Monday, March 17, 2014

Pentingnya Mengenal Al Asma` Al-Husna

Mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah suatu ilmu yang sangat agung, penuh dengan kebaikan dan keutamaan, dan beraneka ragam buah dan manfaatnya. 



Keutamaan dan keagungan mendalami ilmu Al-Asmâ` Al-Husnâ akan lebih jelas dengan memperhatikan beberapa keterangan berikut ini:

Satu : Mempelajari ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah ilmu yang paling mulia dan paling utama, yang paling tinggi kedudukannya dan paling agung derajatnya. Tentunya hal ini sangat dimaklumi. Karena kemulian suatu ilmu pengetahuan tergantung pada jenis pengetahuan yang dipelajari dalam ilmu itu. Sedangkan telah dimaklumi pula bahwa tiada yang lebih mulia dan lebih utama dari pengetahuan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam Al-Qur`ân yang mulia dan Sunnah Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam.
Berkata Abu Bakr Ibnu Al-‘Araby rahimahullâh, “Kemuliaan sebuah ilmu tergantung apa yang diilmui padanya. Sedang (mengenal Allah) Al-Bârî adalah semulia-mulia pengetahuan. Maka mengilmui tentang nama-nama-Nya adalah ilmu yang paling mulia.” [1]
Maka mempelajari dan mendalami makna Al-Asmâ` Al-Husnâ adalah amalan yang paling utama dan mulia.

Dua : Mengenal Allah dan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan menambah kecintaan hamba kepada Rabbnya, akan membuatnya semakin mengagungkan dan membesarkan-Nya, lebih mengikhlaskan segala harapan dan tawakkal hanya untuk-Nya dan membuat rasa takutnya kapada Allah semakin mendalam. Dan kapan pengetahuan dan pemahaman seorang hamba terhadap nama-nama dan sifat-sifat Rabbnya semakin kuat dan mendalam, maka akan semakin kuat pula tingkat penghambaannya kepada Allah, dan akan semakin tulus sikapnya berserah diri kepada syari’at Allah, serta dia akan semakin tunduk kepada perintah Allah dan semakin jauh meninggalkan larangan-Nya.

Tiga : Mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah dasar keimanan dan dengan itu pula iman akan semakin bertambah.
Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Si’dy rahimahullâh, “Sesungguhnya beriman terhadap Al-Asmâ` Al-Husnâ dan mengenalnya mencakup tiga jenis tauhid; tauhid Rubûbiyah, tauhid Ulûhiyah dan tauhid Al-Asmâ` wa Ash-Shifât. Dan tiga jenis tauhid ini adalah perputaran iman dan ruhnya, pokok dan puncaknya. Maka setiap kali pengetahuan hamba terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah semakin bertambah, maka akan bertambah pula keimanannya dan akan semakin kuat keyakinannya.” [2]
Demikian pula sebaliknya, siapa yang kurang pengetahuannya terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka kurang pula keimanannya.
Dan siapa yang mengenal Allah, maka ia akan mengenal segala yang selain Allah. Dan siapa kebalikan dari itu, maka perhatikanlah firman-Nya, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” [Al-Hasyr :19]
Cermatilah ayat di atas, tatkala ia lupa terhadap Allah, maka Allah membuatnya lupa kepada dirinya sendiri, lupa terhadap apa-apa yang merupakan kebaikannya dan lupa akan sebab-sebab keberuntungannya di dunia dan akhirat.

Empat : Sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ yang mengadakan makhluk yang sebelumnya mereka tidaklah pernah terwujud dan tidak pernah tersebut. Dan Allah ‘Azza wa Jalla memudahkan untuk mereka apa yang di langit dan di bumi, dan memberikan kepada mereka berbagai nikmat yang tidak mungkin bisa dijumlah dan dihitung. Seluruh hal tersebut agar mereka mengenal Allah dan menyembah-Nya. Allah Jalla Sya`nuhu berfirman, “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [Ath-Tholâq :12]. Dan Allah Tabâraka wa Ta’âlâ berfirman, “Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Rabb semesta alam.” Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. ” [Fushshilat :9-11].

Dan Allah ‘Azza Dzikruhu menyatakan, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” [Adz-Dzâriyât :56-57]
Maka usaha seorang hamba mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah sesuai dengan maksud penciptaannya. Dan meninggalkan hal tersebut dan menelantarkannya tergolong melalaikan maksud penciptaannya. Dan sangatlah tidak layak seorang makhluk yang lemah telah mendapatkan berbagai macan keutamaan dan telah merasakan beraneka ragam karunia dan nikmat Allah kemudian ia jahil terhadap Rabbnya dan berpaling dari mengenal kebesaran, nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Lima : Sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mencintai nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan Allah mencintai nampaknya pengaruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk. Dan hal ini tentunya bagian dari kesempurnaan Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Diantara nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah Ar-Rahmân dan Ar-Rahim [3] yang Maha merahmati makhluk dengan berbagai nikmat. –Sebagai contoh- perhatikan surah Ar-Rahmân yang dari awal surah hingga akhirnya menunjukkan rahmat Allah yang maha luas. Di awal surah, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman, “..(Allah) Yang Maha Merahmati, Yang telah mengajarkan AlQur`ân. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kalian mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-(Nya). di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian dustakan?”…[Ar-Rahmân : 1-13]. Dan Allah berfirman, “Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Rabb yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [Ar-Rûm :50]

Dan karena rahmat Allah, Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang mepunyai sifat merahmati makhluk lainnya sebagaimana yang ditunjukkan dalam nash-nash dalil yang sangat banyak.
Dan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ adalah Al-Alîm (Yang Maha mengetahui) dan Allah mencintai orang-orang yang berilmu sebagaimana yang nash-nash dalil yang sangat banyak.
Dan Allah adalah At-Tawwâb (Maha Menerima taubat) dan Allah mencintai orang-orang yang bertaubat, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [Al-Baqarah :222]

Dan demikan seterusnya.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Demikianlah keadaan nama-nama Allah yang maha husnâ. Makhluk yang paling Dia cintai adalah siapa yang bersifat dengan konsekwensi dari (Al-Asmâ` Al-Husnâ itu). Dan (makhluk) yang paling Dia benci adalah siapa yang bersifat dengan kebalikan dari (Al-Asmâ` Al-Husnâ itu). Karena itu (Allah) membenci orang yang kafir, zholim, jahil, keras hatinya, bakhil, penakut, hina, dan bejat. Sedang (Allah) Subhânahu adalah Jamîl (Maha indah, elok) cinta kepada keindahan, Alîm cinta terhadap ulama, Rahîm cinta kepada orang yang merahmati, Muhsin (Maha Memberi kebaikan) cinta kepada orang yang berbuat kebaikan, Syakûr (Maha Pembalas Jasa) cinta kepada orang yang bersyukur, Shabûr (Yang Maha Sabar) [4] cinta kepada orang yang bersabar, Jawwâd (Maha Dermawan) [5] cinta kepada orang-orang yang dermawan dan berbuat kebajikan, Sattâr [6]cinta kepada As-Sitr, Qodîr mencela kelemahan -“dan mukmin yang kuat lebih Dia cintai dari mukmin yang lemah”-[7], Afuw (Maha Pemaaf) cinta kepada sifat pemaaf, dan Witr (Yang Maha Satu) cinta kepada yang witir [8]. Setiap yang dicintai oleh Allah maka itu dari pengaruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan konsekwensinya. Dan setiap yang Dia benci maka itu dari apa yang bertentangan dan berlawanan dengannya.” [9]

Enam : Orang yang benar-benar mengenal Allah ‘Azza wa Jalla akan berdalil dengan sifat-sifat dan perbuatan Allah terhadap apa yang Dia perbuat dan apa yang Dia syari’atkan. Karena seluruh perbuatan Allah adalah keadilan, keutamaan, dan hikmah, yang telah menjadi konsekwensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Maka tidak suatu apapun yang Dia syari’atkan kecuali sesuai dengan konsekwensi tersebut. Sehingga segala yang Allah beritakan adalah suatu yang hak dan benar dan segara perintah dan larangannya adalah keadilan dan hikmat.

Misalnya seorang hamba memperhatikan Al-Qur`ân dan apa yang Allah beritakan kepada makhluk melalui lisan para rasul tentang nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, dan tentang harus mensucikan dan membesarkan Allah dari segala yang tidak layak. Juga ia memperhatikan bagaimana perbuatan Allah terhadap para wali yang memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan kenikmatan yang mereka peroleh karena itu ataupun ia memperhatikan bagaimana keadaan orang-orang yang menetang-Nya dan kebinasan akibat perbuatan mereka. Dengan hal ini, orang-orang yang memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan berdalilkan bahwa Allah adalah satu-satu-Nya Ilah yang berhak diibadahi, “Yang Maha mampu atas segala sesuatu”, “Yang Maha Mengetahui segala sesuatu”, “Yang Keras siksaannya”, “Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, “Yang Maha Berkuasa lagi Maha Bijaksana”, “Yang Maha melakukan apa yang Dia kehendaki” dan seterusnya dari apa yang menujukkan rahmat, keadilan, keutamaan, dan hikmah Allah Jalla wa ‘Alâ.
Apabila seorang hamba memperhatikan hal di atas, maka tidaklah diragukan bahwa hal tersebut akan menambah keyakinannya, memperkuat imannya, mempersempurna tawakkalnya, dan semakin menambah penyerahan dirinya kepada Allah.

Tujuh : Mengenal Allah dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah perniagaan yang sangat menguntungkan. Dan dari keuntungannya adalah membuat jiwa tenang, hati menjadi tentram, dada menjadi lapang dan bersinar, keindahan sorga Firdaus pada hari kiamat, melihat kepada wajah Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia, meraih keridhaan Allah, dan selamat dari kemurkahan dan siksaan-Nya. Dan insya Allah akan lebih nampak lagi keuntungan-keuntungan tersebut pada uraian Al-Asmâ` Al-Husnâ yang akan diterangkan dalam rubrik ini secara bersambung.

Delapan : Berilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah penjaga dari ketergelinciran, pembuka pintu amalan sholih, pemacu untuk menyonsong segala ketaatan, penghardik dari dosa dan maksiat, pembersih jiwa dari sikap-sikap tercela, penghibur di masa musibah dan petaka, pengawal menghadapi gangguan syaithan, penyeru kepada akhlak mulia dan fadhilah, dan lain sebagainya dari buah dan manfaat ilmu Al-Asmâ` Al-Husnâ.

Sembilan : Mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah dasar pokok untuk mengetahui segala ilmu pengetahuan selainnya. Karena yang dipelajari -selain dari ilmu tentang Allah Tabâraka wa Ta’âlâ- terbagi dua :
Satu : Makhluk-makhluk yang diadakan dan diciptakan oleh Allah Ta’âlâ.
Dua : Perintah-perintah yang Allah memerintah makhluk dengannya, baik itu perintah kauny maupun perintah syari’iy.
Sedangkan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah berfirman, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” [Al-A’râf :54]

Dan telah dimaklumi bahwa segala ciptaan dan perintah Allah adalah baik dibangun di atas kemaslahatan, rahmat dan kasih sayang untuk segenap makhluk. Dan seluruh hal tersebut adalah pengaruh dari kandungan Al-Asmâ` Al-Husnâ. Karena itu, para ulama mengatakan bahwa penciptaan dan perintah adalah bersumber dari Al-Asmâ` Al-Husnâ Allah Jalla Jalâluhu. Sebagaimana segala yang ada -selain Allah- karena diadakan oleh Allah dan keberadaan selain-Nya adalah ikut kepada beradaan-Nya, dan makhlluk yang dicipta ikut kepada Yang Menciptakannya, maka demikian pula ilmu tentang Allah adalah sumber segala ilmu yang lainnya. Maka berilmu tentang Al-Asmâ` Al-Husnâ adalah sumber ilmu pengetahuan selainnya. Demikian makna keterangan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Badâ`i’ul Fawâ`id 1/163

Sepuluh : Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kecuali satu. Siapa yang menghitungnya maka ia akan masuk sorga.”
Insya Allah akan datang pembahasan berkaitan dengan makna menghitung Al-Asmâ` Al-Husnâ bahwa maknanya bukan hanya sekedar menjumlah dan menghafalkannya, bahkan juga mengetahui makna dan kandungannya. Sehingga tiada jalan bagi siapa yang ingin meraih keutamaan yang tersurat dalam hadits di atas kecuali dengan mempelajari Al-Asmâ` Al-Husnâ sesuai dengan jalan yang benar dan pemahaman lurus.

Sebelas : Ayat-ayat yang menyebutkan nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah yang paling agung kedudukannya dalam Al-Qur`ân al-Karîm melebihi yang lainnya [10]. Karena itu, ayat yang paling agung adalah ayat Al-Kursi -yang mengandung sejumlah sifat dan beberapa nama Allah-, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallâhu ‘anhu, dimana Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bertanya kepada beliau, (“Wahai Abul Mundzir (Ubay), ayat apa yang paling agung dari kitab Allah yang kamu hafal?” Saya (Ubay) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau (kembali) bertanya, “Wahai Abul Mundzir, ayat apa yang paling agung dari kitab Allah yang kamu hafal?” Saya menjawab, “Allahu Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyul Qayyum [ayat Al-Kursi].” Maka Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam memukul dadaku seraya berkata, “Demi Allah, ilmu akan membahagiakanmu wahai Abul Mundzir.”) [11]

Dan demikian pula keberadaan dan keutamaan surah Al-Fatihah yang telah dikenal dan dimaklumi. Diantara Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam mensifatkan surah Al-Fatihah dalam sabdanya, “(Al-Fâtihah) adalah seagung-agung surah dalam Al-Qur`ân.” [12]
Dan juga keutamaan surah Al-Ikhlash yang mengandung penyebutan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Salah satu keutamaannya, adalah tertera dalam sabda Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya (surah Al-Ikhlash) senilai sepertiga Al-Qur`ân.” [13]. Keterangan di atas menunjukkan keagungan dan kemuliaan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla.

Demikian beberapa hal yang menunjukkan pentingnya mempelajari Al-Asmâ` Al-Husnâ dan betapa butuhnya seorang hamba untuk mendalaminya.
Dan perlu kami ingatkan, bahwa pembahasan Al-Asmâ` Al-Husnâ adalah pembahasan yang bersumber dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah, bukan bersumber dari akal, perasaan, eksperimen, inspirasi, maupun adat istiadat. Ini adalah kaidah dasar yang harus kami ingatkan dalam tulisan ini, mengingat banyak dari kalangan kaum muslimin yang tertipu dengan kepandaian sebagian orang yang hanya berlari di belakangan dunia atau terkungkung oleh hawa nafsu dan was-was syaithan dengan membawakan kandugan dan manfaat Al-Asmâ` Al-Husnâ yang tidak pernah ditunjukkan oleh tuntunan Al-Qur`ân dan As-Sunnah.

Semoga Allah memudahkan untuk kita semua segala sebab kebaikan dan menjauhkan kita semua dari segala kejelekan. Wallahu Ta’âlâ A’lam.


catatan kaki :
[1] Baca Ahkâm Al-Qur`ân 2/793 –dengan perantara kitab Asmâ`ullahi wa Shifâtuhu karya Al-Asyqar hal 23-
[2] At-Taudhîh wa Al-Bayân li Syajarah Al-Imân hal. 41
[3]Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm keduanya berasal kata “rahmat”. Dan ada rincian makna kata rahmat pada nama Ar-Rahmân dan kata rahmat pada nama Ar-Rahîm. Insya Allah akan datang penjelasan tentang makna dan kandungan kedua nama itu.
[4]Ada perbincangan seputar keabasahan penamaan ini. Insya Allah akan datang pembahasannya.
[5]Ada perbincangan seputar keabasahan penamaan ini. Insya Allah akan datang pembahasannya.
[6]Ada perbincangan seputar keabasahan penamaan ini. Insya Allah akan datang pembahasannya.
[7]Petikan dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim.
[8]Yang witir mempunyai banyak kandungan maknanya. Insya Allah akan diuraikan dalam pembahasan nama Al-Witr.
[9]‘Idah Ash-Shôbirîn hal 241 dan baca juga Madârij As-Sâlikîn 1/420 dan Miftâh Dâr As-Sa’âdah 1/3.
[10]Baca keterangan Ibnu Taimiyah dalam Da`ut Ta’ârudh bain Al-‘Aql wa An-Naql 5/310-313
[11]Dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 810 dan Abu Dâud no. 1460.
[12]Dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhâry , Abu Dâud no. 1458, An-Nasâ`i 2/193, dan Ibnu Mâjah no. 3785 dari Abu Sa’îd Al-Mu’allâ radhiyallâhu ‘anhu.
[13] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Abu Dâud no. 1461 dan An-Nasâ`i 2/171 dari Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu. Dan dikeluarkan pula oleh Muslim no. 812, At-Tirmidzy no. 2899 dan Ibnu Mâjah no. 3738 dari Abu Hairah radhiyallâhu ‘anhu dan Muslim no. 811dari Abu Dardâ` radhiyallâhu ‘anhu.
sumber : Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi)
http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=asmaulhusna&article=86


Saturday, March 8, 2014

Mengenal Allah

Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya. Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua? 


Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.
Yang dimaksud dengan mengenal Allah yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.

Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat (dan ingkar) kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya? Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal. Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.

Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190). Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)

Mengenal Wujud Allah.
Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)

Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)

Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)
Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah.
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)
Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.

Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?

Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )
Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:
“Dan mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)

Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya: “Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87) “Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut: 61) “Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)

Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan manfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.

Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.
Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.

Mengenal Uluhiyah Allah
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau: “Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Allah berfirman: “Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Allah berfirman: “Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ‘ya’. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )

Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.

Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”

Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)
“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)

Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)

Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)
“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)

Wallahu ‘alam


sumber : 
Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah an Nawawi,  http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=30

Kemerdekaan Menurut Islam

Salah satu hak setiap bangsa, golongan, masyarakat atau pribadi yaitu hak mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Lalu, ba...