Monday, December 31, 2012

Menyikapi Tahun Baru 2013

Banyak orang keliru dalam menyikapi tahun baru 2013 ini.

 

 

Tahun 2013 ini mereka jadikan sebagai ajang pesta, ajang perayaan, ajang hura-hura, padahal perbuatan tersebut masih jauh dari keharusan untuk dilakukan dalam tahun baru 2013. Bahkan ketika akan tiba tahun baru, beberapa jam orang-orang menunggunya, beberapa menit sebelumnya mereka tunggu, waktu-demi waktu mereka habiskan untuk menuggu hari itu tiba, sampai banyak diantara orang-orang yang tak tidur sebelum jam 12.01. Lihat saja nanti akan ada acara televisi yang hanya untuk menunggu dan membuang detik-detik waktu yang merka punya. padahal ada hal yang lebih baik yang harus mereka kerjakan dari pada itu.


Negara Indonesia sudah merdeka kurang lebih 67 tahun lamanya. Namun kenyataan yang terjadi indonesia masih menjadi negara yang berkembang. sangat susah untuk meningkatkan kualitas negara kita. itu sebabnya masih banyak waktu yang kita pakai- untuk hura-hura , masih banyak waktu yang kita buang-buang dari pada memikirkan hal-hal yang lebih penting.

 

Ibadah merupakan sesuatu yang sangat-sangat penting. Bagi para penganut agama islam jangan sampai kita terbawa-bawa oleh arus yang negatif yang akan membawa kita kepada kehancuran semata. Dan bagi para non-muslim, pikirkanlah siapa yang telah menciptakan kamu, dan sosok yang tahu sebelum orang lain mengetahuinya. Yang telah membawa agama islam. Islam adalah Rahmatan Lil ‘Alamin, artinya agama islam itu terbuka bagi semua orang. Sadarlah bahwa apa yang ada dalam aqidah kamu masih diragukan. Tiada kitab suci yang asli dan murni serta selalu terjaga sampai akhir zaman kecuali Al-quran, tiada sosok yang mengetahui sebelum orang lain tahu kecuali Nabi Muhammad saw, tidaklah yang menciptakan dan mengurusmu serta menghidupkan mu sampai sekarang ini kecuali Allah SWT.

 

Islam mengatur segala aspek kehidupan, baik tatacara bersosialisasi dengan sang khaliq Allah swt ataupun bersosialisasi dengan sesama manusia. Bagai mana caranya kita makan, bagaimana cara kita berpakaian, bagaimana cara kita makan, bagaimana cara kita minum, termasuk bagaimana kita menyikapi tahun baru.

 

Islam tidak mengajarkan untuk merayakan tahun baru. Menjadikan hari itu sebagai hari untuk hura-hura, foya-foya. dan sebagainya. Melainkan untuk muhasabah diri, introspeksi diri, apa saja yang telah kita lakukan dan apa saja yang akan kita lakukan,….. untuk lebih baik.

 

wedhakencana.blogspot.com


Mengapa Wanita Wajib Memakai Hijab (Jilbab) ?

 Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kewajiban menggunakan hijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan diri dari maksiat). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Q.S. Al-Ahzab: 59) 

 

 

Hijab Itu Adalah Ketaatan Kepada Allah Dan Rasul

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya):   “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 36)

 

Termasuk dalam pengertian taat dalam ayat Qur’an diatas adalah taatnya seorang wanita dalam menutup aurat dan cara berpakaian mereka.  Ayat tersebut menjelaskan bagi yang tidak taat mereka adalah sesat dengan kesesatan yang nyata.

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kaum wanita untuk menggunakan hijab sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluan-nya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S An-Nur: 31)

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah.” (Q.S. Al-Ahzab: 33)

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yanga artinya): “Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53)

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)

 

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Wanita itu aurat” maksudnya adalah bahwa ia harus menutupi tubuhnya.

 

Hijab Itu ‘Iffah (Kemuliaan)

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kewajiban menggunakan hijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan diri dari maksiat). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)

 

Itu karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan jelek (dosa), “karena itu mereka tidak diganggu”. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka. Dan pada firman Allah “karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa fitnah dan kejahatan bagi mereka.

 

Hijab Itu Kesucian

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53)

 

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati hijab sebagai kesucian bagi hati orang-orang mu’min, laki-laki maupun perempuan. Karena mata bila tidak melihat maka hatipun tidak berhasrat. Pada saat seperti ini, maka hati yang tidak melihat akan lebih suci. Ketiadaan fitnah pada saat itu lebih nampak, karena hijab itu menghancurkan keinginan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Q.S. Al-Ahzab: 32)

 

Hijab Itu Pelindung

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya Allah itu Malu dan Melindungi serta Menyukai rasa malu dan perlindungan”

Sabda beliau yang lain (yang artinya): “Siapa saja di antara wanita yang melepaskan pakaiannya di selain rumahnya, maka Allah Azza wa Jalla telah mengoyak perlindungan rumah itu dari padanya.”   Jadi balasannya setimpal dengan perbuatannya.

 

Hijab Itu Taqwa

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman(yang artinya): “Hai anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.” (Q.S. Al-A’raaf: 26)

 

Hijab Itu Iman

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berfirman kecuali kepada wanita-wanita beriman (yang artinya): “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman.” (Q.S. An-Nur: 31).

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman (yang artinya): “Dan istri-istri orang beriman.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)

 

Dan ketika wanita-wanita dari Bani Tamim menemui Ummul Mu’minin, Aisyah radhiyallahu anha dengan pakaian tipis, beliau berkata: “Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.”

 

Hijab Itu Haya’ (Rasa Malu)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.”

Sabda beliau yang lain (yang artinya): “Malu itu adalah bagian dari iman dan iman itu di surga.”

 

Sabda Rasul yang lain (yang artinya): “Malu dan iman itu bergandengan bersama, bila salah satunya di angkat maka yang lainpun akan terangkat.”


Hijab Itu Perasaan Cemburu

Hijab itu selaras dengan perasaan cemburu yang merupakan fitrah seorang laki-laki sempurna yang tidak senang dengan pandangan-pandangan khianat yang tertuju kepada istri dan anak wanitanya. Berapa banyak peperangan terjadi pada masa Jahiliyah dan masa Islam akibat cemburu atas seorang wanita dan untuk menjaga kehormatannya. Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu berkata: “Telah sampai kepadaku bahwa wanita-wanita kalian berdesak-desakan dengan laki-laki kafir orang ‘ajam (non Arab) di pasar-pasar, tidakkah kalian merasa cemburu? Sesungguhnya tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak memiliki perasaan cemburu.”

 

Beberapa Syarat Hijab Yang Harus Terpenuhi:

1. Menutupi seluruh anggota tubuh wanita -berdasarkan pendapat yang paling kuat.

2. Hijab itu sendiri pada dasarnya bukan perhiasan.

3. Tebal dan tidak tipis atau trasparan.

4. Longgar dan tidak sempit atau ketat.

5. Tidak memakai wangi-wangian.

6. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita kafir.

7. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.

8. Tidak bermaksud memamerkannya kepada orang-orang.

 

Jangan Berhias Terlalu Berlebihan(Tabarruj)

Bila anda memperhatikan syarat-syarat tersebut di atas akan nampak bagi anda bahwa banyak di antara wanita-wanita sekarang ini yang menamakan diri sebagai wanita berjilbab, padahal pada hakekatnya mereka belum berjilbab. Mereka tidak menamakan jilbab dengan nama yang sebenarnya. Mereka menamakan Tabarruj sebagai hijab dan menamakan maksiat sebagai ketaatan.

 

Musuh-musuh kebangkitan Islam berusaha dengan sekuat tenaga menggelincirkan wanita itu, lalu Allah menggagalkan tipu daya mereka dan meneguhkan orang-orang Mu’min di atas ketaatan kepada Tuhannya. Mereka memanfaatkan wanita itu dengan cara-cara kotor untuk memalingkannya dari jalan Tuhan dengan memproduksi jilbab dalam berbagai bentuk dan menamakannya sebagai “jalan tengah” yang dengan itu ia akan mendapatkan ridha Tuhannya -sebagaimana pengakuan mereka- dan pada saat yang sama ia dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan tetap menjaga kecantikannya.

 

Kami Dengar Dan Kami Taat

Seorang muslim yang jujur akan menerima perintah Tuhannya dan segera menerjemahkannya dalam amal nyata, karena cinta dan perhomatannya terhadap Islam, bangga dengan syariat-Nya, mendengar dan taat kepada sunnah nabi-Nya dan tidak peduli dengan keadaan orang-orang sesat yang berpaling dari kenyataan yang sebenarnya, serta lalai akan tempat kembali yang ia nantikan. Allah menafikan keimanan orang yang berpaling dari ketaatan kepada-Nya dan kepada rasul-Nya:  “Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang.” (Q.S. An-Nur: 47-48)

 

Firman Allah yang lain (yang artinya): “Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kemenangan.” (Q.S. An-Nur: 51-52)

 

Dari Shofiyah binti Syaibah berkata: “Ketika kami bersama Aisyah radhiyallahu anha, beliau berkata: “Saya teringat akan wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka.” Aisyah berkata: “Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan, dan demi Allah, saya tidak melihat wanita yang lebih percaya kepada kitab Allah dan lebih meyakini ayat-ayat-Nya melebihi wanita-wanita Anshor. Ketika turun kepada mereka ayat: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (Q.S. An-Nur: 31) 

 

Maka para suami segera mendatangi istri-istri mereka dan membacakan apa yang diturunkan Allah kepada mereka. Mereka membacakan ayat itu kepada istri, anak wanita, saudara wanita dan kaum kerabatnya. Dan tidak seorangpun di antara wanita itu kecuali segera berdiri mengambil kain gorden (tirai) dan menutupi kepala dan wajahnya, karena percaya dan iman kepada apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya. Sehingga mereka (berjalan) di belakang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dengan kain penutup seakan-akan di atas kepalanya terdapat burung gagak.”

 

wedhakencana.blogspot.com 

 

Sumber :
http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=856
Dikutip dari Kitab “Al Hijab” Departemen Agama Arab Saudi
Penebit: Darul Qosim P.O. Box 6373 Riyadh 11442
http://salafy-jtn.co.nr/

Sunday, December 30, 2012

Lihatlah Siapa Temanmu

Ketahuilah, bahwasanya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat-sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat- lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita.

 

 

Apabila engkau berada di tengah-tengah suatu kaum maka pilihlah orang-orang yang baik sebagai sahabat, dan janganlah engkau bersahabat dengan orang-orang jahat sehingga engkau akan binasa bersamanya.


Wanita adalah bagian dari kehidupan manusia, sehingga dia tak akan pernah lepas dari pola interaksi dengan sesama. Terlebih dominasi perasaan yang melekat pada dirinya, membuat dia butuh teman tempat mengadu, tempat bertukar pikiran dan bermusyawarah. Berbagai problem hidup yang dialami menjadikan dia berfikir bahwa, meminta pendapat, saran dan nasehat teman adalah suatu hal yang perlu. Maka teman sangat vital bagi kehidupannya, siapa sih yang tidak butuh teman dalam hidup ini..?

 

Namun wanita muslimah adalah wanita yang dipupuk dengan keimanan dan dididik dengan pola interaksi Islami. Maka pandangan Islam dalam memilih teman adalah barometernya, karena dirinya sadar, teman yang baik (shalihah) memiliki pengaruh besar dalam menjaga keistiqomahan agamanya. Selain itu teman shalihah adalah sebenar-benar teman yang akan membawa mashlahat dan manfaat. Maka dalam pergaulannya dia akan memilih teman yang baik dan shalihah, yang benar-benar memberikan kecintaan yang tulus, selalu memberi nasihat, tidak curang dan menunjukan kebaikan. Karena bergaul dengan wanita-wanita shalihah dan menjadikannya sebagai teman selalu mendatangkan manfaat dan pahala yang besar, juga akan membuka hati untuk menerima kebenaran. maka kebanyakan teman akan jadi teladan bagi temannya yang lain dalam akhlak dan tingkah laku. Seperti ungkapan “Janganlah kau tanyakan seseorang pada orangnya, tapi tanyakan pada temannya. karena setiap orang mengikuti temannya”.

 

Bertolak dari sinilah maka wanita muslimah senantiasa dituntut untuk dapat memilih teman, juga lingkungan pergaulan yang tak akan menambah dirinya melainkan ketakwaan dan keluhuran jiwa. Sesungguhnya Rasulullah juga telah menganjurkan untuk memilih teman yang baik (shalihah) dan berhati-hati dari teman yang jelek.

 

Hal ini telah dimisalkan oleh Rasulullah melalui ungkapannya:

“Sesungguhnya perumpamaan teman yang baik (shalihah) dan teman yang jahat adalah seperti pembawa minyak wangi dan peniup api pandai besi. Pembawa minyak wangi mungkin akan mencipratkan minyak wanginya itu atau engkau menibeli darinya atau engkau hanya akan mencium aroma harmznya itu. Sedangkan peniup api tukang besi mungkin akan membakar bajumu atau engkau akan mencium darinya bau yang tidak sedap“.   (Riwayat Bukhari, kitab Buyuu’, Fathul Bari 4/323 dan Muslim kitab Albir 4/2026)1

 

Dari petunjuk agamanya, wanita muslimah akan mengetahui bahwa teman itu ada dua macam. Pertama, teman yang shalihah, dia laksana pembawa minyak wangi yang menyebarkan aroma harum dan wewangian. Kedua teman yang jelek laksana peniup api pandai besi, orang yang disisinya akan terkena asap, percikan api atau sesak nafas, karena bau yang tak enak.

 

Maka alangkah bagusnya nasehat Bakr bin Abdullah Abu Zaid, ketika baliau berkata,” Hati-hatilah dari teman yang jelek …!, karena sesungguhnya tabiat itu suka meniru, dan manusia seperti serombongan burung yang mereka diberi naluri untuk meniru dengan yang lainnya. Maka hati-hatilah bergaul dengan orang yang seperti itu, karena dia akan celaka, hati- hatilah karena usaha preventif lebih mudah dari pada mengobati “.

 

Maka pandai-pandailah dalam memilih teman, carilah orang yang bisa membantumu untuk mencapai apa yang engkau cari . Dan bisa mendekatkan diri pada Rabbmu, bisa memberikan saran dan petunjuk untuk mencapai tujuan muliamu.

 

Maka perhatikanlah dengan detail teman-¬temanmu itu, karena teman ada bermacam-macam

• ada teman yang bisa memberikan manfaat

• ada teman yang bisa memberikan kesenangan (kelezatan)

• dan ada yang bisa memberikan keutamaan.

 

Adapun dua jenis yang pertama itu rapuh dan mudah terputus karena terputus sebab-sebabnya. Adapun jenis ketiga, maka itulah yang dimaksud persahabatan sejati. Adanya interaksi timbal balik karena kokohnya keutamaan masing-masing keduanya. Namun jenis ini pula yang sulit dicari. (Hilyah Tholabul ‘ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaid halarnan 47-48)

 

Memang tidak akan pernah lepas dari benak hati wanita muslimah yang benar-benar sadar pada saat memilih teman, bahwa manusia itu seperti barang tambang, ada kualitasnya bagus dan ada yang jelek. Demikian halnya manusia, seperti dijelaskan Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam :   ” Manusia itu adalah barang tambang seperti emas dan perak, yang paling baik diantara mereka pada zaman jahiliyyah adalah yang paling baik pada zaman Islam jika mereka mengerti. Dan ruh- ruh itu seperti pasukan tentara yang dikerahkan, yang saling kenal akan akrab dan yang tidak dikenal akan dijauhi ” (Riwayat Muslim)

 

Wanita muslimah yang jujur hanya akan sejalan dengan wanita-wanita shalihah, bertakwa dan berakhlak mulia, sehingga tidak dengan setiap orang dan sembarang orang dia berteman, tetapi dia memilih dan melihat siapa temannya. Walaupun memang, jika kita mencari atau memilih teman yang benar-benar bersih sama sekali dari aib, tentu kita tidak akan mendapatkannya. Namun, seandainya kebaikannya itu lebih banyak daripada sifat jeleknya, itu sudah mencukupi.

 

Maka Syaikh Ahmad bin ‘Abdurrahman bin Qudamah al-Maqdisi atau terkenal dengan nama Ibnu Qudamah AlMaqdisi memberikan nasehatnya juga dalam memilih teman: “Ketahuilah, bahwasannya tidak dibenarkan seseorang mengambil setiap orang jadi sahabatnya, tetapi dia harus mampu memilih kriteria-kriteria orang yang dijadikannya teman, baik dari segi sifat- sifatnya, perangai-perangainya atau lainnya yang bisa menimbulkan gairah berteman sesuai pula dengan manfaat yang bisa diperoleh dari persahabatan tersebut itu. Ada manusia yang berteman karena tendensi dunia, seperti karena harta, kedudukan atau sekedar senang melihat-lihat dan bisa ngobrol saja, tetapi itu bukan tujuan kita.

 

Ada pula orang yang berteman karena kepentingan Dien (agama), dalam hal inipun ada yang karena ingin mengambil faidah dari ilmu dan amalnya, karena kemuliaannya atau karena mengharap pertolongan dalam berbagai kepentingannya.

 

Tapi, kesimpulan dari semua itu orang yang diharapkan jadi teman hendaklah memenuhi lima kriteria berikut; 


Dia cerdas (berakal, mengenai apa yang baik dan apa yang buruk menurut agama Islam,red), berakhlak baik, tidak fasiq, bukan ahli bid’ah dan tidak rakus dunia.

 

Mengapa harus demikian ?, karena kecerdasan adalah sebagai modal utama, tak ada kabaikan jika berteman dengan orang dungu, karena terkadang ia ingin menolongmu tapi malah mencelakakanmu.

 

Adapun orang yang berakhlak baik, itu harus. Karena terkadang orang yang cerdas pun kalau sedang marah atau dikuasai emosi, dia akan menuruti hawa nafsunya. Maka tak baik pula berteman dengan orang cerdas tetapi tidak berahlak.

 

Sedangkan orang fasiq, dia tidak punya rasa takut kepada Allah. Dan barang siapa tidak takut pada Allah, maka kamu tidak akan aman dari tipu daya dan kedengkiannya, Dia juga tidak dapat dipercaya.

 

Kalau ahli bid’ah jika kita bergaul dengannya dikhawatirkan kita akan terpengaruh dengan jeleknya kebid’ahannya itu. (Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah hal 99).

 

Maka wanita muslimah yang benar-benar sadar dan mendapat pancaran sinar agama, tidak akan merasa terhina akibat bergaul dengan wanita-wanita shalihah meskipun secara lahiriyah, status sosial clan tingkat materinya tidak setingkat. Yang menjadi patokan adalah substansi kepribadiannya dan bukan penampilan dan kekayaan atau lainnya. “Pergaulan anda dengan orang mulia menjadikan anda termasuk golongan mereka, karenanya janganlah engkau mau bersahabat dengan selain mereka”.

 

Oleh karena itu datang petunjuk Al Qur’an yang menyerukan hal itu :

“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya dipagi dan disenja hari dengan mengharap keridhoan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”  (Al-Kahfi:28)

 

wedhakencana.blogspot.com


Oleh Bintu Humron
Footnote:
1.Al Bid’ah, Dr. Ali bin M. Nashir
Maraji :
• Hilyah tolabul ‘ilmi, Bakr Abdullah Abu Zaed
• Mukhtasor Minhajul Qasidin, Ibnu Qudamah
• Bid’ah dhowabituha wa atsaruhas Sayyisil Ummah,
Dr. Ali Muhammad Nashir AlFaqih
• Sahsiyah Mar’ah, Dr M.Ali Al Hasyimi
Dikutip dari Buletin Dakwah Al-Atsari, Cileungsi Edisi X Sha’ban 1419
Sumber : www.darussalaf.org
http://ummuammar88.wordpress.com/2009/01/30/lihatlah-siapa-temanmu/

Saturday, December 29, 2012

4 Langkah Untuk Meningkatkan Kualitas Keislaman Seorang Muslim

Kebanyakan kaum muslimin masih beranggapan kewajibannya untuk agama ini hanyalah beramal dan beribadah (sholat, puasa dan sejenisnya). Dan itu mereka anggap sudah cukup membuat mereka selamat menuju akhirat.  

 


 

Padahal ada 4 hal yang harus dilakukan setiap muslim untuk meningkatkan kualitas keislamannya, dimana dengannya ia selamat menuju akhirat.  Tanpa menjaga 4 kewajibannya ini maka mereka akan termasuk orang-orang yang merugi dan gagal di dunia dan akhirat.

 

Berikut ini kami kutip penjelasan mengenai 4 langkah yang menjadi kewajiban setiap muslim agar kualitas iman dan keislamannya bisa terjaga kokoh dan meningkat dari hari ke hari.  Tulisan ini kami sarikan berdasarkan salah satu tulisan Abu Umamah Abdurrohim bin Abdul Qohhar Al Atsary sesuai keterangan sumber pustaka pada catatan kaki.

 

Agama Islam akan bermanfaat bagi setiap muslim setelah ia menjalankan tugas yang telah diwajibkan oleh Alloh Subhanahu wa ta’ala.

 

Kewajiban setiap muslim terhadap agamanya itu ada 4 yaitu :

1. Mempelajari Islam (menuntut ilmu agama)

2. Mengamalkan ajaran Islam (berdasarkan ilmu yang sudah kita pelajari) pada diri kita sendiri

3. Mendakwahkan ajaran Islam kepada umat manusia agar taat pada agama Islam

4. Bersabar dalam mengamalkan ajaran Islam, dalam berdakwah dan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah.

 

Keempat tugas dan kewajiban ini telah Alloh subhanahu wata’ala sebutkan dalam firmanNya  (artinya) :   “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam keadaan merugi (celaka), kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasehati dalam kebenaran, dan saling menasehati dalam kesabaran.” (QS, Al ‘Ashr: 1-3)

 

Imam As-Syafi’i berkata: “Seandainya semua manusia memikirkan apa yang ada di dalam surat ini (surat Al ‘Ashr), sesungguhnya surat ini mencukupi mereka”. Penjelasannya adalah bahwa martabat itu ada empat, dengan menyempurnakan keempatnya, maka seseorang mendapatkan puncak kesempurnaannya. (seperti ditulis Imam Ibnul Qoyyim  di dalam Miftah Darus Sa’adah 1/56)(sebagai tambahan penerbit)

 

Berikut dibawah ini penjelasan singkatnya :

 

1. Mempelajari Islam (Berilmu)

Allah Subhanahu wa ta’ala mewajibkan setiap muslim untuk mempelajari agamanya secara terus-menerus, hingga akhir hayat, sebagaimana telah disabdakan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam (artinya) :   “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”

(HR. Ibnu Majah, Abu Ya’la, Thabrani, dan Al Albany telah menshohihkannya)

 

Adapun diantara sebab-sebab diwajibkannya belajar agama adalah :

-  Kita tidak dapat menjalankan agama dengan baik dan benar kalau tidak belajar (memahami) terlebih dahulu dengan baik apa yang akan kita amalkan.  Orang yang tidak mau atau bermalas-malasan belajar agama tidak akan mendapatkan kebaikan.  Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda (artinya) :   “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Alloh kebaikan baginya, maka Alloh akan mengkaruniakan kepahaman agama baginya”   (HR Al Bukhori).

 

Al Imam Al Bukhori menafsirkan hadits ini dengan mengatakan : “Orang yang tidak mau belajar kaidah-kaidah Islam, terhalang baginya kebaikan”

 

-  Ibadah atau amal shalih yang dicintai dan diridhoi Alloh Subhanahu wa ta’ala adalah jika amalan itu sesuai dengan (cara dan tujuan yang dijelaskan di) Al Qur’an dan As-Sunnah.  Maka kita wajib mempelajari Al Qur’an dan As-Sunnah karena keduanya menerangkan segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Alloh subhanahu wata’ala untuk kita amalkan. Didalamnya juga diterangkan hal-hal yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya yang harus kita jauhi dan tinggalkan.

 

Rosululloh shalallahu alaihi wassalam menyampaikan pesan untuk seluruh umat Islam, melalui sabdanya (artinya) :   “Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh dengan keduanya, yaitu kitabulloh dan sunnahku.  Keduanya tidak akan berpisah sampai kalian (bertemu) kembali denganku di telaga Al Haudh  (Al Hadits,  diantaranya ada dalam riwayat Hakim (I/172), dan Daruquthni(hadits no. 149), HR Imam Malik 1395 bersumber dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu dihasankan oleh Al-Albani di dalam kitabnya Manzilatus Sunnah fil Islam 1/18]

 

-  Alloh subhanahu wata’ala telah melarang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak diketahui ilmunya. Alloh subhanahu wata’ala berfirman (artinya) :   “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isra: 36)

 

Jadi orang Islam yang tidak mau belajar agama, dia tidak akan mengerti mana jalan yang lurus (baik) dan mana jalan yang menyesatkan, mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak akan mengerti mana perbuatan yang dicintai Alloh dan mana yang dibenci dan dimurkai-Nya.

 

Orang yang tidak mau belajar agama telah berdosa karena tidak taat kepada Alloh subhanahu wata’ala.

 

Adapun ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap muslim ada tiga yaitu mempelajari tentang Alloh subhanahu wata’ala, mempelajari tentang Nabi-Nya shalallahu alaihi wassalam, dan mempelajari tentang agama Alloh subhanahu wata’ala.

 

2.   Mengamalkan Ajaran Islam

Kewajiban setiap muslim setelah mempelajari ilmu agama adalah mengamalkan ilmunya.  Orang yang belajar agama tapi tidak mengamalkannya, tidak ada gunanya dan tetap berada dalam kesesatan dan murkan Alloh subhanahu wata’ala. 

 

Orang yang mengerti dengan baik ajaran Islam namun tidak mengamalkannya, sangat menyerupai orang Yahudi yang tahu kebenaran Islam tapi menyangkalnya, kemudian dilaknat Alloh subhanahu wata’ala. Adapun orang yang mengamalkan agama tetapi tidak diadasari ilmu yang benar, maka mereka menyerupai orang Nasrani (Kristen) yang beribadah dengan cara yang salah, dan telah dilaknat Alloh subhanahu wata’ala.

 

Orang Islam wajib mempelajari agamanya dengan sebaik-baiknya, kemudian mengamalkannya dengan cara menjalankan perintah dan menjauhi apa yang dilarangNya dan dimurkaiNya.  Mempelajari dan mengamalkan Islam merupakan jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang telah diberi petunjuk dan diberi nikmat oleh Alloh subhanahu wata’ala yaitu para Nabi, shiddiqun, syuhada dan orang-orang yang sholih.

 

3.  Mendakwahkan ajaran Islam

Kewajiban selanjutnya adalah menyampaikan dan mengajak kaum muslimin untuk mempelajari Islam dengan baik kemudian mengamalkannya, juga mengajak orang-orang yang diluar Islam agar memeluk agama Islam yang jelas telah diridhoi Alloh Subhanahu wata’ala, yang akan menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.

 

Alloh subhanahu wata’ala telah menerangkan kewajiban berdakwah ini dalam firmanNya (artinya) :   “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan peringatan yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik”  (QS An Nahl : 125)

 

4.  Bersabar dalam menjalankan kewajiban beragama

Bersabar artinya menahan hawa nafsu untuk taat dan tidak bermaksiat kepada Alloh subhanahu wata’ala serta tidak mencela dan membenci takdir Alloh subhanahu wata’ala.

 

Sabar itu ada 3 macam :

  1. Bersabar ketika menjalankan ketaatan kepada Alloh subhanahu wata’ala

  2. Bersabar ketika menjauhi larangan dan maksiat

  3. Bersabar ketika menerima ujian dan cobaan dari Alloh subhanahu wata’ala

 

Demikianlah, inilah empat tugas dan kewajiban bagi setiap muslim agar agamanya bermanfaat pada dirinya dengan baik, yaitu mempelajari agama, mengamalkannya, mendakwahkannya dan bersabar.

 

 

wedhakencana.blogspot.com
                                                           

Sumber :  
Dikutip dari Buku Pegangan TPQ, Modul Aqidah I, oleh Abu Umamah Abdurrohim bin Abdul Qohhar Al Atsary.

Tuesday, December 18, 2012

Islam Agama yang Sempurna

Islam adalah satu-satunya agama yang dipilih oleh Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya :   “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam” (Ali Imran : 19). 

 

 

Merupakan kebenaran mutlak yang datang dari Allah Ta’ala dan tidak ada kebenaran selain Islam, maka siapa yang menginginkan selain Islam berarti dia memilih kebathilan dan dalam keadaan merugi. 


Allah Ta’ala berfirman :   “Apakah selain agama Allah (Islam) yang mereka inginkan, padahal hanya kepada Allah-lah berserah diri segala apa yang ada di langit dan di bumi baik dengan tunduk (taat) maupun dipaksa dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan.” (Ali Imran : 83)

 

“Dan siapa yang menginginkan selain Islam sebagai agamanya maka tidak akan diterima darinya agama tersebut dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran : 85).

 

Agama yang haq ini telah disempurnakan oleh Allah Ta’ala dalam segala segi, segala yang dibutuhkan hamba untuk kehidupan dunia dan akhiratnya telah dijelaskan, sehingga tidak luput satu percakapan melainkan Islam telah mengaturnya.

 

Allah Ta’ala berfirman : “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al Maidah : 3)

 

Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya berkata : “Ini merupakan nikmat Allah yang terbesar bagi ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada selain agama Islam dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka shalawatullahi wasalaamu alaihi. Karena itulah Allah menjadikan Nabi ummat ini (Muhammad shallallahu alahi wasallam, pent.) sebagai penutup para Nabi dan Allah mengutusnya untuk kalangan manusia dan jin, maka tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang dia haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang dia syariatkan. Segala sesuatu yang dia kabarkan adalah kebenaran dan kejujuran tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada penyuluhan.” (Tafsir Al Quranul Adzim 3/14. Dar Al Ma’rifat).

 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah Ta’ala kepada ummat ini telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah dari Allah dengan sempurna. Maka tidaklah beliau shallallahu alaihi wasallam wafat melainkan beliau telah menjelaskan kepada ummatnya seluruh apa yang mereka butuhkan.

 

Dengan kesempurnaan yang dimiliki, syariat Islam tidak lagi memerlukan penambahan, pengurangan, ataupun perubahan, atau lebih simpelnya hal-hal ini diistilahkan bid’ah dalam agama yang telah diperingatkan dengan keras oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau :  “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah ucapan Allah dan sebaik-baik ajaran adalah ajaran Rasulullah. Dan sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya sesuatu yang baru diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)

 

Mengapa Bid’ah Dan Pembuatnya Dikatakan Sesat ?

Karena, pertama, bisa jadi pembuat bid’ah itu menganggap ajaran agama ini belum sempurna hingga perlu penyempurnaan dari hasil pemikiran manusia. Dengan anggapan demikian berarti ia mendustakan firman Allah Ta’ala yang memberikan kesempurnaan agama ini. (Catatan redaksi : Bid’ah yang dilarang dalam pengertian ini adalah bid’ah dalam perkara agama, artinya segala hal yang diada-adakan dalam cara beragama dan beribadah. Jadi disini jelas tidak termasuk pengertian perkara baru dalam bidang lain yang tidak dilarang seperti perkara sosial, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sejenisnya)

 

Kedua, bisa jadi ia menganggap agama ini telah sempurna, namun ada perkara yang belum disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang berarti ia menuduh beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah berkhianat dalam penyampaian risalah. Padahal para shahabat seperti Abu Dzar radliyallahu anhu mempersaksikan : “Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya pada kami.”

 

Abu Dzar kemudian berkata :

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka kecuali telah diterangkan pada kalian.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, lihat As Shahihah karya Syaikh Albani rahimahullah 4/416 dan hadits ini memiliki pendukung dari riwayat lain).

 

Imam Malik rahimahullah berkata : Barangsiapa yang mengada-adakan dalam Islam sesuatu kebid’ahan dan menganggapnya baik berarti ia telah menuduh Rasulullah telah berkhianat dalam menyampaikan risalah.

 

Karena Allah telah berfirman : Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Maka apa yang waktu itu (pada masa Rasulullah dan para shahabat beliau) bukan bagian dari agama, (maka) pada hari ini pun bukan bagian dari agama.” (Lihat Al I’tisham oleh Imam Syathibi halaman 37)

 

Ketiga, bisa jadi pembuat bid’ah itu menganggap dirinya lebih berilmu dibanding Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga dia tahu ada amalan baik yang tidak diketahui dan tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

 

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan dalam banyak haditsnya jalan keluar dari kebid’ahan jauh sebelum terjadinya bid’ah. Beliau bersabda : Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalau kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Hakim dan dishahihkan dalam Shahihul Jami’ oleh Syaikh Albani rahimahullah)

 

Beliau juga menasehatkan : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada Allah Azza wa Jalla, taat dan mendengar sekalipun kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya karena siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (ketika itu) wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru karena setiap yang bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)

 

Satu-satunya jalan menyelamatkan diri dari bid’ah adalah berpegang teguh pada dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta Petunjuk Salafus Shalih, pemahaman mereka, manhaj mereka, dan pengamalan mereka terhadap dua wahyu, karena mereka adalah orang yang paling besar cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, paling kuat ittiba’-nya, paling dalam ilmunya dan paling luas pemahamannya terhadap Al Qur’an dan As Sunnah.

 

Dengan cara ini seorang Muslim akan mampu berpegang teguh dengan agamanya dan bebas dari segala kotoran yang mencemari dan jauh dari semua kebid’ahan yang menyesatkan. Dan jalan ini mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

 Wallahu a’lam bishawwab.

 

 

wedhakencana.blogspot.com

 

Sumber:
Diringkas dari tulisan Al Ustadz Muslim Abu Ishaq - murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'y rahimahullah, Yaman, selengkapnya bisa dibaca di http://darussunnah.or.id/artikel-islam/akidah/kesempurnaan-agama-islam/

Sunday, December 16, 2012

Merawat Pohon Islam dalam Kalbu Seorang Muslim

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,  “Di antara pepohonan, ada yang daunnya tidak rontok. Sungguh, itu adalah permisalan seorang muslim. Beri tahukan kepadaku, pohon apakah itu?” Orang-orang menyebut pohon-pohon yang ada di lembah-lembah. Ibnu Umar mengatakan, “Terlintas dalam diriku bahwa itu adalah pohon kurma, tetapi aku malu (untuk mengatakannya).” Kemudian para sahabat mengatakan, “Beri tahukan kepada kami, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Pohon kurma.” (HR. al Bukhari).

 

 

Perumpamaan ini mengandung rahasia, ilmu, dan pengetahuan, yang sesuai dengan kebesaran Allah subhanahu wata’ala, ilmu dan hikmah-Nya.

 

Di antaranya, pohon itu mesti ada akar, batang, cabang, daun, dan buahnya. Demikian pula pohon iman dan Islam, agar sesuai antara yang diumpamakan dan perumpamaannya. Akar pohon iman adalah ilmu, pengetahuan, dan keyakinan; batangnya adalah keikhlasan; cabangnya adalah amalan; buahnya adalah akibat dari amal saleh berupa perangai dan sifat yang terpuji, akhlak yang baik, penampilan yang baik, dan kepribadian yang diridhai. Hal-hal tersebut menjadi bukti menancapnya pohon tersebut dalam kalbu dengan kokoh.

 

Apabila sebuah ilmu benar dan sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam kitab-Nya, keyakinannya tentang Allah subhanahu wata’ala juga sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan para rasul-Nya, lalu keikhlasan tegak dalam kalbu, amalan sesuai dengan perintah, dan kepribadian serupa dengan prinsip-prinsip tersebut; maka dapat diketahui bahwa akar pohon iman dalam kalbu telah kokoh dan cabangnya menjulang di langit. Akan tetapi, jika ternyata sebaliknya, dapat diketahui bahwa yang tegak dalam kalbu hanyalah pohon yang jelek, yang mudah tercabut dari tanah dan tidak kokoh.

 

Pohon Islam

Di antara (tabiat pohon) adalah ia tidak akan hidup melainkan dengan adanya sesuatu yang menyirami dan menumbuhkannya. Jika penyiraman itu terputus/terhenti, bisa dipastikan pohon itu mengering. Demikian pula pohon Islam dalam kalbu. Jika pemiliknya tidak menjaganya dengan cara menyiraminya setiap saat dengan ilmu yang bermanfaat dan amal yang saleh, lalu kembali mengingat dan berpikir, kemudian berpikir dan mengingat lagi, tentu ia akan mengering.

 

Terdapat (hadits) dalam Musnad Ahmad dari hadits Abu Hurairah z, ia berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,  “Sesungguhnya iman dalam kalbu bisa rusak sebagaimana rusaknya baju, maka perbaruilah iman kalian.” 1  (Hadits ini dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1585.)

 

Secara global, jika pemilik sebuah tanaman tidak senantiasa menjaganya, niscaya tanamannya akan mati. Dari sini kita tahu betapa butuhnya seorang hamba akan perintah-perintah Allah subhanahu wata’alayang berupa berbagai ibadah seiring dengan bergantinya waktu. Selain itu, termasuk kebesaran Allah subhanahu wata’ala, kesempurnaan nikmat dan kebaikan-Nya kepada para hamba-Nya adalah Allah subhanahu wata’ala menugaskan hamba-Nya untuk itu. Allah subhanahu wata’ala juga menjadikan hal itu sebagai bahan untuk menyirami tanaman tauhid (dan iman) yang dia tanam dalam kalbunya.

 

Sudah menjadi tabiat yang diciptakan Allah subhanahu wata’ala pada tanaman yang bermanfaat, ia akan tumbuh bercampur dengan semak-semak dan tetumbuhan yang asing, berbeda jenisnya (gulma, tumbuhan pengganggu, -red.). Apabila pemiliknya menjaganya dari itu semua, membersihkannya, dan mencabutinya, tanaman itu akan sempurna dan kokoh. Pertumbuhannya pun menjadi maksimal sehingga buahnya akan lebih lebat, lebih bagus, dan lebih bersih. Namun, apabila dia biarkan, niscaya semak-semak dan tetumbuhan asing itu justru akan mendominasi sehingga semak-semak itulah yang unggul dan tanaman pokoknya akan melemah. Akibatnya, buahnya jelek dan tidak maksimal sesuai dengan banyak dan sedikitnya tumbuhan asing tersebut.

 

Orang yang tidak memiliki kepahaman terhadap jiwanya dalam hal ini dan tidak mengetahuinya, dia akan kehilangan keberuntungan yang besar dalam keadaan dia tidak merasa. Maka dari itu, seorang mukmin selalu berusaha dalam dua hal: menyirami pohon ini dan membersihkan sekelilingnya. Menyirami akan menyebabkan pohon tetap hidup dan tumbuh, adapun membersihkan sekelilingnya akan menyempurnakan pertumbuhannya.

 

Allah subhanahu wata’ala lah tempat memohon pertolongan dan tempat bertawakal, wa lahaula wa laquwwata illa billah.

 

Inilah beberapa hikmah yang terkandung dalam perumpamaan yang agung ini. Bisa jadi, apa yang disebutkan di atas hanya setetes dari air lautan, sesuai dengan kemampuan akal pikiran kita yang serba terbatas, kalbu kita yang kurang tenang, ilmu kita yang sedikit, serta amalan kita yang membutuhkan taubat dan istighfar. Padahal apabila kalbu kita suci, pikiran kita jernih, jiwa kita suci, amalan juga ikhlas, pikiran pun berkonsentrasi untuk menerima ilmu dari Allah subhanahu wata’aladan Rasul-Nya, tentu kita akan menyaksikan makna-makna kalamullah, berbagai rahasia dan hikmahnya. Segala ilmu akan terasa dangkal di hadapannya. Semua pengetahuan makhluk pun seakan-akan lenyap di hadapannya.

 

Dengan begitu, kita akan menyadari betapa tingginya ilmu para sahabat dan pengetahuan mereka. Di samping itu, kita juga akan mengetahui bahwa perbandingan antara ilmu mereka dan ilmu orang yang setelah mereka layaknya perbedaan perbandingan keutamaan mereka dengan selain mereka. Allah subhanahu wata’alalah yang Mahatahu di manakah ia berikan keutamaan-Nya dan kepada siapakah Dia beri kekhususan dengan rahmat-Nya.

 

(Ditulis oleh: Ibnu Qayyim al-Jauziyah,  diterjemahkan oleh Qomar Suaidi dari kitab I’lamul Muwaqqi’in)

 

Catatan Kaki:

1 Lafadznya dalam Musnad Ahmad,

“Perbaruilah iman kalian!” Ditanyakan kepada beliau, “Bagaimana kami memperbarui iman kami?” Beliau menjawab, “Perbanyaklah mengucapkan La ilaha Illallah.”

Al-Hakim meriwayatkan yang semakna dengan itu dalam kitab Mustadrak-nya,

“Sesungguhnya iman akan rusak dalam diri kalian laksana rusaknya baju, maka mohonlah kepada Allah untuk memperbarui iman dalam kalbu kalian.”

 

Hadits ini dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1585.

 

 

wedhakencana.blogspot.com

 

Sumber :
Permisalan Seorang Muslim, Majalah AsySyariah Edisi 077

Saturday, December 15, 2012

Qalbu Mengeras Karena Jauh Dari Allah

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:  “Maka celakalah bagi mereka yang keras qalbunya dari berdzikir kepada Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (Az-Zumar: 22)

 

Tidaklah Allah memberikan hukuman yang lebih besar kepada seorang hamba selain dari kerasnya qalbu dan jauhnya dari Allah subhanahu wa ta’ala. An-Naar (neraka) adalah diciptakan untuk melunakkan qalbu yang keras. Qalbu yang paling jauh dari Allah adalah qalbu yang keras, dan jika qalbu sudah keras mata pun terasa gersang. 

Qalbu yang keras ditimbulkan oleh empat hal yang dilakukan melebihi kebutuhan: makan, tidur, bicara, dan pergaulan.  

 

 

Sebagaimana jasmani jika dalam keadaan sakit tidak akan bermanfaat baginya makanan dan minuman, demikian pula qalbu jika terjangkiti penyakit-penyakit hawa nafsu dan keinginan-keinginan jiwa, maka tidak akan mempan padanya nasehat.

Barangsiapa hendak mensucikan qalbunya maka ia harus mengutamakan Allah dibanding keinginan dan nafsu jiwanya.

Karena qalbu yang tergantung dengan hawa nafsu akan tertutup dari Allah subhanahu wa ta’ala, sekadar tergantungnya jiwa dengan hawa nafsunya.
Banyak orang menyibukkan qalbu dengan gemerlapnya dunia. Seandainya mereka sibukkan dengan mengingat Allah subhanahu wa ta’ala dan negeri akhirat tentu qalbunya akan berkelana mengarungi makna-makna Kalamullah dan ayat-ayat-Nya yang nampak ini, dan ia pun akan menuai hikmah-hikmah yang langka dan faedah-faedah yang indah. Jika qalbu disuapi dengan berdzikir dan disirami dengan berfikir serta dibersihkan dari kerusakan, ia pasti akan melihat keajaiban dan diilhami hikmah.

Tidak setiap orang yang berhias dengan ilmu dan hikmah serta memeganginya akan masuk dalam golongannya. Kecuali jika mereka menghidupkan qalbu dan mematikan hawa nafsunya.  Adapun mereka yang membunuh qalbunya dengan menghidupkan hawa nafsunya, maka tak akan muncul hikmah dari lisannya.

Rapuhnya qalbu adalah karena lalai dan merasa aman, sedang makmurnya qalbu karena takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dzikir. Maka jika sebuah qalbu merasa zuhud dari hidangan-hidangan dunia, dia akan duduk menghadap hidangan-hidangan akhirat. Sebaliknya jika ia ridha dengan hidangan-hidangan dunia, ia akan terlewatkan dari hidangan akhirat.

Kerinduan bertemu Allah subhanahu wa ta’ala adalah angin semilir yang menerpa qalbu, membuatnya sejuk dengan menjauhi gemerlapnya dunia. Siapapun yang menempatkan qalbunya disisi Rabb-nya, ia akan merasa tenang dan tentram. Dan siapapun yang melepaskan qalbunya di antara manusia, ia akan semakin gundah gulana.

Ingatlah! Kecintaan terhadap Allah tidaklah akan masuk ke dalam qalbu yang mencintai dunia kecuali seperti masuknya unta ke lubang jarum (sesuatu yang sangat mustahil).
Jika Allah subhanahu wa ta’ala cinta kepada seorang hamba, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memilih dia untuk diri-Nya sebagai tempat pemberian nikmat-nikmat-Nya, dan Ia akan memilihnya di antara hamba-hamba-Nya, sehingga hamba itu pun akan menyibukkan harapannya hanya kepada Allah. 

Lisannya senantiasa basah dengan berdzikir kepada-Nya, anggota badannya selalu dipakai untuk berkhidmat kepada-Nya.  Qalbu bisa sakit sebagaimana sakitnya jasmani, dan kesembuhannya adalah dengan bertaubat. Qalbu pun bisa berkarat sebagaimana cermin, dan cemerlangnya adalah dengan berdzikir. Qalbu bisa pula telanjang sebagaimana badan, dan pakaian keindahannya adalah taqwa. 

Qalbu pun bisa lapar dan dahaga sebagaimana badan, maka makanan dan minumannya adalah mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, cinta, tawakkal, bertaubat dan berkhidmat untuk-Nya.  


wedhakencana.blogspot.com

(diterjemahkan dan diringkas dari kitab Al-Fawaid karya Ibnul Qayyim rahimahullah hal 111-112)
oleh : Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Amal Ketakwaan sebagai Bekal Tabungan Akhirat

Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan. 

 

 

Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.

 

Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan (amal ketakwaan, red) dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir. Yaitu suatu hari dimana  tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan yang pernah kita miliki selama hidup di dunia.

 

Harta memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya.

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:   “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)

 

Dan firman-Nya:    “Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96) 

 

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Tatkala turun ayat: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” (At-Taubah: 34).  Tsauban radhiyallahu ‘anhu berkata:  Dahulu kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau seandainya kita tahu harta apa yang terbaik yang kita akan mengambilnya?

 

” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:   “Yang utama adalah lisan yang berdzikir, hati yang syukur dan istri mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif)

 

Tingkatan-tingkatan Amalan

Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang wajib didahulukan dari yang sunnah. 

 

Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:   “Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6502)

 

Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)

 

Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu contoh, shadaqah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun sebesar dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya dengan shadaqah kita, meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.

 

Luasnya Rahmat Allah subhanahu wa ta’ala

Kasih sayang Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rizki oleh Allah subhanahu wa ta’ala, padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di hari kiamat nanti. 

 

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:   “Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

 

Orang yang menggabungkan antara iman dan amal shalih akan Allah subhanahu wa ta’ala beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rizki yang halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.

 

Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala adalah dilipatgandakannya pahala amalan,   sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:   “Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).” (Al-An’am: 160)

 

Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.

 

Barakah Keikhlasan

Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat barakah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari marabahaya.

 

Beberapa kisah telah membuktikan, dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang shalih lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya maka Allah subhanahu wa ta’ala jaga harta warisan dari orangtuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 82.

 

Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai perantara) kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah subhanahu wa ta’ala kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.

 

Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa orang yang mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah subhanahu wa ta’ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.

 

Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun

Allah Maha Adil dan tidak mendzalimi hamba-Nya. Barangsiapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun pasti dia akan melihat balasan kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun niscaya dia melihat pembalasannya. 

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:   “Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

 

Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. (Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)

 

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):  “Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena haus, tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari para pezina Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan memberi minum anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) karenanya.” (Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)

 

Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Maka, orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. 

 

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya):   “Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau mewariskan (meninggalkan) mushaf (Al-Qur`an) atau meninggalkan anak yang memintakan ampunan baginya setelah matinya.” (HR. Al-Bazzar dan dihasankan oleh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602)

 

Dan tersebut dalam hadits:   “Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut dimasukkan (oleh Allah subhanahu wa ta’ala) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)

 

Coba renungkan hadits tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut dimasukkan ke dalam jannah (surga) karena melakukan cabang keimanan yang terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?

 

Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal shalih sangatlah banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu lain yang bisa kita masuki. Juga, terkadang seseorang menganggap suatu amalan itu remeh padahal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala itu besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. 

 

Inilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:  “Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)

 

Shalat sunnah sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala akan kekal. Sedangkan dunia, seberapapun seorang mendapatkannya maka ia akan lenyap.

 

Harta Kita yang Sesungguhnya

Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah kita suguhkan untuk kebaikan. 

 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:   “Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan (sedekahkan, red), sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan (yang masih ada, red).” (HR. Al-Bukhari)

 

Ibnu Baththal rahimahullah berkata:  “Dalam hadits ini ada anjuran untuk menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta pada sisi-sisi taqarrub kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di akhirat. Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Sedangkan yang mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari, 11/260)

 

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2470)

 

Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah subhanahu wa ta’ala dan yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di sisi-Nya.

 

Wallahu a’lam bish-shawab.

 


Wedha Kencana


(Dikutip dari artikel dengan judul ‘Simpanan yang Tak Akan Sirna’ dalam Asy-Syari’ah No. 40/IV/1429 H/2008, oleh Al Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc)
Sumber : http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=660


Kemerdekaan Menurut Islam

Salah satu hak setiap bangsa, golongan, masyarakat atau pribadi yaitu hak mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Lalu, ba...