Ketiga urutan ini bukanlah pemisahan perkara antara satu dengan yang lainnya, tetapi bagaimana kita harus mendahulukan yang paling penting kemudian sebelum hal penting lainnya, dan selanjutnya !.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman. “Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut”. [An-Nahl : 36].
Rasul yang pertama di antara para rasul yang mulia Nuh ‘Alaihis sallam telah mengajak kepada masalah aqidah hampir seribu tahun, dan beliau menghabiskan waktunya bahkan seluruh perhatiannya untuk berda’wah kepada tauhid. Beliau tetap fokus pada dakwah tauhid ini meskipun kaumnya menolak da’wah beliau sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. “Artinya : Dan mereka berkata :’Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”. [Nuh : 23].
Ini menunjukkan dengan tegas bahwa sesuatu yang paling penting untuk di prioritaskan untuk kita pelajari adalah ilmu tauhid. Dan ini adalah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan (yang berhak diibadahi) melainkan Allah”. [Muhammad : 19]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda. “Artinya : Hendaknya hal pertama yang engkau serukan kepada mereka adalah pesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah saja, maka jika mereka mentaatimu dalam hal itu ….. dan seterusnya sampai akhir hadits. [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1395) dan ditempat lainnya, dan Muslim (19), Abu Daud (1584), At-Tirmidzi (625), semuanya dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para shahabatnya untuk memulai dengan apa yang dimulai oleh beliau sendiri yaitu da’wah kepada tauhid.
Kebanyakan umat muslim saat ini mengucapkan kalimat tauhid, Laa Ilaha Illallah, tetapi pada kenyataannya mereka kurang memahami makna kalimat thayyibah ini. Dan perbedaan ini adalah perbedaan yang sangat mendasar dengan orang-orang Arab dahulu dimana mereka itu menyombongkan diri dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika datang seruan Nabi pada mereka untuk mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Karena mereka memahami bahwa makna Laa Ilaha Illallah adalah bahwa mereka tidak boleh menjadikan tandingan-tandingan (berhala, benda, urusan atau makhluk lain) disandingkan bersama Allah. Konsekwensi kalimat thayyibah Laa Ilaha Illallah adalah kita harus berlepas diri dari semua perkara-perkara dunia dan kesyirikan, karena bertentangan dengan makna Laa Ilaha Illallah.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Ash-Shaffat : “Artinya : Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka : Laa Ilaha Illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata : ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena kami seorang penyair yang gila ?” [Ash-Shaffat : 35-36]
Sedangkan di zaman kini, kebanyakan umat tidak memahami maknanya namun mudah mengucapkannya di lidah. Sungguh ini suatu cara beragama yang jauh dari harapan dan teladan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sungguh, kalimat thayyibah yang ringan di mulut (tapi berat untuk diamalkan) ini akan menjadi salah satu penyelamat yang utama dalam perjalanan kita menuju kampung akhirat. Allahu ‘alam bishawab.
Sumber:
http://kebunhidayah.wordpress.com (dikutip dari sumber as-Sunnah)
No comments:
Post a Comment