memahami betapa mendesaknya kebutuhan kita kepada As-Sunnah, sampai-sampai al-Imam Makhul asy-Syami rahimahullaahu berkata, “Al-Qur`an lebih butuh kepada As-Sunnah daripada butuhnya As-Sunnah kepada Al-Qur`an.” (Al-Ibanah 1/253)

 

Ucapan beliau ini tidaklah bermakna bahwa As-Sunnah lebih tinggi kedudukannya daripada Al-Qur`an atau lebih mulia dari Al-Qur`an, akan tetapi makna ucapan beliau adalah, “Seorang muslim sangatlah butuh kepada As-Sunnah dalam mengamalkan Al-Qur`an.” Hal ini benar, karena mayoritas ahkam (hukum-hukum) dalam Al-Qur`an bersifat global sehingga sangat butuh penjabaran dan rincian dari As-Sunnah.

Selain As-Sunnah adalah wahyu Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang kedudukannya sama dengan Al-Qur`an (datangnya dari Allah subhaanahu wa ta’aalaa) juga termasuk dari dua hal yang diwariskan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits:

“Aku telah meninggalkan kepada kalian dua hal, jika kalian berpegang dengan keduanya pasti tidak akan tersesat, yaitu kitabullah (Al-Qur`an) dan sunnah Nabi-Nya.” (HR. Malik dan al-Hakim)

Maka wajib bagi seorang muslim yang benar imannya dan mendambakan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat hendaklah menjadikan Al-Qur`an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Serta senantiasa berpijak kepada keduanya dalam beramal.

  

Bahaya Menyelisihi As-Sunnah

Sungguh Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah memberikan peringatan atau ancaman keras bagi mereka yang meninggalkan As-Sunnah dengan sengaja. Di antaranya ialah firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa (yang artinya): 

“Maka berhati-hatilah orang yang menyelisihi perintah Rasul (sunnahnya) untuk ditimpa fitnah atau adzab yang pedih.” (An-Nur: 63)

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengangkat suara kalian dari suara Nabi, dan janganlah berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian lainnya, supaya tidak terhapus amalan kalian sementara kalian tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2)

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullaahu berkata ketika menjelaskan ayat di atas, “Dalam ayat ini Allah subhaanahu wa ta’aalaa memperingatkan kaum muslimin dari terhapusnya amalan-amalan mereka disebabkan mengeraskan suara kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana sebagian mereka mengeraskan suara kepada sebagian yang lain.” (Al-Wabilush Shoyyib 1/11, Ta’zhimus Sunnah hal. 22)

 

Pembaca yang dirahmati Allah subhaanahu wa ta’aalaa, kalaulah hanya sekedar mengeraskan suara kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam maka akan terhapus amalannya, maka bagaimana dengan meremehkan As-Sunnah beliau atau menentangnya? Tentu amatlah keras siksanya. 

Dan, perlu diingat bahwa orang yang meremehkan As-Sunnah serta meninggalkannya dengan sengaja karena sombong akan disegerakan adzabnya oleh Allah subhaanahu wa ta’aalaa di dunia sebelum di akhirat. Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullaahu dari sahabat Salamah bin al-Akwa` radhiyallaahu ‘anhu bahwa ada seseorang makan di dekat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya, maka Rasulullah menegurnya, “Makanlah dengan tangan kananmu,” namun ia menjawab (dengan kesombongan), “Aku tidak bisa.” Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kamu tidak akan bisa selamanya,” maka pada saat itu juga lelaki itu tidak bisa mengangkat kedua tangannya ke mulutnya. Hadits ini dan ayat sebelumnya, teguran keras bagi siapa saja yang meninggalkan As-Sunnah. Dan, seharusnya bagi kita untuk bersungguh-sungguh dalam mengamalkan As-Sunnah. Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu ‘anhu berkata (yang artinya):

“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu yang diamalkan Rasulullah kecuali aku mengamalkannya, dan sungguh aku sangat khawatir (takut) jika aku meninggalkan sesuatu dari sunnahnya akan tersesat.” (Lihat Ta’zhimus Sunnah hal. 24)


Wallaahu a’lam.

 

 

Wedha Kencana


Sumber :
“Kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur`an”,    Penulis: Al-Ustadz Abu Habib hafizhahullaahu
http://abusyifabasmalah.blogspot.com/search/label/Aqidah

Friday, November 9, 2012

Tabiat Buruk Manusia Menurut Al Qur’an dan As-Sunnah

Sudah menjadi tabiatnya, manusia lebih sering menuntut daripada menunaikan apa yang menjadi kewajibannya. Bahkan jika hak mereka telah terpenuhi sekalipun, tak tergambar rasa syukur sedikitpun pada sebagian mereka.

 

                                                                                          

Manusia dan Asal Kejadiannya

Tidak ada yang memungkiri bahwa manusia berasal dari setetes air yang hina, jijik, dan kotor. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menguji dengan penciptaan dari air yang kotor ini, apakah manusia itu akan mau ingat asal muasalnya lalu merenunginya, ataukah dia lupa lalu tertipu dengan dirinya sendiri? (Tafsir As-Sa’di hal. 833)

Juga agar manusia sadar dan tidak menyombongkan diri di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.  “Dia telah menciptakan manusia dari mani, tiba-tiba ia menjadi pembantah yang nyata.” (An-Nahl: 4)

“Dan apakah manusia tidak memerhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes air (mani) maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!” (Yasin: 77)

Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari t (no. 3208 dan 6594) serta Muslim t (no. 2643) dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu:

“Setiap orang dari kalian dihimpun penciptaannya di dalam perut ibunya 40 hari menjadi mani, kemudian menjadi darah seperti itu juga, dan kemudian menjadi daging seperti itu juga.”

 

Manusia dan Tabiatnya

Di dalam Al-Qur`an Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjelaskan tabiat buruk manusia agar mereka berusaha keluar dari tabiat tersebut lalu memperbaiki diri. Berusaha menjadi orang yang selalu berada dalam bimbingan ilmu Islam. Hal ini tidak bertentangan dengan keterangan Allah Subhanahu Wa Ta’ala bahwa mereka diciptakan di atas fitrah.

 

 

Di antara tabiat-tabiat tersebut adalah:

a. Berkeluh kesah, kikir, dan rakus.

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah dan apabila mendapat kebaikan ia amat kikir,  kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” (Al-Ma’arij: 19-22)

“Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri; tetapi apabila ditimpa malapetaka, maka ia banyak berdoa.” (Fushshilat: 51)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Dan jika anak Adam memiliki dua lembah emas niscaya dia akan mencari yang ketiga dan tidak ada yang menuntaskan keinginannya kecuali tanah.”1

 

b. Selalu menzalimi dirinya lagi jahil

“Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala).” (Ibrahim: 34)

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)

“Ketahuilah, sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-‘Alaq: 6-7)

 

c. Banyak ingkar

“Sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Rabbnya.” (Al-‘Adiyat: 6)

 

d. Tergesa-gesa

“Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan Aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku. Maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera.” (Al-Anbiya`: 37)

 

e. Tidak berterima kasih

“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: ‘Rabbku telah menghinakanku’.” (Al-Fajr: 15-16)

 

Manusia Menuntut Hak

Dengan kejelekan tabiatnya, akan bisa dibayangkan apa yang akan diperbuat manusia saat menuntut kemerdekaan dan semua hak tanpa memerhatikan kewajiban dan hak orang lain. Dia mengharapkan haknya dipenuhi oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, namun dia justru bermaksiat kepada-Nya. Dia mengharapkan kecintaan dari semua pihak, tetapi dia sendiri menzalimi orang lain, dan begitu seterusnya. Jika setiap manusia tidak berusaha meluruskan sifat-sifat dan tabiatnya niscaya ia akan terus berada dalam kerusakan. Sehingga jika akhirnya manusia harus merasakan akibatnya, janganlah sekali-kali mengambinghitamkan orang lain.

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (An-Nisa`: 79)

“Maka barangsiapa yang menemukan balasannya adalah kebaikan, hendaklah dia memuji Allah. Barangsiapa yang menjumpai balasannya adalah selain itu (kejelekan) maka janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.” 2

 

Manusia Diciptakan untuk Menuntut Hak?

Manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk sebuah tujuan yang agung dan besar, mulia dan tinggi. Karena tujuan inilah Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus para rasul, menurunkan kitab-kitab-Nya, menciptakan langit dan bumi, surga dan neraka, menentukan adanya hari hisab, ganjaran kebaikan dan timbangan amal. Tujuan yang mulia ini telah disebutkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam kitab-Nya:

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Karena tujuan inilah Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mempersiapkan ganjaran yang besar atas jerih payahnya dalam mengemban tugas di dunia ini. Beribadah merupakan kewajiban yang besar di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala sekaligus merupakan hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang paling besar. Jika manusia menuntut hak-haknya, maka janganlah ia menutup mata dari hak Penciptanya. Manusia wajib mengutamakan hak-hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari hak selain-Nya.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal radhuyallahu anhu:

“Hai Muadz, tahukah engkau apa hak Allah atas hamba dan apa hak hamba atas Allah?” Aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau berkata: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.” 3

“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (Al-Isra`: 23)

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.”  (An-Nisa`: 36)

“Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu  yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia’.” (Al-An’am: 151)

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala Mengutus Para Nabi untuk Menyampaikan Hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala

 

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus para nabi dan rasul dengan satu misi, memberitahu segenap hamba-hamba Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan besarnya hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, serta jangan sekali-kali mereka menghancurkan dan menyia-nyiakannya.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’.” (An-Nahl: 36)

Jenis hak inilah yang ditentang oleh kebanyakan orang. Oleh karena inilah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya.

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku maka sembahlah Aku olehmu sekalian’.” (Al-Anbiya`: 25)

Asy-Syaikh As-Sa’di t mengatakan: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberitahukan bahwa hujjah-Nya telah tegak di hadapan seluruh umat. Tiada satupun dari umat terdahulu ataupun belakangan melainkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mengutus kepada mereka seorang rasul, yang semuanya berada di atas satu dakwah dan satu agama, yaitu beribadah hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala tiada sekutu bagi-Nya.” (Tafsir As-Sa’di hal. 393)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab t berkata dalam Kitab At-Tauhid: “Bahwa agama para nabi adalah satu.”

 

Manusia Memiliki Hak Atas Pencipta-Nya

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah mempersiapkan berbagai hak bagi hamba-hamba-Nya yang melaksanakan tugas dalam memenuhi hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Namun hak ini –sebagaimana yang telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t–: “Orang yang taat berhak mendapatkan ganjaran adalah pemberian hak yang merupakan keutamaan dan nikmat dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bukan sebuah bentuk timbal balik sebagaimana yang berlaku pada makhluk. Sebagian orang mengatakan tidak ada istilah pemberian hak, akan tetapi sebuah janji, dan janji-Nya adalah benar. Adapula sebagian orang yang menetapkan hak lebih dari makna yang telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah (seperti):

“Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Ar-Rum: 47)

Akan tetapi Ahlus Sunnah mengatakan Dialah Allah yang telah mewajibkan atas diri-Nya untuk memberikan rahmat dan hak. Tidak ada seorangpun dari makhluk-Nya yang mewajibkan-Nya.” (Fathul Majid hal. 41)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah berjanji dan Dia tidak akan mengingkari janji untuk memenuhi hak-hak bagi orang yang taat kepada-Nya:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shalih, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit.” (An-Nisa`: 124)

“Adapun orang-orang yang beriman dan beramal shalih, maka baginya pahala yang terbaik sebagai balasan dan akan Kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah Kami.” (Al-Kahfi: 88)

“Dan orang-orang yang beriman dan beramal shalih, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-‘Ankabut: 7)

 

 

Mu’tazilah, Jabriyyah, Qadariyyah, dan Hak

Tidak ada seorangpun yang telah mencium bau As-Sunnah meragukan kesesatan mereka dalam agama dan (menganggap) mereka dari kalangan kaum muslimin. Mereka tersesat karena sesatnya jalan mereka dalam beragama. Pada edisi-edisi yang telah lewat telah dibahas dengan tuntas –alhamdulillah– siapakah Mu’tazilah, Qadariyyah, dan Jabriyyah berikut paham-paham mereka.

Dalam hal hak, Qadariyyah dan Mu’tazilah mengatakan: “Wajib bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menunaikan hak bagi makhluk-Nya, karena hamba itu sendiri yang memilih ketaatan kepada-Nya tanpa Dia menjadikan mereka taat.” Artinya, hamba-hamba ini wajib untuk mendapatkan balasan sekalipun Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mewajibkan atas diri-Nya.

Jabriyyah menyatakan: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mewajibkan atas diri-Nya (memberikan) rahmat, karena Allah-lah satu-satunya yang berkuasa dan berbuat dalam kekuasaan-Nya. Maka tidak ada hak bagi seorang hamba atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala, namun ini disebutkan hanya dalam bahasa kiasan.”

Adapun ahlul haq dari kalangan Ahlus Sunnah mengatakan: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menjanjikan akan membalas mereka, tanpa ada seorangpun dari makhluk-Nya yang mewajibkan atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dan Dialah yang menentukan rahmat bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dialah yang mewajibkan atas diri-Nya sendiri.” (Fathul Majid hal. 41)

 

Manusia Menuntut Hak, Melanggar Hak

Hak yang ditanggung manusia teramat banyak. Semua hak ini terhimpun dalam wujud ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Artinya, jika manusia itu menaati segala aturan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, perintah-Nya mereka kerjakan dan larangan-larangan-Nya mereka tinggalkan, niscaya dia telah melepaskan dirinya dari kewajiban. Dia telah berbuat sesuatu yang besar untuk mendapatkan haknya.

 

1. Manusia melanggar hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala

Yakni dengan melakukan berbagai bentuk kesyirikan dalam beribadah kepada-Nya, kekufuran dengan berbagai macam coraknya, kemaksiatan dengan berbagai macam warnanya. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan:

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al-An’am: 88)

Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad (no.18), Ibnu Majah (no. 3034) dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (no. 7339) dan Al-Irwa` (7/89-91) dengan syahid-syahid (pendukung-pendukung)nya, serta dihasankan dalam Shahih Al-Adabul Mufrad (no. 14), dari sahabat Abud Darda` z, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:  “Janganlah kamu menyekutukan Allah sedikitpun walaupun kamu dipotong dan dibakar.”

 

2. Manusia Melanggar Hak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam

Yakni dengan melanggar segala bimbingannya, menentang segala perintahnya, menyelisihi sunnah-sunnahnya, serta mengambil petunjuk selain dari petunjuk beliau.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda dalam riwayat Al-Imam Al-Bukhari (no. 7280) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu:

“Setiap umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan.” Mereka bertanya: “Siapa yang enggan itu, ya Rasulullah?” Beliau bersabda: “Barangsiapa taat kepadaku maka dialah yang mau masuk surga dan barangsiapa yang memaksiatiku maka dialah yang enggan.”

 

3. Manusia melanggar hak agamanya

Dengan melanggar segala aturan dan merusak kesempurnaannya. Padahal Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Ali Imran: 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85)

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma`idah: 3)

 

Saudaraku…

Hak apakah yang engkau tuntut, sementara hak Allah Subhanahu Wa Ta’ala, rasul dan agama-Nya engkau runtuhkan? Tunaikanlah kewajibanmu sebelum menuntut dan membela hakmu. Hakmu pasti terpenuhi jika engkau melaksanakan kewajiban dengan pengajaran Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam.

Wallahu a’lam.

 

 

Wedha Kencana

 

Sumber :
Menuntut Hak dengan Menghancurkan Hak, Tabiat Manusia, (ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman). http://www.asysyariah.com/syariah/akidah/262-menuntut-hak-dengan-menghancurkan-hak-tabiat-manusia-akidah-edisi-42.html

Kemerdekaan Menurut Islam

Salah satu hak setiap bangsa, golongan, masyarakat atau pribadi yaitu hak mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Lalu, ba...