Al-’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di memaparkan tentang bid‘ah: “Bid‘ah adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Sesungguhnya agama itu adalah apa yang datang dari Nabi sebagaimana termaktub dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dengan demikian apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah itulah agama dan apa yang menyelisihi Al-Qur`an dan As-Sunnah berarti perkara itu adalah bid‘ah. Ini merupakan definisi yang mencakup dalam penjabaran arti bid‘ah. Sementara bid‘ah itu dari sisi keadaannya terbagi dua:
Pertama: Bid‘ah I’tiqad (bid‘ah yang bersangkutan dengan keyakinan)
Bid‘ah ini juga diistilahkan bid‘ah qauliyah (bid‘ah dalam hal pendapat)
dan yang menjadi patokannya adalah sabda Rasulullah yang diriwayatkan
dalam kitab sunan: “Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya berada dalam neraka kecuali satu golongan.”
Para shahabat bertanya : “Siapa golongan yang satu itu, wahai Rasulullah ?”
Beliau menjawab: “Mereka yang berpegang dengan apa yang aku berada di atasnya pada hari ini dan juga para shahabatku.”
Yang selamat dari perbuatan bid‘ah ini hanyalah Ahlus Sunnah wal Jamaah
yang mereka itu berpegang dengan ajaran Nabi dan apa yang dipegangi
para shahabat dalam perkara ushul (pokok) secara keseluruhannya,
pokok-pokok tauhid, masalah kerasulan (kenabian), takdir,
masalah-masalah iman, dan selainnya.
Sementara yang selain mereka dari kelompok sempalan (yang menyempal/
keluar dari jalan yang benar) seperti Khawarij, Mu‘tazilah, Jahmiyah,
Qadariyah, Rafidhah, Murji`ah dan pecahan dari kelompok-kelompok ini ,
semuanya merupakan ahlul bid‘ah dalam perkara i‘tiqad. Dan hukum yang
dijatuhkan kepada mereka berbeda-beda, sesuai dengan jauh dekatnya
mereka dari pokok-pokok agama, sesuai dengan keyakinan atau penafsiran
mereka, dan sesuai dengan selamat tidaknya Ahlus Sunnah dari kejelekan
pendapat dan perbuatan mereka. Dan perincian dalam permasalahan ini
sangatlah panjang untuk dibawakan di sini.
Kedua: Bid‘ah Amaliyah (bid‘ah yang bersangkutan dengan amalan ibadah)
Bid‘ah amaliyah adalah penetapan satu ibadah dalam agama ini padahal
ibadah tersebut tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya. Dan perlu
diketahui bahwasanya setiap ibadah yang tidak diperintahkan oleh Penetap
syariat (yakni Allah) baik perintah itu wajib ataupun mustahab
(sunnah) maka itu adalah bid‘ah amaliyah dan masuk dalam sabda Nabi : “Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak.”
Karena itulah, termasuk kaidah yang dipegangi para imam termasuk Al-Imam Ahmad dan selain beliau menyatakan: “Ibadah itu pada asalnya terlarang (tidak boleh dikerjakan)” Yakni tidak boleh menetapkan/ mensyariatkan satu ibadah kecuali apa yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya.
Dan mereka menyatakan pula: “Muamalah dan adat (kebiasaan) itu pada asalnya dibolehkan (tidak dilarang).”
Oleh karena itu tidak boleh mengharamkan suatu muamalah dan adat
tersebut kecuali apa yang Allah dan Rasul-Nya haramkan. Sehingga
merupakan kebodohan bila mengklaim sebagian adat yang bukan ibadah
sebagai bid‘ah yang tidak boleh dikerjakan. Padahal perkaranya
sebaliknya (yakni adat bisa dilakukan). Maka yang menghukumi adat itu
dengan larangan dan pengharaman dia adalah ahlu bid‘ah (mubtadi’).
Dengan demikian, tidak boleh mengharamkan satu adat kecuali apa yang
diharamkan Allah dan Rasul-Nya.
Dan adat itu sendiri terbagi tiga:
Pertama: yang membantu mewujudkan perkara kebaikan dan ketaatan, maka
adat seperti ini termasuk amalan qurbah (yang mendekatkan diri kepada
Allah ).
Kedua: yang membantu/ mengantarkan kepada perbuatan dosa dan permusuhan, maka adat seperti ini termasuk perkara yang diharamkan.
Ketiga: adat yang tidak masuk dalam bagian pertama dan kedua (yakni
tidak masuk dalam amalan qurbah dan tidak pula masuk dalam perkara yang
diharamkan), maka adat seperti ini mubah (boleh dikerjakan). Wallahu a‘lam.
Sumber:
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
(Al-Fatawa As-Sa‘diyah, hal. 63-64 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah)
No comments:
Post a Comment