Saturday, August 17, 2013

Mengapa Sebagian Orang Melupakan, Meremehkan atau Menolak Al-Qur’an?

Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini (mahjuran) suatu yang tidak dihiraukan.’” (Al-Furqan: 30) Ibnu Katsir t menjelaskan: “Hal itu dikarenakan dahulu kaum musyrikin tidak mendengarkan Al-Qur`an. Mereka, bila dibacakan Al-Qur`an, jutru membikin keributan dan berbicara hal lain supaya tidak mendengarnya. Inilah (makna) menjadikan Al-Qur`an (mahjuran) suatu yang tidak dihiraukan.” (Tafsir Ibnu Katsir:3/329)



Ibnul Qayyim rahimahumullah menjelaskan juga bahwa sikap tak acuh terhadap Al-Qur`an ada beberapa macam, yaitu :

1.    Tidak mau mendengarkan dan beriman pada Al Qur’an.
2.    Meninggalkan pengamalannya dan tidak memperhatikan halal-haramnya meskipun membaca dan beriman dengannya.
3.    Tidak mau memutuskan hukum atau berhukum dengannya baik dalam prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Serta meyakini bahwa Al-Qur`an tidak memberikan sesuatu yang yakin dan dalil-dalil Al-Qur`an hanyalah berupa lafadz-lafadz, tidak menghasilkan ilmu yang yakin.
4.    Tidak men-tadabburi dan memahaminya serta tidak berusaha mengetahui apa yang dimaukan oleh Yang  (Allah ‘Azza wa Jalla) berbicara dengannya.
5.    Tidak mau mencari kesembuhan atas segala penyakit qalbu darinya (Al-Qur’an) atau berobat dengannya, sehingga mencari kesembuhan dari selainnya.
6.    Berpaling kepada selainnya baik berupa syair, perkataan orang, nyanyian, omong kosong, atau metode yang diambil dari selainnya.

Semua itu masuk dalam firman Allah subhanahu wata’ala: “Berkatalah Rasul: ‘Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini (mahjuran) suatu yang tidak diacuhkan.’” (Al-Furqan: 30)
Walaupun sebagian bentuk ketidakacuhan lebih ringan dari yang lain.

Keberatan Terhadap Al-Qur`an
Demikian pula rasa berat yang ada di dalam dada manusia terhadap Al-Qur`an:
a. Terkadang keberatan itu terhadap turunnya Al-Qur`an dan bahwa (tidak yakin bahwa Al-Qur`an)  itu kebenaran (yang berasal) dari Allah subhanahu wata’ala.  (meragukan Al Qur’an sebagai kalam/perkataan Allah, dan menganggapnya karya manusia atau karya Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam,  red)
b. Terkadang keberatan pada (keyakinan) bahwa (apakah memang benar) Allah subhanahu wata’ala yang berbicara dengannya.
c. Terkadang keberatan pada cukup atau tidaknya Al-Qur`an, sehingga (menurutnya) Al-Qur`an tidak memadai bagi manusia. Dan mereka membutuhkan teori-teori rasionalis, analogi maupun ide serta gagasan (di luar Al-Qur’an).
d. Terkadang keberatan pada sisi kandungan dalil Al-Qur`an dan esensi yang dimaukannya, yang bisa dipahami dari ungkapannya. Sehingga (memberikan kemungkinan), bahwa yang dimaukan dengannya adalah makna yang menyimpang dari makna asli dan hakikat kandungannya, berupa penafsiran-penafsiran yang jelek (penafsiran Qur’an yang didasarkan hawa nafsu manusia sesuai kebutuhannya atau didasari kesombongan manusia akan akalnya, red).
e. Terkadang menganggap bahwa hakikat isi Al-Qur`an, walaupun itu memang yang dimaksudkan, tapi sebenarnya itu sudah ada (walaupun tanpa penjelasan / keberadaan Al-Qur`an), atau mengesankan bahwa apa yang dimaukan Al-Qur`an itu hanya demi maslahat/kepentingan tertentu saja.

Mereka semua (yang memiliki perasaan seperti itu) memiliki rasa berat atas Al-Qur`an dalam qalbu mereka, dan mereka mengetahui hal itu pada diri-diri mereka serta mendapati hal itu dalam dada-dada mereka. Dan engkau akan dapati di setiap qalbu ahli bid’ah (yaitu orang yang gemar menambah-nambah dan berimprovisasi dalam cara beragama/ibadah) akan ada rasa berat atas banyaknya ayat yang menyelisihi bid’ah mereka.

Sebagaimana engkau dapati di setiap dada/qalbu orang yang dzalim dan jahat akan ada keberatan terhadap ayat-ayat yang menjadi penghalang antara dia dengan apa yang ia (hawa nafsunya) inginkan.
Renungilah makna ini dan pilihlah apa yang engkau suka untuk dirimu sesuai kehendakmu.
(Diterjemahkan dan diringkas dari kitab Al-Fawa`id, karya Ibnul Qayyim, hal. 94) 1.

Catatan Kaki:
1 Untuk poin ini penulis tambahkan dari penjelasan Ibnu Katsir.

Sumber:
Qalbu yang merasa Berat dengan Al-Qur’an, (ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar ZA Lc.), Majalah AsySyariah Edisi 023 (beberapa tulisan yang berada dalam tanda kurung merupakan tambahan dari redaksi untuk memudahkan / menyederhanakan bahasa) http//kebunhidayah.worpress.com

Thursday, August 8, 2013

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434H

Hari raya lebaran Idul Fitri (Arab, عيد الفطر) [ejaan lain: Eid-ul-Fitr, Eid-ul-fitr, Eid al-Fitr, Id-ul-Fitr, Id al-Fitr] adalah hari besar Islam yang utama yang terjadi pada tanggal 1 Syawal yaitu setelah pelaksanaah puasa Ramadan sebulan penuh. Lebaran Idul fitri dirayakan dengan melaksanakan shalat sunnah. Hukumnya shalat idul fitri sunnah mu'akkad bagi setiap muslim untuk hadir. Bahkan ada pendapat dari madzhab Hanafi yang mengatakan wajib.
  

DEFINISI SHALAT IDUL FITRI
Shalat Idul Fitri adalah shalat sunnah 2 (dua) rakaat yang dilakukan pada tanggal 1 Syawal setelah selesainya sebulan penuh puasa Ramadhan.

DALIL SHALAT IDUL FITRI
- QS Al-Kautsar :2 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ menurut sebagian ulama tafsir, shalat yang dimaksud adalah shalat hari raya.
- Hadits Bukhari dan Muslim
أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْها قَالَتْ : أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ . قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ . قَالَ : لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا .
Arti ringkas: Rasulullah memerintahkan semua perempuan untuk keluar saat idul fitri dan adha.

HUKUM SHALAT IDUL FITRI
Ada tiga pendapat terkait hukum shalat Idul Fitri sebagai berikut:
1. Sunnah muakkad (sangat dianjurkan) ini pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i.
2. Fardhu kifayah menurut pendapat Ahmad bin Hanbal (madzhab Hanbali)
3. Wajib bagi setiap muslim laki-laki. Ini pendapat madzhab Hanafi.
Lihat Al-Majmuk V/5, Al-Mughni III/253, Al-Inshaf V/316, Al-Ikhtiyarat 82.

SHALAT DAN KHUTBAH IDUL FITRI
Ada 2 (dua) komponen dalam ibadah ritual idul fitri yaitu shalat dan khutbah. Shalat dilakukan lebih dulu disusul kemudian dengan khutbah Idul Fitri. Ini kebalikan dengan shalat Jum'at dimana khutbah dilakukan lebih dulu dari shalat Jumpat.

Niat shalat Idul Fitri:
Sebagai imam: أصلي سنة عيد الفطر ركعتين إماما للة تعالي
Artinya: Niat shalat sunnah Idul Fitri dua rakaat sebagai imam karena Allah.
Sebagai makmum: أصلي سنة عيد الفطر ركعتين مأموما للة تعالي
Artinya: Niat shalat sunnah Idul Fitri dua rakaat sebagai makmum karena Allah.

TATA CARA SHALAT IDUL FITRI
Rakaat pertama:
(a) Baca takbirotul ihram (takbir permulaan shalat) dengan niat shalat idul fitri.
(b) Membaca doa iftitah
(c) Membaca takbir 7 (tujuh) kali (selain takbirotul ihram)
(d) Membaca Al-Fatihah
(d) Membaca surat Al-Quran seperti Al-A'la
Rakaat kedua:
(a) Membaca takbir 5 (lima) kali.
(b) Membaca Al-Fatihah
(c) Membaca surat Al-Quran seperti Al-Ghasyiyah.
Setelah sujud rakaat kedua, diikuti dengan tahiyat (tasyahud) akhir dan diakhir dengan salam.
Prosesi berikutnya adalah khutbah Idul Fitri, bagian ini khusus untuk khatib Idul Fitri.

BACAAN TIAP TAKBIR SHALAT IDUL FITRI
Setiap takbir saat shalat Idul Fitri baik rakaat pertama atau kedua disunnahkan membaca tasbih yaitu:
سُبْحَانَ اللهْ وَالْحَمْدُ لِلهْ وَلآ اِلَهَ اِلَّا اللهْ وَاللهُ اَكْبَرْ

Artinya: Mahasuci Allah dan segala puji bagi Allah dan tiada Tuhan selain Allah dan Allah Mahabesar.


TATACARA KHUTBAH IDUL FITRI
Khutbah Idul Fitri terbagi dua yaitu khutbah pertama dan khutbah kedua. Di antara dua khutbah biasanya dipisah dengan duduk sebentar.
Tata cara khutbah: (a) Membaca takbir 9 (sembilan) kali terus menerus pada khutbah pertama; (b) membaca takbir 5 (lima) kali secara terus menerus (tanpa dipisah) di rakaat kedua selain takbir untuk berdiri.
Adapun selain bacaan takbir, semuanya sama dengan khutbah Jum'at dalam segi rukunnya.

TEKS BACAAN TAKBIR LEBARAN IDUL FITRI
Teks bacaan takbir untuk lebaran Idul Fitri adalah sbb:

الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر ولله الحمد الله أكبر كبيراً والحمد لله كثيراً وسبحان الله بكرة وأصيلاً، لا إله 

إلا الله وحده صدق وعده ونصر عبده وأعز جنده وهزم الأحزاب وحده

 
HUKUM DAN WAKTU MEMBACA TAKBIR LEBARAN IDUL FITRI
Pada hari raya Idul Fitri waktu membaca takbir yang disunnahkan adalah sebagai berikut:
1. Dari sejak terbenamnya matahari pada malam hari raya idul fitri sampai masuknya imam untuk shalat idul fitri.
2. Tidak disunnahkan membaca takbir pada malam idul fitri setiap setelah shalat fardhu menurut madzhab Syafi'i kecuali pendapat Imam Nawawi.


Sumber: 
http://www.alkhoirot.net/2012/08/shalat-idul-fitri.html 



Tuesday, August 6, 2013

Ar-Rahman dan Ar-Rahim, Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Asy-Syaikh Muhammad Khalil Al-Harras mengatakan, “Keduanya adalah nama yang mulia dari nama-nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kedua nama ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki sifat rahmat, kasih sayang, yang merupakan sifat hakiki bagi Allah dan sesuai dengan kebesaran-Nya.”Kedua nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini disebutkan dalam banyak ayat dan hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, diantaranya:
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Fatihah: 1)
“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al-Fatihah: 3)



Maknanya, menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, “Ar-Rahman artinya Yang memiliki rahmat, kasih sayang yang luas, karena wazan (bentuk kata) fa’lan dalam bahasa Arab menunjukkan makna luas dan penuh. Semisal dengan kata ‘Seorang lelaki ghadhbaan,’ artinya penuh kemarahan.1
Sementara, Ar-Rahiim adalah nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang memiliki makna kata kerja dari rahmat (yakni Yang merahmati, Yang mengasihi), karena wazan fa’iil (…..) bermakna faa’il (…) pelaksana, sehingga kata tersebut menunjukkan perbuatan (merahmati, mengasihi).
Oleh karena itu, paduan antara nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim bermakna rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu luas dan kasih sayang-Nya akan sampai kepada makhluk-Nya.”

Adakah perbedaan antara nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Ar-Rahman dan Ar-Rahim?
Tentu ada sisi perbedaannya, karena setiap nama punya makna yang khusus. Berikut ini penjelasan sebagian ulama tentang perbedaan diantara keduanya.
Al-Arzami t mengatakan: “Ar-Rahman artinya Yang Maha Pengasih terhadap seluruh makhluk, sedangkan Ar-Rahim artinya Yang Maha Pengasih terhadap kaum mukminin.” (Tafsir Ibnu Jarir Ath-Thabari, Tafsir Basmalah)
Dengan demikian, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Ar-Rahman adalah yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu di dunia, karena bentuk kata/wazan fa’lan itu menunjukkan penuh dan banyak. Sedangkan Ar-Rahim, yang rahmat-Nya khusus terhadap kaum mukimin di akhirat.
Akan tetapi, ada pula yang mengatakan sebaliknya.
Ibnul Qayyim memandang bahwa Ar-Rahman menunjukkan sifat kasih sayang pada Dzat Allah Subhanahu Wa Ta’ala (yakni Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki sifat kasih sayang), sedangkan Ar-Rahim menunjukkan bahwa sifat kasih sayang-Nya terkait dengan makhluk yang dikasihi-Nya.
Sehingga seakan-akan nama Ar-Rahman adalah sifat bagi-Nya, sedangkan nama Ar-Rahim mengandung perbuatan-Nya, yakni menunjukkan bahwa Dia memberi kasih sayang kepada makhluk-Nya dengan rahmat-Nya, jadi ini sifat perbuatan bagi-Nya.

Apabila Anda hendak memahami hal ini, perhatikanlah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (Al-Ahzab: 43)
“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.” (At-Taubah: 117)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menyebutkan dengan nama Ar-Rahman sama sekali. Dengan itu, Anda tahu bahwa makna Ar-Rahman adalah Yang memiliki sifat kasih sayang dan makna Ar-Rahim adalah Yang mengasihi dengan kasih sayang-Nya. (Syarah Nuniyyah, Ahmad Isa)
Al-Harras mengatakan, ini adalah pendapat yang terbaik dalam membedakan kedua nama tersebut.
Berikut ini kutipan penjelasan Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t tentang keagungan dua nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala tersebut.

Ar-Rahman dan Ar-Rahim, adalah dua nama yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki kasih sayang yang luas dan agung. Kedua nama ini meliputi segala sesuatu dan meliputi segala makhluk. Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menetapkan kasih sayang yang sempurna bagi orang-orang bertakwa yang mengikuti para nabi dan rasul-Nya. Oleh karena itu, mereka mendapatkan kasih sayang sempurna yang bersambung dengan kebahagiaan yang abadi.
Adapun orang-orang yang selain mereka terhalang dari kasih sayang yang sempurna ini, karena mereka sendiri yang menolaknya dengan cara tidak memercayai berita (Ilahi) dan berpaling dari perintah. Oleh karena itu, janganlah mereka mencela siapapun kecuali diri mereka sendiri.
Mereka (yang bertakwa) mengimani bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maharahman dan Maharahim, memiliki rahmat yang agung, dan rahmat-Nya terkait dengan makhluk-Nya yang dirahmati, sehingga nikmat seluruhnya adalah buah dari rahmat-Nya.

Orang yang memerhatikan nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala Ar-Rahman, dan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala Mahaluas rahmat-Nya, memiliki kasih sayang yang sempurna, dan kasih sayang-Nya telah memenuhi alam semesta baik yang atas maupun yang bawah, serta mengenai seluruh makhluk-Nya, serta mencakup dunia dan akhirat; juga mentadaburi ayat-ayat yang menunjukkan semacam makna ini: “Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (Al-A’raf: 156)
“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Al-Hajj: 65)
“Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Dzat yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Ar-Rum: 50)
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin.” (Luqman: 20)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (An-Nahl: 53)

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 18)
Juga ayat-ayat setelahnya yang menunjukkan pokok-pokok nikmat, dan cabangnya yang mengandung salah satu dari sekian banyak buah rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karenanya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman di akhirnya: “Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-Nya).” (An-Nahl: 81)

Lalu mentadaburi surat Ar-Rahman dari awal hingga akhirnya, karena surat itu adalah ungkapan dari penjabaran rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala; maka semua ragam makna dan corak nikmat yang ada padanya adalah rahmat dan kasih sayang-Nya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengakhiri surat itu dengan menyebutkan apa yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala siapkan untuk orang-orang yang taat di dalam surga, berupa kenikmatan abadi yang sempurna, yang merupakan buah dari rahmat-Nya. Oleh karenanya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menamai surga dengan rahmat, sebagaimana dalam ayat-Nya: “Adapun orang-orang yang putih berseri mukanya, maka mereka berada dalam rahmat Allah (surga); mereka kekal di dalamnya.” (Ali ‘Imran: 107)

Dalam hadits disebutkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengatakan kepada Al-Jannah:
“Engkau adalah rahmat-Ku yang denganmu Aku merahmati siapa yang Kukehendaki dari hamba-Ku.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: “Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang.” (Yusuf: 64)
Dalam hadits shahih disebutkan: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala lebih penyayang terhadap hamba-Nya daripada seorang ibu terhadap anaknya.”
Dalam hadits lain disebutkan: “Sesungguhnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menuliskan sebuah tulisan di sisi-Nya, di atas Arsy-Nya ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku’.”

Ringkas kata, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menciptakan makhluk dengan rahmat-Nya dan mengutus para rasul kepada mereka karena rahmat-Nya pula. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintah dan melarang mereka serta menetapkan syariat untuk mereka karena rahmat-Nya. Allah melingkupi mereka dengan kenikmatan lahir dan batin karen rahmat-Nya. Dia l mengatur mereka dengan berbagai aturan dan melindungi mereka dengan berbagai perlindungan karena rahmat-Nya, serta memenuhi dunia dan akhirat dengan rahmat-Nya.

Oleh karena itu, urusan ini tidak akan menjadi baik dan mudah, begitu pula tujuan dan berbagai tuntutan tidak akan terwujud melainkan karena rahmat-Nya. Bahkan, kasih sayang-Nya melebihi semua itu, lebih agung dan lebih tinggi.
Apatah lagi, orang-orang baik dan bertakwa akan mendapatkan bagian terbesar dan kebaikan terbanyak dari rahmat-Nya.
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-A’raf: 56)

Buah mengimani nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala tersebut
Mengimani nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala tersebut akan menambah rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena berbagai nikmat yang dikaruniakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kita, baik yang ada dalam organ tubuh, kebutuhan keseharian, alam sekitar kita, maupun alam semesta ini semuanya, adalah semata-mata buah dari kasih sayang-Nya, yang mengharuskan kita untuk tunduk dan bersyukur kepada-Nya, serta membalasnya dengan ketaatan, bukan dengan kemaksiatan dan kerusakan.

Wallahu a’lam.

1 Wazan (timbangan) فَعْلَانُ fa’lan; kata yang sesuai dengan timbangan ini misalnya رَحْمَانُ ,غَضْبَانُ عَطْشَانُ, dll.
2 Wazan (timbangan) فَعِيلٌ fa’iil; kata yang sesuai dengan timbangan ini misalnya رَحِيمٌ, حَلِيمٌ, كَرِيمٌ, dll
Sumber : Ar-Rahman dan Ar-Rahim,ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc , 
Khazanah Edisi 60   http://kebunhidayah.wordpress.com

Thursday, August 1, 2013

Al-Khabiir, Allah Yang Maha Mengetahui

Salah satu Al-Asma’ul Husna adalah Al-Khabiir (الْخَبِيْرُ). Artinya secara ringkas adalah Yang Maha Mengetahui. Nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala tersebut terdapat dalam beberapa ayat Al-Qur’an. Di antaranya: “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan: “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nyalah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Dan Dialah Yang Mahabijaksana lagi Maha Mengetahui”. (Al-An’am: 73)

Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafshah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafshah dan Aisyah) kepada Nabi lalu Nabi memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafshah). Maka tatkala (Nabi) memberitahukan pembicaraan (antara Hafshah dan Aisyah) lalu (Hafshah) bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” 

Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (At-Tahrim: 3)

Adapun dalam hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, terdapat dalam riwayat Muslim dari Ummul Mukminin Aisyah Radiyallahu anha:  

Aisyah Radiyallahu anha berkata: “Tidakkah kalian mau kuberitahukan kepada kalian tentang diriku dan Rasulullah?” Kami mengatakan: “Iya.

 

Beliau Radiyallahu anha bercerita: “Ketika suatu malam yang Rasulullah pada malam itu di rumahku, beliau berbalik lalu beliau meletakkan pakaian bagian atasnya. Beliau juga melepaskan dua sandalnya lalu meletakkan keduanya di samping kedua kakinya. Kemudian beliau menggelar ujung sarungnya di atas kasurnya, lalu beliau berbaring. Tidaklah beliau tetap dalam keadaan tersebut kecuali selama mengira bahwa aku telah tertidur, lalu beliau mengambil pakaian bagian atasnya dengan pelan-pelan. Beliau juga memakai sandalnya dengan pelan-pelan, lalu membuka pintu dan keluar, lalu menutupnya juga dengan pelan-pelan. Maka aku pun meletakkan pakaianku di atas kepalaku dan aku berkerudung. Lalu aku menutup mukaku dengan kain kemudian aku membuntuti di belakang beliau, sehingga beliau sampai di pekuburan Baqi’. Beliau shalallahu alaihi wasalam berhenti dan berdiri dalam waktu yang lama, lalu beliau mengangkat kedua tangannya tiga kali, lalu berbalik. Maka aku pun berbalik. Beliau lalu berjalan cepat sehingga aku pun berjalan cepat. Beliau kemudian berlari kecil maka aku pun berlari kecil. Lalu beliau berlari agak cepat maka aku pun berlari agak cepat, sehingga aku pun mendahului beliau lalu aku masuk (ke dalam rumah). Maka tiada lain kecuali aku berbaring kemudian Rasulullah masuk seraya mengatakan: ‘Ada apa denganmu, wahai Aisyah? Nafasmu terengah-engah’. Aku menjawab: ‘Tidak apa-apa.’ Beliau mengatakan: ‘Kamu harus mengabarkan kepadaku atau akan mengabariku Al-Lathif (Yang Maha lembut) lagi Al-Khabiir (Maha Mengetahui)’.

 

Aisyah mengatakan: ‘Kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, wahai Rasulullah.’ Lalu aku menceritakannya.

Maka beliau mengatakan: ‘Jadi engkau adalah bayangan hitam yang di depanku tadi?’ Aisyah menjawab: ‘Iya.’ Maka beliau menekan dadaku dengan tekanan yang menyakitkan aku, lalu beliau mengatakan: ‘Apakah kamu kira bahwa Allah dan Rasul-Nya akan mengkhianatimu?’ Aisyah mengatakan: ‘Bagaimanapun manusia menyembunyikan maka Allah mengetahuinya, ya.’

Nabi mengatakan: ‘Sesungguhnya Jibril datang kepadaku ketika kamu melihat, lalu dia memanggilku dan menyembunyikannya darimu. Aku menjawab panggilannya dan aku sembunyikannya darimu. Tidak mungkin baginya untuk masuk sementara engkau telah menanggalkan pakaianmu. Dan aku kira engkau telah tertidur, maka aku tidak suka membangunkanmu, aku khawatir kamu takut (kaget). Lalu Jibril mengatakan: ‘Sesungguhnya Rabbmu menyuruhmu datang ke penghuni kuburan Baqi’ agar memintakan ampunan untuk mereka.’ Aisyah mengatakan: ‘Apa yang aku katakan untuk mereka, wahai Rasulullah?’ Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: ‘Katakanlah:

“Kesejahteraan untuk penghuni tempat tinggal ini, dari kalangan mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang datang belakangan. Dan kami insya Allah akan menyusul kalian.”

 

Penjelasan ulama tentang makna Al-Khabiir

Ibnu Manzhur t mengatakan: “(Maknanya adalah) Yang Maha Mengetahui apa yang lalu dan apa yang akan datang.”

Al-Khaththabi t mengatakan: “Yang Maha Mengetahui seluk-beluk hakikat sesuatu.”

Abu Hilal Al-Askari  t mengatakan dalam kitabnya Al-Furuq Al-Lughawiyyah: “Perbedaan antara al-ilmu (yang diambil darinya nama Al-’Alim) dan al-khubru (yang diambil darinya nama Al-Khabiir); bahwa al-khubru artinya mengetahui seluk-beluk sesuatu yang diketahui sesuai dengan hakikatnya, sehingga kata al-khubru memiliki makna yang lebih dari kata al-ilmu.” (Dinukil dari kitab Shifatullah karya ‘Alawi As-Saqqaf)

 

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t mengatakan: “Al-Khubrah (yang darinya diambil nama Al-Khabiir), artinya adalah mengetahui dalamnya sesuatu. Ilmu terhadap bagian luar dari sesuatu tidak diragukan merupakan sifat kesempurnaan dan terpuji. Akan tetapi mengetahui bagian dalamnya tentu lebih sempurna. Sehingga Al-’Alim, Maha berilmu terhadap apa yang tampak dari sesuatu, sedangkan Al-Khabiir, Maha berilmu terhadap apa yang tidak tampak dari sesuatu. Bila terkumpul antara ilmu dan khubrah, maka ini lebih sempurna dalam meliputi sesuatu. Terkadang dikatakan bahwa khubrah mempunyai makna yang lebih dari ilmu. Karena kata khabiir dipahami oleh orang-orang adalah seseorang yang mengetahui sesuatu dan mahir dalam hal ini. Berbeda dengan seseorang yang hanya memiliki pengetahuan saja, tapi tidak punya kemahiran pada apa yang dia ilmui, maka dia tidak disebut khabiir. Atas dasar ini, kata Al-Khabiir memiliki makna yang lebih dari sekadar ilmu.” (Tafsir surat Al-Hujurat)

Asy-Syaikh As-Sa’di t mengatakan: “Al-Khabiir Al-’Alim, adalah yang ilmunya meliputi segala yang lahir maupun yang batin, yang tersembunyi dan yang tampak, yang mesti terjadi, yang tidak mungkin terjadi, serta yang mungkin terjadi, di alam yang atas maupun yang bawah, yang terdahulu, yang sekarang, dan yang akan datang. Maka, tidak tersembunyi padanya sesuatu pun.”

 

Buah mengimani nama Allah Al-Khabiir 

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata: “Dengan mengimani nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala ini, seseorang akan bertambah rasa takutnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, baik dalam keadaan tersembunyi ataupun terang-terangan.” (Syarh Al-Wasithiyyah)

Wallahu a’lam


Sumber : Al-Khabiir, ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc , Khazanah Edisi 59

Kemerdekaan Menurut Islam

Salah satu hak setiap bangsa, golongan, masyarakat atau pribadi yaitu hak mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Lalu, ba...