Saturday, November 29, 2014

Ibadah Yang Benar

Sesungguhnya ibadah yang disyariatkan Allah dibangun diatas dasar-dasar dan asas-asas yang kuat dan kokoh, ringkasnya sebagai berikut:

1. Ibadah itu adalah taufiqiyah 
Artinya ibadah merupakan bentuk bimbingan Allah yang ditentukan-Nya. Jadi tidak ada ruang bagi akal manusia untuk bertanya apa dan mengapa (red.), bahkan yang berhak membuatnya hanyalah Allah saja, sebagaimana firman-Nya: “Artinya : Maka beristiqomahlah engkau , sebagaimana yang diperintahkan kepadamu dan orang yang bertobat bersamamu dan janganlah engkau melampaui batas.” [Hu d :112]
“Artinya : Dan Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama ini, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui” [Al Jatsiyah : 18].  Dan Allah berfirman tentang Nabi-nya :  ”Artinya : Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku” [Al–Ahqaf : 9]

2. Ibadah itu harus ikhlas
yaitu bersih dari noda-noda syirik, sebagaimana firman-Nya.
“Artinya : Maka barangsiapa yang mengharapkan untuk bertemu dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia beramal dengan amalan yang shalih dan tidak menyekutukan (melakukan syirik) dengan seorangpun dalam beribadah kepada Rabb-nya” [Al-Kahfi : 110].  
Bila ibadah telah dimasuki oleh syirik walaupun sedikit saja, maka ia (syirik) akan menggugurkan (membatalkan) amalan itu sebagaimana firman-Nya  “Artinya : Dan janganlah mereka menyekutukan Allah , sungguh akan hapuslah dari mereka apa yang mereka amalkan” [Al-An’am : 88], “Artinya : Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan juga kepada orang-orang sebelum kalian;” Jika engkau menyekutukan Allah (berbuat syirik) pasti hilanglah (hapuslah) amalanmu dan engkau menjadi orang-orang yang merugi.” Karena itu maka hendaklah Allah saja yang engkau sembah dan hendaknya engkau termasuk orang-orang yang bersyukur” [Az-Zumar : 65-66]

3. Yang menjadi contoh dan panutan dalam ibadah itu haruslah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam
Sebagaimana firman Allah : “Artinya : Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasuulullah shalallahu alaihi wa sallam itu suri tauladan yang baik.” [Al Ahzab : 21].  “Artinya : Dan apa yang dibawa oleh Rasul bagi kalian, maka ambillah ia dan apa yang dilarang olehnya kepada kalian , maka tinggalkanlah “[Al Hasyr : 7]

Dan Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda .  “Artinya : Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada contohnya (dari) urusan kami, maka ia tertolak” [Hadits Riwayat Muslim],  “Artinya : Barangsiapa yang membuat perkara yang baru dalam urusan kami ini (Islam) yang tidak (ada) asal darinya, maka ia tertolak [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim].  Beberapa contoh antara lain dalam sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasalaam : Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]. “Ambillah oleh kalian cara manasik haji dariku” [Hadits Riwayat Muslim]

4. Ibadah itu dibatasi dengan waktu-waktu , ukuran-ukuran dan tidak boleh melampauinya , seperti shalat .
Allah berfirman :  “Artinya : Sesungguhnya shalat itu adalah suatu kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [An- Nisa :103].  “Artinya : (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi” [Al-Baqarah :197],  Seperti puasa :  “Artinya : (Beberapa hari yang ditentulkan itu ialah ) Bulan Ramadhan , bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara hak dan batil). Karena itu , barang siapa diantara kalian hadir (dinegeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu” [Al-Baqarah :185]

5. Ibadah itu harus didasari oleh rasa mahabbah (cinta) , merendah, takut dan berharap kepada Allah
Sebagaimana firman-Nya :  “Artinya : Orang-orang yang mereka seru itu , mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka, siapa yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut kepada azab-Nya.” [Al Isra ‘: 57].  Dan Allah berfirman tentang keadaan para Nabi-Nya :  “Artinya : Sesungguhnya mereka (para Nabi) sangat bersegera menuju kebaikan dan mereka menyeru kami dalam keadaan senang dan takut dan merekalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami” [Ali Imran : 90].  “Artinya : Katakanlah (wahai Muhammad):”Jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku. Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan Allah adalah Maha Pengampun dan Penyayang.”Katakanlah (wahai Muhammad) :”taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad shalallahu alaihi wa sallam) , maka jika kalian berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir.” [Ali-Imran :31-32]

Disini Allah menyebutkan tanda-tanda kecintaan kepada Allah dan buah-buahnya . Termasuk tanda-tandanya adalah mengikuti Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Dan mengikuti beliau berarti taat kerpada Allah.  Adapun hasil taat kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam adalah ; ia mendapatkan kecintaan , pengampunan dosa dan rahmat dari Allah.

6. Sesungguhnya ibadah itu tidak akan berhenti (selesai) bagi seorang mukallaf semenjak baligh dan berakal sampai akhirnya dia wafat
Sebagimana firmanNya  “Artinya : Dan janganlah kalian semua mati melainkan dalam keadaan sebagai seorang muslim” [Ali-Imran :102].  “Artinya : Dan beribadahlah engkau kepada Rabbmu sampai engkau mati” [Al Hijr : 99]


Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com


Sumber:
(dengan sedikit penyederhanaan bahasa) dari sumber lain yang bersumber pada kitab, Haqiqatuth Tashawwuf wa Mauqifush Shufiyyah min Ushulil Ibadah wad Diin, Edisi Indonesia : Hakikat Tasawwuf, Penulis : Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan, Alih Bahasa, Muhammad ‘Ali Ismah.)

Sunday, July 27, 2014

Meraih Kemenangan Hari Raya Idul Fitri 1435H

Gema takbir dan tahmid berkumandang disemesta alam raya, memuji kebesaran dan keagungan Sang Maha Pencipta kita umat Islam melepaskan bulan Ramadan dan dengan takbir dan tahmid pula kita menyambut 1 Syawal 1435 H. Mudah-mudahan pelepasan bulan Ramadan dan penyambutan bulan Syawal terpenuhi makna dan arti kedua peristiwa yang terjadi dalam suasana yg fitri karena kita telah merengkuh kemenangan melawan hawa nafsu.



Selama bulan Ramadhan, jiwa, ruh, dan hati kita benar-benar telah terasah dengan amal-amal kebajikan, sehingga hati  yang merupakan wadah ketakwaan semakin terbuka lebar dan luas guna lebih mengembangkan dan meningkatkan kualitas takwa yang sudah diperoleh selama beribadah di bulan Ramadan, Sebagaimana Firman Allah SWT: "Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa" (QS. Al-Hujurat 3). 

Tujuan dari puasa adalah untuk menjadikan orang-orang yang melakukannya menjadi orang-orang yang bertaqwa kepada Allah. Sebagaimana Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu sekalian dapat bertaqwa”. (QS: Al-Baqarah 183)

Idul fitri adalah hari kemenangan besar yang mengembalikan kita pada fitrahnya (kesuciannya) dimana jiwa kembali bersih karena dibasuh dengan ibadah, fitrah dan saling memaafkan serta rezeki yang kita miliki telah dicuci pula dengan zakat.

Kembali kepada kesucian artinya dengan merayakan Idul Fitri ini kita mendeklarasikan kesucian kita dari berbagai dosa sebagai buah dari ibadah sepanjang bulan Ramadan. Pada Idul Fitri inilah, kita  yang taat pada takdir Allah meyakini tibanya kembali fitrah diri yang kerap diimajinasikan dengan ungkapan seperti terlahir kembali. 
Dan, bila kita bersedia menerima fitrah yang ada di hari besar ini serta menerjemahkan dengan pikiran dan bahasa sederhana, Idul Fitri merupakan momentum bagikita untuk langkah awal menuju kehidupan lebih baik.

Kembali kepada fitrah berarti kembali kepada jati diri sebagai hamba Allah  yang muslim, hamba Allah  yang memakmurkan kehidupan, hamba Allah  yang tidak egois dan tidak arogan. Jadi, jika kita selama sebulan berpuasa, shalat tarawih, baca Al-Quran, shalat di masjid. Namun, setelah selesai bulan puasa kita tidak shalat, memusuhi masjid, memusuhi Al-Quran. Ya.... kita justru melenceng dari fitrah diri, puasa  kita tidak berarti bagi diri. Sebaliknya jika selama bulan Ramadhan kita sudah saleh secara pribadi, saleh secara sosial, memakmurkan masjid, bersilaturahim dengan banyak orang, maka kita berada dalam kondisi yang sesuai dengan fitrah. Jika kita ber-Idul Fitri, maka kita akan kembali kepada fitrah diri dengan menguatkan komitmen-komitmen itu sehingga setelah bulan Ramadhan pun akan semakin cinta dengan masjid, cinta dengan Al-Quran, akan tetap bersilaturahim. Hal inilah yang akan menjadikan Islam sebagai sumber keselamatan bagi kehidupan.

Di hari Idul Fitri, jiwa kita akan merasa tenang dan tenteram karena dosa-dosa kita kepada Allah telah diampuni, berkat puasa Ramadhan yang telah kita lakukan kareana dorongan iman dan mengharapkan pahala dari Allah sebagaimana sabda Nabi Muhammad : “Barangsiapa yang berpuasa Ramadlan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya diampunkan baginya apa yang telah lalu dari dosanya”.

Sesudah shalat Idul Fitri nanti  kita akan meminta maaf kepada keluarga, kaum kerabat dan famili, teman, tetangga dan kenalan kita dari kejahatan, kesalahan serta perbuatan dzalim yang pernah kita lakukan terhadap mereka, agar jiwa kita benar-benar terbebas dari dosa kepada Allah dan kesalahan kepada sesama manusia. Dan dengan demikian kita akan dapat merasakan kebahagiaan yang sejati. Allah, telah berfirman: “Mereka itu akan ditimpa kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka itu menyambung tali hubungan baik dengan Allah dan tali hubungan baik dengan sesama manusia”. (QS: Al-Imran 112)

Dengan menyambung tali hubungan baik dengan sesama manusia yang ditandai dengan masing-masing pribadi berani mengakui kesalahan dirinya dan berani meminta maaf kepada orang yang lebih muda usianya dan lebih rendah pangkat dan derajatnya, kehidupan masyarakat nampak rukun dan damai. Persatuan dan kesatuan masyarakat yang tulus dapat kita saksikan dengan jelas. Sedang persatuan dan kesatuan yang tulus dan murni dari sesuatu bangsa itu adalah merupakan salah satu kunci dari keberhasilan dalam mencapai pembangunan lahir dan batin.

Saudaraku, memang kita tak pernah bersua apalagi saling bertatap muka, namun itu bukan berarti kita jauh karena sesuatu yang lebih berarti bahwa kita terikat oleh jalinan persaudaraan yg sangat erat, yaitu ikatan ukhuwah islamiyah atas dasar  iman dan akidah yg sama.

Saya menyadari selama ini tak luput dalam salah dan khilaf dalam catatan dan tulisan yg saya sharing dengan saudaraku semua, banyak kata yg mengukir lara, banyak makna yg tak terungkap, banyak tanggapan yg menyakitkan, banyak kesalahan dalam penyusunan kata maka dihari yg fitri ini izinkan saya Keluarga Besar Wedha Kencana menghaturkan Taqabballahu minna wa minkum. Taqabballahu Yaa Kariim. Shiyamanaa wa shiyamakum. Mohon maaf maaf lahir & bathin. Minal 'aidin wal faizin. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1435 H.

Cahaya Menuju Surga
By: Wedha Kencana


Sumber:  Oleh Nata Heriadi (scbi)

Monday, March 17, 2014

Pentingnya Mengenal Al Asma` Al-Husna

Mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah suatu ilmu yang sangat agung, penuh dengan kebaikan dan keutamaan, dan beraneka ragam buah dan manfaatnya. 



Keutamaan dan keagungan mendalami ilmu Al-Asmâ` Al-Husnâ akan lebih jelas dengan memperhatikan beberapa keterangan berikut ini:

Satu : Mempelajari ilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah ilmu yang paling mulia dan paling utama, yang paling tinggi kedudukannya dan paling agung derajatnya. Tentunya hal ini sangat dimaklumi. Karena kemulian suatu ilmu pengetahuan tergantung pada jenis pengetahuan yang dipelajari dalam ilmu itu. Sedangkan telah dimaklumi pula bahwa tiada yang lebih mulia dan lebih utama dari pengetahuan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam Al-Qur`ân yang mulia dan Sunnah Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam.
Berkata Abu Bakr Ibnu Al-‘Araby rahimahullâh, “Kemuliaan sebuah ilmu tergantung apa yang diilmui padanya. Sedang (mengenal Allah) Al-Bârî adalah semulia-mulia pengetahuan. Maka mengilmui tentang nama-nama-Nya adalah ilmu yang paling mulia.” [1]
Maka mempelajari dan mendalami makna Al-Asmâ` Al-Husnâ adalah amalan yang paling utama dan mulia.

Dua : Mengenal Allah dan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan menambah kecintaan hamba kepada Rabbnya, akan membuatnya semakin mengagungkan dan membesarkan-Nya, lebih mengikhlaskan segala harapan dan tawakkal hanya untuk-Nya dan membuat rasa takutnya kapada Allah semakin mendalam. Dan kapan pengetahuan dan pemahaman seorang hamba terhadap nama-nama dan sifat-sifat Rabbnya semakin kuat dan mendalam, maka akan semakin kuat pula tingkat penghambaannya kepada Allah, dan akan semakin tulus sikapnya berserah diri kepada syari’at Allah, serta dia akan semakin tunduk kepada perintah Allah dan semakin jauh meninggalkan larangan-Nya.

Tiga : Mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah dasar keimanan dan dengan itu pula iman akan semakin bertambah.
Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Si’dy rahimahullâh, “Sesungguhnya beriman terhadap Al-Asmâ` Al-Husnâ dan mengenalnya mencakup tiga jenis tauhid; tauhid Rubûbiyah, tauhid Ulûhiyah dan tauhid Al-Asmâ` wa Ash-Shifât. Dan tiga jenis tauhid ini adalah perputaran iman dan ruhnya, pokok dan puncaknya. Maka setiap kali pengetahuan hamba terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah semakin bertambah, maka akan bertambah pula keimanannya dan akan semakin kuat keyakinannya.” [2]
Demikian pula sebaliknya, siapa yang kurang pengetahuannya terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah, maka kurang pula keimanannya.
Dan siapa yang mengenal Allah, maka ia akan mengenal segala yang selain Allah. Dan siapa kebalikan dari itu, maka perhatikanlah firman-Nya, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” [Al-Hasyr :19]
Cermatilah ayat di atas, tatkala ia lupa terhadap Allah, maka Allah membuatnya lupa kepada dirinya sendiri, lupa terhadap apa-apa yang merupakan kebaikannya dan lupa akan sebab-sebab keberuntungannya di dunia dan akhirat.

Empat : Sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ yang mengadakan makhluk yang sebelumnya mereka tidaklah pernah terwujud dan tidak pernah tersebut. Dan Allah ‘Azza wa Jalla memudahkan untuk mereka apa yang di langit dan di bumi, dan memberikan kepada mereka berbagai nikmat yang tidak mungkin bisa dijumlah dan dihitung. Seluruh hal tersebut agar mereka mengenal Allah dan menyembah-Nya. Allah Jalla Sya`nuhu berfirman, “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kalian mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [Ath-Tholâq :12]. Dan Allah Tabâraka wa Ta’âlâ berfirman, “Katakanlah: “Sesungguhnya patutkah kalian kafir kepada Yang menciptakan bumi dalam dua hari dan kalian adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Rabb semesta alam.” Dan Dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni) nya dalam empat hari. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.” Keduanya menjawab: “Kami datang dengan suka hati”. ” [Fushshilat :9-11].

Dan Allah ‘Azza Dzikruhu menyatakan, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” [Adz-Dzâriyât :56-57]
Maka usaha seorang hamba mengenal dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah sesuai dengan maksud penciptaannya. Dan meninggalkan hal tersebut dan menelantarkannya tergolong melalaikan maksud penciptaannya. Dan sangatlah tidak layak seorang makhluk yang lemah telah mendapatkan berbagai macan keutamaan dan telah merasakan beraneka ragam karunia dan nikmat Allah kemudian ia jahil terhadap Rabbnya dan berpaling dari mengenal kebesaran, nama-nama dan sifat-sifat-Nya.

Lima : Sesungguhnya Allah Subhânahu wa Ta’âlâ mencintai nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan Allah mencintai nampaknya pengaruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk. Dan hal ini tentunya bagian dari kesempurnaan Allah dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
Diantara nama-nama Allah ‘Azza wa Jalla adalah Ar-Rahmân dan Ar-Rahim [3] yang Maha merahmati makhluk dengan berbagai nikmat. –Sebagai contoh- perhatikan surah Ar-Rahmân yang dari awal surah hingga akhirnya menunjukkan rahmat Allah yang maha luas. Di awal surah, Allah Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman, “..(Allah) Yang Maha Merahmati, Yang telah mengajarkan AlQur`ân. Dia menciptakan manusia, Mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kalian jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kalian mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-(Nya). di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang. Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Rabb kalian yang manakah yang kalian dustakan?”…[Ar-Rahmân : 1-13]. Dan Allah berfirman, “Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Rabb yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [Ar-Rûm :50]

Dan karena rahmat Allah, Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang mepunyai sifat merahmati makhluk lainnya sebagaimana yang ditunjukkan dalam nash-nash dalil yang sangat banyak.
Dan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ adalah Al-Alîm (Yang Maha mengetahui) dan Allah mencintai orang-orang yang berilmu sebagaimana yang nash-nash dalil yang sangat banyak.
Dan Allah adalah At-Tawwâb (Maha Menerima taubat) dan Allah mencintai orang-orang yang bertaubat, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” [Al-Baqarah :222]

Dan demikan seterusnya.
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Demikianlah keadaan nama-nama Allah yang maha husnâ. Makhluk yang paling Dia cintai adalah siapa yang bersifat dengan konsekwensi dari (Al-Asmâ` Al-Husnâ itu). Dan (makhluk) yang paling Dia benci adalah siapa yang bersifat dengan kebalikan dari (Al-Asmâ` Al-Husnâ itu). Karena itu (Allah) membenci orang yang kafir, zholim, jahil, keras hatinya, bakhil, penakut, hina, dan bejat. Sedang (Allah) Subhânahu adalah Jamîl (Maha indah, elok) cinta kepada keindahan, Alîm cinta terhadap ulama, Rahîm cinta kepada orang yang merahmati, Muhsin (Maha Memberi kebaikan) cinta kepada orang yang berbuat kebaikan, Syakûr (Maha Pembalas Jasa) cinta kepada orang yang bersyukur, Shabûr (Yang Maha Sabar) [4] cinta kepada orang yang bersabar, Jawwâd (Maha Dermawan) [5] cinta kepada orang-orang yang dermawan dan berbuat kebajikan, Sattâr [6]cinta kepada As-Sitr, Qodîr mencela kelemahan -“dan mukmin yang kuat lebih Dia cintai dari mukmin yang lemah”-[7], Afuw (Maha Pemaaf) cinta kepada sifat pemaaf, dan Witr (Yang Maha Satu) cinta kepada yang witir [8]. Setiap yang dicintai oleh Allah maka itu dari pengaruh nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan konsekwensinya. Dan setiap yang Dia benci maka itu dari apa yang bertentangan dan berlawanan dengannya.” [9]

Enam : Orang yang benar-benar mengenal Allah ‘Azza wa Jalla akan berdalil dengan sifat-sifat dan perbuatan Allah terhadap apa yang Dia perbuat dan apa yang Dia syari’atkan. Karena seluruh perbuatan Allah adalah keadilan, keutamaan, dan hikmah, yang telah menjadi konsekwensi dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Maka tidak suatu apapun yang Dia syari’atkan kecuali sesuai dengan konsekwensi tersebut. Sehingga segala yang Allah beritakan adalah suatu yang hak dan benar dan segara perintah dan larangannya adalah keadilan dan hikmat.

Misalnya seorang hamba memperhatikan Al-Qur`ân dan apa yang Allah beritakan kepada makhluk melalui lisan para rasul tentang nama-nama, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, dan tentang harus mensucikan dan membesarkan Allah dari segala yang tidak layak. Juga ia memperhatikan bagaimana perbuatan Allah terhadap para wali yang memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan kenikmatan yang mereka peroleh karena itu ataupun ia memperhatikan bagaimana keadaan orang-orang yang menetang-Nya dan kebinasan akibat perbuatan mereka. Dengan hal ini, orang-orang yang memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya akan berdalilkan bahwa Allah adalah satu-satu-Nya Ilah yang berhak diibadahi, “Yang Maha mampu atas segala sesuatu”, “Yang Maha Mengetahui segala sesuatu”, “Yang Keras siksaannya”, “Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, “Yang Maha Berkuasa lagi Maha Bijaksana”, “Yang Maha melakukan apa yang Dia kehendaki” dan seterusnya dari apa yang menujukkan rahmat, keadilan, keutamaan, dan hikmah Allah Jalla wa ‘Alâ.
Apabila seorang hamba memperhatikan hal di atas, maka tidaklah diragukan bahwa hal tersebut akan menambah keyakinannya, memperkuat imannya, mempersempurna tawakkalnya, dan semakin menambah penyerahan dirinya kepada Allah.

Tujuh : Mengenal Allah dan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah perniagaan yang sangat menguntungkan. Dan dari keuntungannya adalah membuat jiwa tenang, hati menjadi tentram, dada menjadi lapang dan bersinar, keindahan sorga Firdaus pada hari kiamat, melihat kepada wajah Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia, meraih keridhaan Allah, dan selamat dari kemurkahan dan siksaan-Nya. Dan insya Allah akan lebih nampak lagi keuntungan-keuntungan tersebut pada uraian Al-Asmâ` Al-Husnâ yang akan diterangkan dalam rubrik ini secara bersambung.

Delapan : Berilmu tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah penjaga dari ketergelinciran, pembuka pintu amalan sholih, pemacu untuk menyonsong segala ketaatan, penghardik dari dosa dan maksiat, pembersih jiwa dari sikap-sikap tercela, penghibur di masa musibah dan petaka, pengawal menghadapi gangguan syaithan, penyeru kepada akhlak mulia dan fadhilah, dan lain sebagainya dari buah dan manfaat ilmu Al-Asmâ` Al-Husnâ.

Sembilan : Mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah dasar pokok untuk mengetahui segala ilmu pengetahuan selainnya. Karena yang dipelajari -selain dari ilmu tentang Allah Tabâraka wa Ta’âlâ- terbagi dua :
Satu : Makhluk-makhluk yang diadakan dan diciptakan oleh Allah Ta’âlâ.
Dua : Perintah-perintah yang Allah memerintah makhluk dengannya, baik itu perintah kauny maupun perintah syari’iy.
Sedangkan Allah Subhânahu wa Ta’âlâ telah berfirman, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah.” [Al-A’râf :54]

Dan telah dimaklumi bahwa segala ciptaan dan perintah Allah adalah baik dibangun di atas kemaslahatan, rahmat dan kasih sayang untuk segenap makhluk. Dan seluruh hal tersebut adalah pengaruh dari kandungan Al-Asmâ` Al-Husnâ. Karena itu, para ulama mengatakan bahwa penciptaan dan perintah adalah bersumber dari Al-Asmâ` Al-Husnâ Allah Jalla Jalâluhu. Sebagaimana segala yang ada -selain Allah- karena diadakan oleh Allah dan keberadaan selain-Nya adalah ikut kepada beradaan-Nya, dan makhlluk yang dicipta ikut kepada Yang Menciptakannya, maka demikian pula ilmu tentang Allah adalah sumber segala ilmu yang lainnya. Maka berilmu tentang Al-Asmâ` Al-Husnâ adalah sumber ilmu pengetahuan selainnya. Demikian makna keterangan Ibnul Qayyim dalam kitabnya Badâ`i’ul Fawâ`id 1/163

Sepuluh : Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kecuali satu. Siapa yang menghitungnya maka ia akan masuk sorga.”
Insya Allah akan datang pembahasan berkaitan dengan makna menghitung Al-Asmâ` Al-Husnâ bahwa maknanya bukan hanya sekedar menjumlah dan menghafalkannya, bahkan juga mengetahui makna dan kandungannya. Sehingga tiada jalan bagi siapa yang ingin meraih keutamaan yang tersurat dalam hadits di atas kecuali dengan mempelajari Al-Asmâ` Al-Husnâ sesuai dengan jalan yang benar dan pemahaman lurus.

Sebelas : Ayat-ayat yang menyebutkan nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah yang paling agung kedudukannya dalam Al-Qur`ân al-Karîm melebihi yang lainnya [10]. Karena itu, ayat yang paling agung adalah ayat Al-Kursi -yang mengandung sejumlah sifat dan beberapa nama Allah-, sebagaimana yang diterangkan dalam hadits Ubay bin Ka’ab radhiyallâhu ‘anhu, dimana Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bertanya kepada beliau, (“Wahai Abul Mundzir (Ubay), ayat apa yang paling agung dari kitab Allah yang kamu hafal?” Saya (Ubay) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau (kembali) bertanya, “Wahai Abul Mundzir, ayat apa yang paling agung dari kitab Allah yang kamu hafal?” Saya menjawab, “Allahu Laa Ilaaha Illaa Huwal Hayyul Qayyum [ayat Al-Kursi].” Maka Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam memukul dadaku seraya berkata, “Demi Allah, ilmu akan membahagiakanmu wahai Abul Mundzir.”) [11]

Dan demikian pula keberadaan dan keutamaan surah Al-Fatihah yang telah dikenal dan dimaklumi. Diantara Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam mensifatkan surah Al-Fatihah dalam sabdanya, “(Al-Fâtihah) adalah seagung-agung surah dalam Al-Qur`ân.” [12]
Dan juga keutamaan surah Al-Ikhlash yang mengandung penyebutan nama-nama dan sifat-sifat Allah. Salah satu keutamaannya, adalah tertera dalam sabda Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya (surah Al-Ikhlash) senilai sepertiga Al-Qur`ân.” [13]. Keterangan di atas menunjukkan keagungan dan kemuliaan mempelajari nama-nama dan sifat-sifat Allah ‘Azza wa Jalla.

Demikian beberapa hal yang menunjukkan pentingnya mempelajari Al-Asmâ` Al-Husnâ dan betapa butuhnya seorang hamba untuk mendalaminya.
Dan perlu kami ingatkan, bahwa pembahasan Al-Asmâ` Al-Husnâ adalah pembahasan yang bersumber dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah, bukan bersumber dari akal, perasaan, eksperimen, inspirasi, maupun adat istiadat. Ini adalah kaidah dasar yang harus kami ingatkan dalam tulisan ini, mengingat banyak dari kalangan kaum muslimin yang tertipu dengan kepandaian sebagian orang yang hanya berlari di belakangan dunia atau terkungkung oleh hawa nafsu dan was-was syaithan dengan membawakan kandugan dan manfaat Al-Asmâ` Al-Husnâ yang tidak pernah ditunjukkan oleh tuntunan Al-Qur`ân dan As-Sunnah.

Semoga Allah memudahkan untuk kita semua segala sebab kebaikan dan menjauhkan kita semua dari segala kejelekan. Wallahu Ta’âlâ A’lam.


catatan kaki :
[1] Baca Ahkâm Al-Qur`ân 2/793 –dengan perantara kitab Asmâ`ullahi wa Shifâtuhu karya Al-Asyqar hal 23-
[2] At-Taudhîh wa Al-Bayân li Syajarah Al-Imân hal. 41
[3]Ar-Rahmân dan Ar-Rahîm keduanya berasal kata “rahmat”. Dan ada rincian makna kata rahmat pada nama Ar-Rahmân dan kata rahmat pada nama Ar-Rahîm. Insya Allah akan datang penjelasan tentang makna dan kandungan kedua nama itu.
[4]Ada perbincangan seputar keabasahan penamaan ini. Insya Allah akan datang pembahasannya.
[5]Ada perbincangan seputar keabasahan penamaan ini. Insya Allah akan datang pembahasannya.
[6]Ada perbincangan seputar keabasahan penamaan ini. Insya Allah akan datang pembahasannya.
[7]Petikan dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim.
[8]Yang witir mempunyai banyak kandungan maknanya. Insya Allah akan diuraikan dalam pembahasan nama Al-Witr.
[9]‘Idah Ash-Shôbirîn hal 241 dan baca juga Madârij As-Sâlikîn 1/420 dan Miftâh Dâr As-Sa’âdah 1/3.
[10]Baca keterangan Ibnu Taimiyah dalam Da`ut Ta’ârudh bain Al-‘Aql wa An-Naql 5/310-313
[11]Dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 810 dan Abu Dâud no. 1460.
[12]Dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhâry , Abu Dâud no. 1458, An-Nasâ`i 2/193, dan Ibnu Mâjah no. 3785 dari Abu Sa’îd Al-Mu’allâ radhiyallâhu ‘anhu.
[13] Dikeluarkan oleh Al-Bukhâry, Abu Dâud no. 1461 dan An-Nasâ`i 2/171 dari Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu. Dan dikeluarkan pula oleh Muslim no. 812, At-Tirmidzy no. 2899 dan Ibnu Mâjah no. 3738 dari Abu Hairah radhiyallâhu ‘anhu dan Muslim no. 811dari Abu Dardâ` radhiyallâhu ‘anhu.
sumber : Ust. Dzulqarnain Bin Muhammad Sanusi)
http://an-nashihah.com/index.php?mod=article&cat=asmaulhusna&article=86


Saturday, March 8, 2014

Mengenal Allah

Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah dengan sebenarnya. Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua? 


Kalau mengenal Allah sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.
Yang dimaksud dengan mengenal Allah yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.

Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat (dan ingkar) kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya? Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal. Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah. Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik global maupun terperinci.

Ibnul Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190). Juga dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)

Mengenal Wujud Allah.
Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)

Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita menyakini bahwa syari’at Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)

Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan-Nya, kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)
Maknanya, menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah.
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya sgala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)
Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.

Dalam masalah rububiyah Allah sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?

Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )
Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:
“Dan mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18, Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)

Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya: “Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87) “Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah.” (QS. Al Ankabut: 61) “Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)

Demikianlah Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan manfa’at, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga, mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.

Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.
Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.

Mengenal Uluhiyah Allah
Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)


Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau: “Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Allah berfirman: “Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Allah berfirman: “Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ‘ya’. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” ( HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Saya tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu )

Contoh konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.

Ibnul Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah.”

Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)
“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)

Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Imam Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)

Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)
“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)

Wallahu ‘alam


sumber : 
Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah an Nawawi,  http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=30

Monday, February 3, 2014

Bagaimana Meyakini Keberadaan Allah Subhanahu wa Ta'ala?

Mengenai keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bisa dipastikan dengan empat argumen yang tak terbantahkan yakni: Fitrah, logika, panca indera, dan syariat. Argumen secara syariat diletakkan pada bagian akhir, bukan karena kedudukannya tidak penting, melainkan karena argumen akal (fitrah, logika, panca indera) lebih mudah diterima oleh orang-orang yang lemah atau belum beriman pada syariat Islam. Allahul Musta’an. 




1. Argumen Secara Fitrah
Bahwa setiap makhluk telah diberi fitrah untuk beriman dengan keberadaan penciptanya tanpa harus berpikir dan diajari terlebih dahulu. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan tentang hal ini di dalam Al-Qur`an melalui firman-Nya: “Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabb kalian?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)’.” (Al-A’raf: 172)

Ayat di atas dengan gamblang menerangkan bahwa setiap manusia secara fitrah mengimani keberadaan dan Rububiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tak ada yang berpaling dari tuntutan fitrah ini melainkan karena penyimpangan yang muncul di dalam jiwanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan di atas fitrah, kedua orangtuanyalah yang mengubahnya menjadi seorang Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

2. Argumen Secara Logika
Bahwa seluruh makhluk yang berada di jagad raya ini pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin mereka menciptakan diri mereka sendiri. Karena sesuatu yang awalnya tidak ada tidak mungkin menciptakan dirinya sendiri. Demikian pula, mereka tidak mungkin tercipta secara tiba-tiba (ada dengan sendirinya) karena sesuatu yang baru tercipta pasti ada penciptanya. Bagaimana mungkin alam yang sedemikian teratur rapi dengan segala rangkaian yang sangat sesuai dan keterkaitan yang sangat erat antara sebab dengan akibat dan antara sebagian wujud dengan yang lainnya, akan dinyatakan tercipta secara tiba-tiba?

Sesuatu yang muncul secara tiba-tiba yang pada asalnya tercipta tanpa suatu keteraturan tidak mungkin dalam eksistensi dan perkembangannya akan terjadi keteraturan yang sedemikian rapi. Oleh sebab itu, Allah Yang Maha Agung mengungkap argumen yang logis ini di dalam Al-Qur`an untuk menggugah hati kaum musyrikin yang masih tertutup dari keimanan. Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman: “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun (yakni secara tiba-tiba) ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka yang telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau mereka pula yang berkuasa?” (At-Thur: 35-37)

Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu ketika masih dalam keadaan musyrik, pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat-ayat ini. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata: “Hampir saja hatiku terbang, itulah saat pertama keimanan menancap di dalam hatiku.” (HR. Al-Bukhari)

Diriwayatkan bahwa sekumpulan orang-orang India yang menganut aliran As-Sumaniyyah mendatangi Abu Hanifah untuk mendebatnya dalam perkara eksistensi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat cerdas. Beliau menyuruh mereka agar datang kembali setelah satu atau dua hari berikutnya. Kemudian mereka berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang hal itu?” Beliau menjawab, “Aku sedang berpikir mengenai sebuah kapal yang penuh dengan muatan berupa berbagai barang dan mata pencaharian. Kapal itu berlayar mengarungi lautan dan akhirnya berlabuh di sebuah pelabuhan, lalu menurunkan barang-barangnya kemudian pergi. Padahal tidak ada nahkoda dan para buruh yang bekerja untuk mengangkat muatannya.” Mereka berkata, “Apakah engkau berpikir demikian?” Beliau menjawab, “Iya.” Mereka pun berkata, “Kalau begitu berarti engkau tidak punya akal. Apakah masuk akal bahwa sebuah kapal bisa berlayar, berlabuh, dan pergi kembali tanpa ada nahkodanya? Ini sama sekali tidak masuk akal.” Beliau menjawab, “Bagaimana akal kalian tidak bisa menerima hal ini, namun bisa menerima bahwa langit, matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, pepohonan, binatang-binatang melata, dan manusia secara keseluruhan tak ada Dzat yang telah menciptakannya?!”

Kisah lainnya, suatu ketika seorang Arab dusun pernah ditanya, “Bagaimana engkau mengenal Rabbmu?” Dia menjawab, “Jejak menunjukkan kepada bekas perjalanan. Tahi onta menunjukkan kepada keberadaan onta. Maka, langit yang memiliki gugusan-gugusan bintang, bumi yang memiliki lorong-lorong, dan lautan yang memiliki ombak-ombak, bukankah semua itu menunjukkan kepada Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala)?”

3. Argumen Secara Panca Indera
Bahwasanya mengetahui keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala melalui panca indera bisa ditangkap dari dua sisi: - Pengabulan doa dan pertolongan kepada orang-orang yang tertimpa kesusahan.
Kita mendengar dan menyaksikan bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabulkan doa orang-orang yang meminta kepada-Nya dan menolong orang-orang yang menghadapi kesusahan. Semuanya menunjukkan secara pasti tentang keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan kami mengabulkan doanya, lalu kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (Al-Anbiya`:76)
“(Ingatlah), ketika kalian memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu Dia mengabulkannya bagi kalian: ‘Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut’.” (Al-Anfal: 9)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Seorang Arab dusun datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jum’at ketika beliau tengah berkhutbah. Dia berkata,Wahai Rasulullah, segenap harta telah binasa dan para keluarga telah lapar, maka berdoalah engkau kepada Allah untuk kami.’ Beliau pun mengangkat kedua tangannya seraya berdoa. Maka menggumpallah awan-awan laksana gunung-gunung. Tidaklah beliau turun dari mimbarnya, sampai aku melihat hujan menetes di atas jenggotnya. Kemudian pada Jum’at yang kedua, orang Arab dusun itu –atau mungkin juga yang selainnya– kembali berdiri. Dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, bangunan-bangunan telah hancur dan segenap harta telah tenggelam, maka berdoalah engkau kepada Allah untuk kami.’ Beliau pun kembali mengangkat kedua tangannya sembari berdoa, ‘Ya Allah, (alihkanlah hujan itu) di sekitar kami dan bukan pada kami.’ Tidaklah beliau menunjuk kepada satu arah melainkan telah terbuka.” (HR. Al-Bukhari)

Pengabulan doa bagi orang-orang yang meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjadi sebuah perkara yang disaksikan sampai masa kita ini, selama mereka menyandarkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya dan memenuhi syarat-syarat pengabulan doa.

- Mukjizat-mukjizat para Nabi
Manusia mendengar dan menyaksikan bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala membela dan menolong para Nabi dan Rasul-Nya dengan pelbagai mukzijat di luar batas kemampuan manusia biasa. Semua itu adalah bukti konkret yang mengungkap keberadaan Dzat yang telah mengutus mereka dengan kebenaran. Di sana terdapat beberapa contoh nyata dan dikisahkan di dalam Al-Qur`an, di antaranya:
Yang pertama: Mukjizat Nabi Musa ‘alaihissalam ketika beliau diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’alauntuk memukulkan tongkatnya ke laut. Maka lautan terbelah menjadi duabelas jalan yang kering. Sementara air berada di antara jalan-jalan itu seperti gunung yang besar. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Lalu kami wahyukan kepada Musa: ‘Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.’ Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (As-Syu’ara`: 63)

Yang kedua: Mukjizat Nabi ‘Isa ‘alaihissalam ketika beliau melakukan beberapa perkara yang benar-benar di luar batas kemampuan manusia biasa. Di antaranya, beliau bisa menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal dan mengeluarkannya dari kubur mereka dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (lalu berkata kepada mereka): ‘Sesungguhnya aku telah datang kepada kalian dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Rabb kalian, yaitu aku membuat untuk kalian dari tanah berbentuk burung; Kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak. Dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah. Dan aku kabarkan kepada kalian apa yang kalian makan dan apa yang kalian simpan di rumah kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat sesuatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagi kalian, jika kalian sungguh-sungguh beriman’.” (Ali ‘Imran: 49)

“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: Hai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan Ruhul Qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (Ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) di waktu kamu menjadikan dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, Kemudian kamu meniupnya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. dan (Ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku. Dan (Ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (Ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.” (Al-Ma`idah: 110)

Yang ketiga: Mukjizat Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau diminta oleh orang-orang Quraisy untuk mendatangkan sebuah tanda kebenaran kenabian dan kerasulannya. Maka beliau memberi isyarat ke arah bulan yang kemudian terbelah menjadi dua, dan manusia pun menyaksikannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Telah dekat datangnya hari kiamat dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: ‘(Ini adalah) sihir yang terus menerus’.” (Al-Qamar: 1-2)

Demikianlah tanda-tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bisa ditangkap oleh panca indera sebagaimana tersebut di atas, yang merupakan mukjizat-mukjizat yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala membela dan menolong para Nabi dan Rasul-Nya. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa semua itu menunjukkan keberadaan Dzat Yang Maha Pencipta atas seantero alam ini.

4. Argumen Secara Syariat
Bahwasanya seluruh kitab samawi telah berbicara tentang keberadaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Segala hukum yang termuat di dalamnya mengandung kemaslahatan-kemaslahatan bagi para makhluk. Yang demikian ini menunjukkan bahwa kitab-kitab itu datang dari sisi Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Mengetahui kebaikan-kebaikan bagi para hamba. Seluruh peristiwa yang diberitakan-Nya dan dipersaksikan kebenarannya oleh realita kehidupan manusia juga menunjukkan bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb Yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa saja yang telah dikabarkan-Nya.


Sumber:
(Tulisan ini telah disunting dan diringkas pada beberapa bagian dari sumbernya yaitu : tulisan Al-Ustadz Abdul Mu’thi, berjudul Tauhid Rububiyyah‎, Bukan Sekedar Pengakuan (http://mimbarislami.or.id/?module=artikel&opt=default&action=detail&arid=126) . Perubahan serta kemungkinan terjadi kesalahan makna dan tujuan dari sumber asli tulisan adalah menjadi tanggungjawab pengelola blog http://www.kebunhidayah.wordpress.com . Edit kami lakukan agar tulisan bisa lebih singkat, padat dan menggunakan bahasa yang lebih sederhana. Bila ingin membaca selengkapnya silahkan baca sumber aslinya.)


Kemerdekaan Menurut Islam

Salah satu hak setiap bangsa, golongan, masyarakat atau pribadi yaitu hak mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Lalu, ba...