Dahulu para
salafuna shaleh, air mata mereka meleleh membasahi pipi dan lihyah
lantaran Ramadhan pergi meninggalkan mereka. Terkadang dari lisan mereka
terucap sebuah doa, sebagai ungkapan kerinduan akan datangnya ramadhan
dan ramadhan :
اللَّهُمَّ بَلِّغْنَا رَمَضَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ وَرَمَضَانَ وَرَمَضَانَ...
Ya
Allah SWT, anugerahkanlah lagi kepada kami bulan Ramadhan,
anugerahkanlah lagi kepada kami bulan Ramadhan, dan bulan Ramadhan, dan
bulan Ramadhan…
Suasana
seperti ini bahkan berlarut hingga muncul ‘keheningan’ yang demikian
heningnya pada malam hari raya Iedul Fitri. Bahkan suasana seperti ini
masih begitu terasa, minimal ketika penulis mengalaminya di Mesir,
selama studi di sana. Betapa malam Iedul Fitri sangat sepi dan hening,
seolah mereka meratapi kepergian ‘tamu istimewa’ mereka, yaitu bulan
Ramadhan. Tidak heran jika beberapa mahasiswa Indonesia yang pada malam
tersebut sembab matanya, lantaran rindu dan teringat dengan suasana
malam Iedul Fitri di tanah air, yang suasananya 180 derajat berbeda
dengan suasana di Mesir.
Namun
akankah kesedihan itu terus berlarut-larut, sementara ajal kita
ditentukan oleh Allah SWT. Dan haruskan kita bersedih, sedangkan Iedul
Fitri merupakan hari raya seluruh kaum muslimin, yang kita dianjurkan
untuk bergembira pada hari tersebut? Lantas, amalan apakah yang
seharusnya kita laksanakan menjelang maupun pada saat Iedul Fitri.
Berikut penulis kutipkan beberapa hadits mengenai Iedul Fitri, semoga
ada manfaatnya bagi kita semua.
Makna Iedul Fitri
Terdapat
beberapa pendapat dalam memaknai Iedul Fitri, yang merupakan hari raya
umat Islam di seluruh alam. Jika dilihat dari segi bahasanya, Iedul
Fitri terdiri dari dua kata yaitu ( عيد ) dan ( فطر ). Dan masing-masing
dari kata ini memiliki maknanya tersendiri :
#1.
( عيد ) Ada yang mengatakan bahwa Ied berasal dari kata ( عاد - يعود )
yang berarti kembali. Namun ada juga yang menterjemahkan Ied ini
sebagai hari raya, atau hari berbuka. Pendapat yang kedua ini
menyandarkan pada hadits :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ -
رواه ابن ماجه
Dari Abu
Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Idul Fitri adalah hari
dimana kalian berbuka, dan Idul Adha adalah hari dimana kalian
berkurban.” (HR. Ibnu Majah)
#2.
( الفطر ) Ada yang menerjemahkan fitri dengan “berbuka” karena ia
berasal dari kata ( أفطر ) yang memang secara bahasa artinya berbuka
setelah berpuasa. Namun disamping itu, ada juga yang menerjemahkan fitri
dengan “fitrah”, yang berarti suci dan bersih. Pendapat kedua ini
menyandarkan pendapatnya pada hadits Rasulullah SAW :
قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ
يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
أَوْ يُمَجِّسَانِهِ - رواه البخاري
Rasulullah
SAW bersabda, ‘Tidaklah seorang anak dilahirkan, melainkan ia
dilahirkan dalam keadaan fitrah (bersih/ suci). Orangtuanyalah yang
menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi (HR. Bukhari)
Dari maknanya secara harfiah ini, dapat disimpulkan adanya dua makna dalam menerjemahkan Iedul Fitri, yaitu :
#1.
Iedul Fitri diterjemahkan dengan kembali kepada fitrah atau kesucian,
karena telah ditempa dengan ibadah sebulan penuh di bulan ramadhan. Dan
karenanya ia mendapatkan ampunan dan maghfirah dari Allah SWT.
#2.
Iedul Fitri diterjemahkan dengan hari raya berbuka, dimana setelah
sebulan penuh ia berpuasa, menjalan ibadah puasa karena Allah SWT, pada
hari Idul Fitri ia berbuka dan tidak berpuasa sebagai ungkapan syukur
kepada Allah SWT.
Penulis
melihat bahwa kedua makna Iedul Fitri di atas adalah benar dan tepat.
Dan kedua makna tersebut saling melengkapi dan tidak bertentangan sama
sekali. Sehingga Iedul Fitri adalah hari raya umat Islam yang
dianugerahkan oleh Allah SWT di mana insan dikembalikan pada fitrahnya
dengan mendapatkan ampunan dari Allah SWT, sekaligus sebagai hari
bergembiranya kaum muslimin dimana diperintahkan untuk makan dan minum
(baca; berbuka) sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT. Oleh karena
itulah, terdapat doa yang sering dibacakan sesama kaum muslimin ketika
berjabat tangan dan saling memaafkan, yaitu :
جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِيْنَ الْفَائِزِيْنَ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
Semoga
Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang kembali
(kepada fitrah) dan sebagai hamba-hamba-Nya yang menang (melawan hawa
nafsu). Dan semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah kita semua.
Hanya
terkadang, masyarakat kita lebih suka “menyunat” doa di atas, sehingga
yang diucapkan hanya kalimat, ‘Minal Aidin Wal Fa’izin” saja. Bahkan
lebih parah lagi ketika Minal Aidin Wal Faidzin ini diterjemahkan dengan
mohon maaf lahir dan batin. Tetapi bisa kita maklumi karena
keterbatasan masyarakat kita pada umumnya, asalkan masih dilandasi
dengan niatan yang ikhlas hanya mengharap ridha Allah SWT, semoga tetap
Allah catat sebagai amal ibadah di sisi-Nya.
Menghidupkan Iedul Fitri
Bagi
kita semua saat ini, bagaimana kita dapat menghidupkan Iedul Fitri,
atau dengan kata lain memaknai Iedul Fitri sebagaimana yang diajarkan
oleh Rasulullah SAW. Dari beberapa riwayat, terdapat beberapa hal yang
disunnahkan untuk dilakukan pada malam Ied atau pada hari raya Iedul
Fitri. Diantaranya adalah :
#1. Disunnahkan untuk Qiyamul Lail, pada malam hari raya Idul Fitri.
Dalam sebuah riwayat digambarkan :
عَنْ
أَبِي أُمَامَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
مَنْ قَامَ لَيْلَتَيْ الْعِيدَيْنِ مُحْتَسِبًا لِلَّهِ لَمْ يَمُتْ
قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ - رواه ابن ماجه
Dari
Abu Umamah ra, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barang siapa yang melaksanakan
qiyamullail pada dua malam Ied (Idul Fitri dan Adha), dengan ikhlas
karena Allah SWT, maka hatinya tidak akan pernah mati di hari matinya
hati-hati manusia. (HR. Ibnu Majah).
#2.
Disunnahkan pada pagi hari raya Idul Fitri, untuk mandi, menggunakan
minyak wangi dan berpakaian yang rapi.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنِ
الْفَاكِهِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ
الْفِطْرِ وَيَوْمَ النَّحْرِ قَالَ وَكَانَ الْفَاكِهُ بْنُ سَعْدٍ
يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالْغُسْلِ فِي هَذِهِ اْلأَيَّامِ
Dari
Fakih bin Sa’d bahwasanya Rasulullah SAW senantiasa mandi pada hari
jum’at, hari Arafah, hari Idul Fitri dan hari Idul Adha. Dan Fakih
(Perawi hadits ini) senantiasa memerintahkan keluarganya untuk mandi
pada hari-hari tersebut. (HR. Ahmad)Dalam riwayat lain juga digambarkan :
عَنْ
نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ
الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى - رواه مالك
Dari
Nafi’, bahwasanya Abdullah bin Umar senantiasa mandi pada hari raya
Idul Fitri, sebelum berangkat ke tempat shalat. (HR. Malik)
#3. Mendatangi tempat-tempat dilaksanakannya shalat Ied.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بَنَاتَهُ وَنِسَاءَهُ أَنْ يَخْرُجْنَ فِي
الْعِيدَيْنِ - رواه أحمد
Dari
Ibnu Abbas ra, bahwasanya Rasulullah SAW memerintahkan anak-anak
wanitanya dan istri-istrinya untuk kelur (mendatangi tempat shalat Ied)
pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. (HR. Ahmad)
Dalam riwayat lain dijelaskan :
عَنْ
أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ
حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ
فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ
بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ - رواه
البخاري
Dari
Ummu Athiyah ra berkata, kami diperintahkan untuk mendatangi tempat
shalat, bahkan perawan di pingitannya dan wanita yang haid
diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat Ied. Hanya mereka berposisi
di belakang shaf kaum muslimin. Mereka bertakbir dengan takbir kaum
muslimin, dan berdoa dengan doa kaum muslimin, dengan berharap
keberkahan dan kesucian hari tersebut. (HR. Bukhari)
#4.
Mendatangi tempat dilaksanakannya shalat Ied dengan berjalan kaki2 dan
memakan sesuatu sebelum berangkat melaksanakan shalat Ied.
Dalam sebuah
riwayat dijelaskan :
عَنْ
عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ مِنْ السُّنَّةِ أَنْ تَخْرُجَ إِلَى
الْعِيدِ مَاشِيًا وَأَنْ تَأْكُلَ شَيْئًا قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ - رواه
الترمذي
Dari Ali
bin Abi Thalib ra berkata, termasuk sunnah jika kamu keluar mendatangi
tempat shalat Ied dengan berjalan kaki dan memakan sesuatu sebelum pergi
ke tempat shalat Ied.” (HR. Turmudzi)
#5. Bertakbir mengagungkan Asma Allah SWT,
Dalam sebuah riwayat digambarkan :
عَنْ
أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ
حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ
فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ
بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ - رواه
البخاري
Dari
Ummu Athiyah ra berkata, kami diperintahkan untuk mendatangi tempat
shalat, bahkan perawan di pingitannya dan wanita yang haid
diperintahkan untuk mendatangi tempat shalat Ied. Hanya mereka berposisi
di belakang shaf kaum muslimin. Mereka bertakbir dengan takbir kaum
muslimin, dan berdoa dengan doa kaum muslimin, dengan berharap
keberkahan dan kesucian hari tersebut. (HR. Bukhari)
#6. Melalui jalan yang berbeda ketika berangkan dan pulang dari tempat dilaksanakannya shalat Ied.
Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيدِ فِي طَرِيقٍ رَجَعَ فِي - رواه
الترمذي
Dari Abu
Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW apabila pergi (ke tempat shalat
Ied) pada hari Ied melalui satu jalan, maka beliau kembali dari tempat
tersebut melalui jalan yang berbeda.”
#7.
Saling bermaaf-maafan seraya mendoakan semoga Allah SWT menerima
seluruh amal ibadah kita. Dalam sebuah hadits diriwayatkan :
عَنْ
خَالِدٍ بْنِ مَعْدَانٍ قَالَ لَقَيْتُ وَاثِلَةَ بْنَ اْلأَسْقَعِ فِيْ
يَوْمِ عِيْدٍ فَقُلْتُ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ نَعَمْ
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ قَالَ وَاثِلَةٌ لَقَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَيْدٍ فَقُلْتُ تَقَبَّلَ اللهُ
مِنَّا وَمِنْكَ قَالَ نَعَمْ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ - رواه
البيهقي في الكبري
Dari
Khalid bin Ma’dan ra, berkata, Aku menemui Watsilah bin Al-Asqo’ pada
hari Ied, lalu aku mengatakan, ‘Taqabbalallah Minna Wa Minka”. Lalu ia
menjawab, ‘Iya, Taqabbalallah Minna Wa Minka,’. Kemudian Watsilah
berkata, ‘Aku menemui Rasulullah SAW pada hari Ied lalu aku mengucapkan
‘Taqabbalallah Minna Wa Minka’, kemudian Rasulullah SAW menjawab, ‘Ya,
Taqabbalallah Minna Wa Minka’ (HR. Baihaqi Dalam Sunan Kubra).
#8.
Boleh mengadakan hiburan pada hari raya Ied,
Dalam sebuah riwayat
digambarkan bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abu Bakar yang pada
waktu itu (Hari Ied) menghardik dua hamba sahaya perempuan yang
mendendangkan syair di ruma Aisyah :
يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيْدًا وَإِنَّ الْيَوْمَ عِيْدُنَا
Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR. Nasa’I)
Shalat Iedul Fitri
Shalat
Ied (Iedul Fitri dan Adha) hukumnya sunnah mu’akkadah, kecuali madzhab
Abu Hanifah yang mengatakannya fardhu kifayah. Dalam Al-Qur’an Allah
berfirman :
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ* فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ*
“Sesungguhnya
Kami telah memberikan kepadamu ni`mat yang banyak. Maka dirikanlah
shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.” (Al-Kautsar 1 – 2)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman :
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى* وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى*
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan dia
ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang.” (Al-A’la 14 – 15)
Selain
itu, Rasulullah SAW juga senantiasa melaksanakannya dan
memerintahkannya termasuk kaum wanita dan anak-anak. Sebab kedua shalat
ini merupakan bagian dari sejumlah syiar Islam, juga sebagai wujud dan
iman dan takwa.
Berbeda dengan shalat biasa, shalat Ied ini dianjurkan untuk dilaksanakan di mushalla.
Namun pengertian mushalla di sini berbeda dengan pengertian mushalla
yang menjadi istilah dalam bahasa Indonesia. Mushalla adalah sebuah
tempat (lapangan) yang besar yang dapat menampung lebih banyak kaum
muslimin. Dalam riwayat Rasulullah SAW melaksanakan shalat Ied selalu di
mushalla, kecuali pada suatu ketika saat turun hujan, maka beliau dan
sahabatnya melaksanakannya di dalam masjid. Oleh karenanya jumhur ulama
mengatakan lebih afdhal pelaksanaan shalat Ied di mushalla (lapangan),
kecuali di Masjidil Haram. Sedangkan Imam Syafi’I mengatakan lebih
afdhal di masjid, karena masjid merupakan tempat yang paling mulia di
muka bumi. Kesimpulannya shalat Ied boleh dilaksanakan di mushalla
ataupun di masjid yang besar yang dapat menampung banyak jamaah.
Adapun waktu pelasanaannya
adalah pada saat matahari setinggi dua panah (menurut riwayat hadits).
Di sunnahkan pada shalat Iedul Fitri dilaksanakan diakhirkan waktunya,
sedangkan untuk Iedul Adha di awalkan. Hal ini agar kaum muslimin yang
belum menunaikan zakat fitrahnya pada hari raya Idul Fitri memiliki
kesempatan untuk menunaikannya. Sedangkan pada Idul Adha di awalkan,
agar lebih cepat memotong hewan qurban agar dibagikan kepada kaum
muslimin.
Sedangkan tatacara pelaksanaan shalatnya, dijelaskan oleh Al-Jaza’iri dalam Minhajul Muslim sebagai berikut :
“Hendaknya
kaum muslimin keluar menuju tempat khusus untuk shalat Ied sambil
takbir, sampai matahari meninggi kira-kira beberapa meter. Ketika itu,
hendaklah imam berdiri untuk mengimami shalat Ied (tidak diawali azan
maupun iqamat) sebanyak dua rakaat. Pada rakaat pertama ia takbir tujuh
kali, di luar takbiratul ihram dan makmum mengikutinya. Kemudian ia
membaca surat Al-Fatihah dan surat Al’A’la dengan suara keras. Pada
rakaat kedua, hendaklah ia takbir lima kali diluar takbir saat berdiri
dari rakaat pertama. Kemudian membaca Al-Fatihah dan surat Al-Ghasyiyah
atau Adhuha. Setelah ia salam, hendaknya ia bangkit berdiri untuk
menyampaikan khutbah kepada jamaah…”
Bagaimana hukumnya dengan orang yang masbuq (terlambat) dalam melaksanakan shalat Ied?
Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa ‘Siapa yang tidak mengikuti shalat Ied
berjamaah, hendaklah ia shalat empat rakaat. Adapun bagi orang yang
masih dapat mengikuti sebagian daripadanya bersama imam, sekalipun hanya
tasyahud, hendaknya sesudah ia salah ia berdiri dan shalat dua rakaat
sebagaimana lazimnya shalatnya orang yang masbuq dalam shalat-shalat
lain.
Setelah selesai
pelasanaan shalat, imam bangkit berdiri dan menyampaikan khutbahnya.
Hukum mendengarkan khutbah pada shalat Ied adalah sunnah dan tidak
wajib. Namun alangkah meruginya bagi yang enggan untuk mendengarkan
khutbah pada hari raya kaum muslimin ini. Setelah selesai melaksanakan
khutbah, dianjurkan untuk meninggalkan tempat, tanpa shalat sunnah lagi.
Karena tidak disyariatkan untuk melaksanakan shalat sunnah baik sebelum
maupun sesudah shalat Ied. Dan setelah itu dianjurkan bagi kaum
muslimin untuk bersitaturahim dan bermaaf-maafan.
Hal-Hal Yang Dilarang Dan Dimakruhkan Dalam Idul Fitri
Seringkali
manusia ‘terlena’ ketika telah mendapatkan suatu kenikmatan atau
kesenangan tertentu. Tak terkecuali pada hari raya Idul Fitri, hari yang
seharusnya menjadi ‘bukti’ kefitrahan jiwa dan hati kita dari perbuatan
dosa. Namun terkadang tanpa kita sadari, beberapa hal yang dilarang
atau dimakruhkan justru begitu marak di hari yang fitri ini. Berikut
adalah hal-hal yang seyogianya kita hindarkan :
#1. Berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan (tabdzir)
Seringkali
pada saat hari raya Iedul Fitri, karena begitu banyaknya makanan yang
relatif istimewa, kita lupa dengan ‘kapasitas’ perut kita, sehingga
terlalu banyak mengkonsumsi makanan. Baik makan besar maupun makan
kecil. Sementara Allah SWT telah mengingatkan kita :
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Dan
makan dan minumlah kalian, tapi janganlah kalian berlebih-lebihan.
Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.
(QS. Al-A’raf 31)
#2. Berlebih-lebihan dalam berpakaian dan berdandan.
Seringkali
pakaian yang bagus dan indah yang memang disunnahkan untuk dikenakan
pada hari raya Iedul Fitri, menjadikan kita terjebak pada sifat
berlebihan dalam berpakaian ataupun berdandan, sehingga terkadang
‘aurat’ tidak terjaga, atau berpakaian terlalu ketat, atau juga terlalu
menyolok (baca; tabarruj). Sehingga dosa-dosa yang telah terampuni
kembali masuk dalam diri kita. Oleh karenanya, sebaiknya dalam
berpakaian tidak melanggar batasan-batasan syar’I, baik bagi pria maupun
wanita. Allah SWT berfirman :
وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى
“Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (Al-Ahzab 33)
#3. Berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahromnya.
Hal
ini juga terkadang sering terlalaikan dalam merayakan Iedul Fitri
terhadap sanak saudara, tetangga atau teman dan kerabat. Padahal
berjabat tangan bagi yang bukan mahromnya adalah termasuk perbuatan yang
dilarang. Dalam sebuah hadits digambarkan :
عَنْ
عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ عَنْ بَيْعَةِ النِّسَاءِ قَالَتْ
مَا مَسَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ
امْرَأَةً قَطُّ (رواه مسلم
“Dari
Urwah ra, bahwasanya Aisyah memberitahukannya tentang bai’at wanita.
Aisyah berkata, Rasulullah SAW tidak pernah menyentuh dengan tangannya
seorang wanita sama sekali.” (HR. Muslim)
#4. Berlebih-lebihan dalam tertawa dan bercanda.
Tertawa,
bercanda, mendengarkan hiburan termasuk perkara yang dimubahkan
terutama pada Iedul Fitri. Namun yang tidak diperbolehkan adalah ketika
perbuatan tersebut berlebihan, sehingga melupakan kewajiban atau
menjerumuskan pada sesuatu yang dilarang. Dalam Al-Qur’an Allah
berfirman :
فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلاً وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Maka
hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai
pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (Attaubah 82)
#5.Mengulur-ulur waktu shalat.
Dengan
alasan silaturahmi atau halal bi halal keluarga besar atau kerabat
maupun teman sejawat, seringkali ‘mengulur-ulur’ waktu pelaksanaan
shalat. Hal ini juga bukan merupakan perbuatan yang baik. Karena
seharusnya kita malaksanakan shalat pada waktunya, tanpa
mengulur-ulurnya.
#6. Boros dalam pengeluaran uang.
Iedul
Fitri juga sering menjadi ajang untuk menghambur-hamburkan uang pada
sesuatu yang ‘manfaatnya’ kurang. Kecuali jika dalam rangka untuk
memberikan santunan kepada kerabat keluarga yang membutuhkan, namun
itupun juga tidak boleh berlebih-lebihan. Dalam Al-Qur’an Allah
mengatakan :
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu)
di tengah-tengah antara yang demikian. (Al-Furqan 67)
Inilah
diantara hal-hal yang perlu kita hindarkan bersama, agar kita tidak
kembali terjerumus dalam perbuatan maksiat dan dosa. Dan alangkah
baiknya jika sesama muslim kita saling ingat mengingatkan, agar tercipta
kehidupan yang diridhai oleh Allah SWT.
Penutup
Inilah sekelumit hal yang berkaitan dengan Iedul Fitri. Marilah kita
mencoba mengamalkannya sesuai dengan tuntunan sunnah, dan menjauhi dari
hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Agar makna fitri tersebut
benar-benar lekat dengan diri kita. Dan jangan sampai justru ketika
Iedul Fitri, menjadi “ajang” kemaksiatan bagi kita, setelah sekian lama
dibersihkan dengan amal ibadah di bulan Ramadhan. Sehingga peningkatan
demi peningkatan akan terealisasikan dalam diri kita, dan kita
benar-benar menjadi insan yang bertakwa. Semoga Allah SWT menerima
seluruh amalan kita, dan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 H :
جَعَلَنَا اللهُ وَإِيَّاكُمْ مِنَ الْعَائِدِيْنَ الْفَائِزِيْنَ، وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
Semoga
Allah SWT menjadikan kita semua sebagai hamba-hamba-Nya yang kembali
(kepada fitrah) dan sebagai hamba-hamba-Nya yang menang (melawan hawa
nafsu). Dan semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadah kita semua.
Wallahu A’lam Bis Shawab
By. Rikza Maulan Lc., M.Ag
http://rikzamaulan.blogspot.co.id/2010/09/memaknai-idul-fitri-sesuai-al-quran.html