Sunday, March 31, 2013

Permata Salaf ” Mengingat Empat Kengerian “


 


Hatim al-Asham rahimahullah mengatakan, “Siapa yang kalbunya tidak pernah mengingat empat kengerian ini, berarti dia adalah orang yang teperdaya dan tidak aman dari kecelakaan."

 

(1) Saat yaumul mitsaq (hari saat diambilnya perjanjian terhadap ruh manusia) ketika Allah Subhanahu wata’ala berfirman, ‘Mereka di surga dan Aku tidak peduli, sedangkan mereka (yang lain) di neraka dan Aku tidak peduli’; dia tidak tahu, dirinya termasuk golongan yang mana.

 

(2) Saat dia diciptakan dalam tiga kegelapan (di dalam rahim), ketika malaikat diseru (untuk mencatat) kebahagiaan atau kesengsaraan (seseorang); dia tidak tahu apakah dirinya termasuk orang yang sengsara atau bahagia.

 

(3) Hari ditampakkannya amalan (saat sakaratul maut); dia tidak tahu, apakah dia diberi kabar gembira dengan keridhaan Allah Subhanahu wata’ala atau kemurkaan- Nya.

 

(4) Hari ketika manusia dibangkitkan dalam keadaan yang berbeda-beda; dia tidak tahu jalan mana yang akan ia tempuh di antara dua jalan yang ada.”




Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com


Sumber:  (Jami’ al-‘Ulum wal Hikam hlm. 81)

Saturday, March 30, 2013

Perkara Haram adalah Apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut(nama) selain Allah.” (al-Baqarah: 173)

 

“Bangkai.”  Mayoritas qurra’ membacanya dengan nashab (memfathah huruf ta’). Namun, sebagian mereka membaca dengan rafa’ (mendhammah ta’)—dengan alasan إِنَّمَا adalah isim maushul/kata sambung sebagai mubtada’ dan الْمَيْتَةَ sebagai khabar. Makna maitah (bangkai) adalah terlepasnya ruh (nyawa) dari jasad hewan tanpa proses penyembelihan yang syar’i.


“Darah.”  Darah yang dimaksud adalah darah yang mengalir dari urat leher saat hewan disembelih. Ini sebagaimana firman Allah,
“Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, selain bangkai, darah yang mengalir, atau daging babi’.” (al-An’am: 145)


“Daging babi.”
Ayat ini mengkhususkan keharaman babi pada dagingnya, meskipun seluruh bagian hewan ini juga haram. Sebab, keumuman apa saja dari hewan yang boleh dimakan (dagingnya), maka seluruh bagian anggota badannya mengikuti hukumnya (hukum daging). Berbeda halnya dengan pendapat mazhab Zhahiriyah yang hanya mengharamkan dagingnya.

“Dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.”
Makna ihlal adalah mengeraskan suara. Al-Alusi t mengatakan, “Menurut kebanyakan ahli bahasa, kata ihlal berasal dari melihat hilal. Akan tetapi, telah menjadi suatu kebiasaan, ketika hilal terlihat, mereka mengeraskan suara dengan bertakbir. Dari sinilah munculnya penamaan ihlal. Selanjutnya, nama ini dipakai untuk menyebut tindakan mengeraskan suara meskipun untuk urusan selain melihat hilal (seperti menyembelih hewan dengan menyebut nama selain Allah).”


Kemudian beliau menjelaskan pendapat bahwa yang dimaksud dengan “disebut nama selain Allah” secara lahiriah adalah patung dan selainnya. Para ulama, seperti Atha’, Makhul, asy-Sya’bi, al-Hasan, dan Sa’id bin al-Musayyab rahimahumullah berpendapat bahwa makna “disebut nama selain Allah” adalah patung saja. Mereka memubahkan sembelihan orang Nasrani yang menyembelih dengan menyebut nama al-Masih, walaupun pendapat ini bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh umat bahwa sembelihan tersebut adalah haram hukumnya.


Ibnu Abbas menerangkan bahwa makna أُهِلَّ dalam ayat ini adalah menyembelih. Mujahid mengatakan bahwa maknanya adalah hewan yang disembelih untuk selain Allah. Abul ‘Aliyah juga mengatakan bahwa maknanya adalah sembelihan yang disebut nama selain Allah. (Dinukil dari Maktabah Syamilah)
Asy-Syaukani mengatakan,
“Termasuk makna ihlal adalah ihlal shabiy, yaitu jeritan seorang bayi di saat lahir.” (Fathul Qadir, 1/314)

 

Ibnu Jarir ath-Thabari t menerangkan bahwa Allah menghendaki agar orang-orang yang beriman kepada Allah l dan Rasul-Nya tidak mengharamkan atas diri mereka sesuatu yang tidak diharamkan oleh-Nya, seperti mengharamkan bahirah, saibah, dan yang lain. “Oleh karena itu, makanlah hal-hal tersebut, karena Aku (Allah l) tidak mengharamkan atas kalian selain bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain-Ku.”


Al-Alusi mengatakan bahwa Allah mengharamkan bangkai. Makna pengharaman di sini meliputi memakannya dan memanfaatkannya (dalam bentuk lain). Adapun penyandaran kata haram kepada bangkai (zat sesuatu)—sementara itu, istilah haram adalah bagian dari hukum-hukum syariat yang menjadi salah satu sifat mukallaf, dan tidak ada kaitannya dengan zat sesuatu—mengandung isyarat tentang haramnya memanfaatkan bangkai (dalam bentuk apa pun), kecuali apabila terdapat dalil yang mengkhususkannya, seperti penyamakan kulit bangkai hewan (sebagaimana dalam hadits).


دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا أَوْ طَهُورُهَا  “Menyamak kulit bangkai itu ialah penyembelihan atau penyuciannya.” (HR. Ahmad dari Salamah bin Muhabbiq)
Termasuk yang dihukumi seperti hukum bangkai adalah sesuatu yang dipotong dari tubuh hewan dalam keadaan ia masih hidup. Hal ini seperti disebutkan oleh hadits Abu Waqid al-Laitsi, Rasulullah bersabda,
مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيمَةِ وَهِيَ حَيَّةٌ فَهُوَ مَيِّتٌ  “Sesuatu yang dipotong dari binatang dalam keadaan ia masih hidup, maka itu adalah bangkai.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi)
Yang dikeluarkan dari hukum bangkai adalah belalang dan ikan, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar, Rasulullah n bersabda,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالطُّحَالُ وَالْكَبِدُ  “Telah dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah. Dua bangkai itu ialah belalang dan ikan, adapun dua darah itu ialah hati dan limpa.” (Dinukil dari Maktabah Syamilah)

 

Di Antara Hal yang Diharamkan
Dalam ayat ini terdapat hukum haramnya keumuman bangkai hewan, selain yang dikecualikan, baik oleh dalil dari ayat maupun hadits. Di antaranya adalah firman Allah,
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ
  “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut.” (al-Maidah: 96)
Di antaranya adalah hadits Ibnu Umar,
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ
   “Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah.” (HR. Ahmad dan yang lain).  Hadits Jabir diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, dalam perihal ikan ambar—salah satu jenis ikan paus. Dalam sebuah peperangan, pasukan muslimin di bawah kepemimpinan Abu Ubaidah, tengah mengalami kelaparan. Tiba-tiba mereka mendapati bangkai ikan laut yang belum pernah terlihat sebesar itu, namanya ikan ambar. Setengah bulan mereka makan darinya.


Adapun bangkai yang dimaksud dalam ayat di atas adalah bangkai hewan darat dan bangkai hewan laut. Mayoritas ulama berpendapat kepada bolehnya memakan seluruh jenis hewan laut, baik yang hidup (segar) maupun yang mati (bangkai). Sebagian ulama berpendapat, diharamkannya sebagian hewan laut sama dengan apa yang diharamkan dari hewan darat. Dengan demikian, sebagian mereka, seperti Ibnu Habib, tawaquf (tidak bisa menentukan pendapat) tentang hukum memakan babi laut. Ibnu Qasim berkata,
“Saya menjauhinya meskipun tidak berpendapat tentang haramnya.”
 

Para ulama sepakat bahwa darah itu haram. Hanya saja, keumuman hukum yang terdapat dalam ayat di atas terkait dengan ayat lain, yaitu firman Allah,
ﮨ ﮩ ﮪ   “Atau darah yang mengalir.”
(al-An’am: 145)
Sebab, darah yang bercampur/menyatu dengan daging tidak haram hukumnya. Al-Qurthubi t berkata, “Ini adalah ijma’.” Hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits ‘Aisyah x, beliau memasak daging dan tampak warna kuning pada permukaan periuk karena darah (yang menyatu dengan daging). Nabi pun memakannya dan tidak mengingkarinya.


Dihikayatkan oleh al-Qurthubi adanya kesepakatan umat (para ulama) tentang haramnya lemak babi. Banyak ulama yang menyebutkan bahwa lemak termasuk bagian dari daging. Beliau juga menyebutkan adanya kesepakatan para ulama bahwa seluruh bagian dari babi adalah haram kecuali bulunya (yakni tidak najis, -red.) karena diperbolehkan untuk dijadikan sebagai perhiasan.
Adapun yang dimaksud dengan haramnya memakan hewan yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, seperti menyembelih dengan menyebut nama Latta, Uzza, apabila yang menyembelih adalah penyembah berhala; atau menyebut api apabila yang menyembelih adalah Majusi. Tidak ada perbedaan hukum terkait diharamkannya hal yang seperti ini atau yang semisalnya.


Yang serupa pula hukumnya adalah sembelihan dari kalangan orang-orang yang berkeyakinan terhadap orang yang sudah mati (bisa memberi pengaruh terhadap peristiwa di dunia, baca: para pengagung/penyembah kuburan). Mereka melakukan penyembelihan di atas kuburan. Hal ini termasuk bagian menyembelih dengan menyebut nama selain Allah l. Tidak ada perbedaan antara hal ini dengan penyembelihan untuk berhala. (Lihat Fathul Qadir 1/313—314, cet. Darul Wafa’)

 

Penghalalan & Pengharaman, Hak Allah & Rasul-Nya
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam penjelasan beliau terhadap kitab Bulughul Maram, menyebutkan salah satu faedah hadits Ibnu Umar, “Telah dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah”, Nabi tidak berkuasa dalam hal menghalalkan atau mengharamkan selain dengan izin Allah.
Oleh karena itu, tatkala beliau melarang seseorang yang makan bawang bombai atau bawang putih untuk hadir di masjid, orang-orang berkata, “Telah diharamkan, telah diharamkan.”  Beliau pun berkata,
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّهُ لَيْسَ بِي تَحْرِيمُ مَا أَحَلَّ اللهُ لِي وَلَكِنَّهَا شَجَرَةٌ أَكْرَهُ رِيْحَهَا
   “Wahai manusia, tidak boleh bagiku untuk mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah untukku. Akan tetapi, itu adalah sebuah tanaman yang aku tidak menyukai baunya.” (HR. Muslim)


Maknanya adalah, “Bukan dariku pengharaman itu, tetapi dari Allah.”
Oleh karena itu, kita semua memahami, apabila Rasulullah menghalalkan atau mengharamkan sesuatu berarti Allah telah mengizinkannya. Bukan pula maknanya bahwa ketika beliau menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, lantas kita boleh menanyakan kepada beliau, mana dalil bahwa Allah telah mengharamkannya. Cukuplah sabda beliau sebagai dalil. Kita tahu bahwa apa pun yang dihalalkan atau diharamkan oleh Rasulullah n adalah dengan izin Allah, seperti pada hadits,
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّهُ لَيْسَ بِي تَحْرِيمُ مَا أَحَلَّ اللهُ لِي وَلَكِنَّهَا شَجَرَةٌ أَكْرَهُ رِيْحَهَا
   “Wahai manusia, tidak boleh bagiku untuk mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah untukku. Akan tetapi, itu adalah sebuah tanaman yang aku tidak menyukai baunya.” (HR. Muslim)


Hadits di atas menunjukkan bahwa Nabi Muhammad, utusan Allah, tidak berkuasa untuk mengharamkan sesuatu. Hal ini juga ditunjukkan oleh al-Qur’an, seperti firman Allah,  “Dan seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat nadi jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang menghalangi (Kami) dari pemotongan urat nadi itu.” (al-Haqqah: 44—47)


Ini berarti bahwa Rasulullah terjaga dari mengada-ada terhadap Allah. Artinya, apabila Allah tidak mengizinkan beliau untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, beliau tidak akan menghalalkan atau mengharamkannya. (Dinukil dari Fath Dzil Jalali wal Ikram 1/123)

 

Hal ini menerangkan kepada kita bahwa pengharaman sesuatu bukan hanya semata-mata yang diharamkan oleh Allah dalam al-Qur’an, namun meliputi juga apa yang diharamkan oleh Rasulullah dalam sabda-sabda beliau (hadits). Di antaranya adalah semua binatang buas yang bertaring, burung yang berkaki penyambar, keledai negeri (piaraan), dan yang lain.


Demikian pula segala sesuatu yang najis, sebagaimana kaidah yang ditetapkan oleh para ulama, yaitu
“Setiap yang najis itu haram, namun tidak setiap yang haram itu najis”. Dalilnya adalah ayat yang tersebut dalam surat al-An’am: 145 di atas.


Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com


Sumber:  Majalah AsySyariah Edisi 080


Friday, March 29, 2013

Meninggalkan Sholat Jum’at 3 Kali

Shalat jum’at adalah sebuah kewajiban bagi ummat Islam, khususnya laki-laki dewasa. Kewajiban ini dituangkan di dalam firman Allah;  "Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui". ( Al-Jumu’ah: 9)

 

 

Adapun kewajiban itu bagi kaum muslim laki-laki berdasarkan kepada hadis nabi; Dari Thariq bin Syihab ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,

الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ

“Shalat Jumat itu adalah kewajiban bagi setiap muslim dengan berjamaah, kecuali (tidak diwajibkan) atas 4 orang. [1] Budak, [2] Wanita, [3] Anak kecil dan [4] Orang sakit.” (HR Abu Daud).

 

Dalil-dalil tersebut menunjukkan kewajiban melakukan shalat jum’at bagi lelaki muslim. Jika kewajiban itu ditinggalkan, maka ia mendapatkan dosa besar.

 

 

Kalimat Ummat Nabi Muhammad memiliki dua makna, ummat da’wah dan ummat istajabah. Ummat da’wah adalah semua orang yang hidup setelah beliau diutus sebagai Nabi dan Rasul. Sedangkan umat Istijabah adalah manusia yang hidup setelah kerasulan beliau dan memutuskan untuk menerima dakwah baliau. Pengeluaran seseorang dari ummat nabi Muhammad memiliki makna penetapan kekufuran seseorang.

 

Benarkah orang yang meninggalkan shalat Jum’at ia keluar dari agama islam, alias murtad? Mari kita tinjau hadis-hadis yang menerangkan bahayanya meninggalkan shalat jum’at, apalagi sampai tiga kali berturut-turut adalah

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ عِلَّةٍ طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Barangsiapa meninggalkan shalat jum’at tiga kali tanpa udzur dan tanpa sebab (yang syar’i) maka Allah akan mengunci mata hatinya. (HR Malik).

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ

Barangsiapa meninggalkan shalat jum’at tiga kali karena meremehkannya maka Allah akan mengunci mata hatinya. (HR at-Tirmidzi).

 

Ibnu Abbas mengatakan:

مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثَ جُمَعٍ مُتَوَالِيَاتٍ فَقَدْ نَبَذَ اْلإِسْلاَمَ وَرَاءَ ظَهْرِهِ

Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut maka ia telah melemparkan ikatan Islam ke belakang punggungnya. (HR Abu Ya’la dari kata-kata Ibnu Abbas).  

 

Dengan memperhatikan hadis-hadis tentang meninggalkan shalat jum’at, kita temukan bahwa tidak ada nash yang jelas yang menunjukkan batalnya keimanan seseorang. Memang Ibnu Abbas mengatakan telah melemparkan tali Islam ke belakangnya, maksud dari kata ini bukanlah melepaskan agama Islam, tetapi melepaskan sebagian kewajiban di dalam Islam. Terlebih bahwa ucapan itu bukan berasal dari Rasulullah saw sehingga tidak bisa digunakan untuk memastikan batalnya keislaman seseorang.

 


Dari sini, maka orang yang tidak menjalankan shalat jum’at tiga kali tidak dinyatakan sebagai orang kafir, apalagi kalau ia masih mau shalat yang lain.


Allahu a’lam bish-shawab

 


Menuju Cahaya Surga
http://wedhakencana.blogspot.com


Sumber: http://edywitanto.wordpress.com 

Sunday, March 24, 2013

Kewajiban Menjaga Lisan

Saudara-saudariku..

Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah dengan senantiasa menjaga lisan kita untuk tidak mengucapkan perkataan yang tidak diridhai-Nya. Ingatlah, bagi setiap manusia telah ditugaskan dua malaikat yang berada di sebelah kanan dan kirinya. Salah satunya akan mencatat dan menulis setiap kebaikan yang dilakukannya. Adapun yang satunya akan mencatat setiap perbuatan jeleknya. 

 

 

Allah berfirman:   “(Yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, salah satunya duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 17—18)


Berdasarkan ayat ini, setiap perkataan, baik yang diucapkan dengan keras maupun lirih, begitu pula setiap perbuatan, baik yang dilakukan di hadapan orang maupun sembunyi-sembunyi akan ditulis dan dimintai pertanggungjawabannya serta akan diperlihatkan di akhirat nanti kepada para pelakunya. Allah berfirman:  “Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.” (al-Isra’: 13-14)

 
 

 

Setiap muslim tentu mengimani hal tersebut. Namun, kenyataannya banyak di antara kita yang kurang berhati-hati menjaga lisan sehingga terjatuh pada ketergelinciran. Betapa banyak orang-orang yang menyibukkan dirinya dengan pembicaraan yang sesungguhnya tidak ada kepentingan bagi dirinya. Yang dilakukan hanyalah semata-mata mencampuri urusan orang lain, tidak meringankan atau membantu, apalagi menyelesaikan masalah. Justru pembicaraannya bisa menyebabkan semakin keruh keadaan. 

 

Hal ini tentunya termasuk ketergelinciran lisan dan menyelisihi sabda Nabi:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ   “Termasuk baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak ada urusannya dengan dirinya.” (HR. at-Tirmidzi dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani)

 
 

 

Termasuk kesalahan lisan yang sering dilakukan oleh seseorang adalah larut dalam pembicaraan yang tidak benar, seperti pembicaraan yang berisi kemaksiatan atau pembicaraan yang belum jelas kebenarannya. Akibatnya, perkataan yang berupa kemaksiatan atau kejelekan yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin menjadi bahan pembicaraan yang tersebar di mana-mana. 

 

Tentu saja hal ini akan menyenangkan dan menguntungkan orang-orang yang menyukai kemaksiatan, orang-orang munafik, dan musuh-musuh Islam. Allah l telah mengancam orang-orang yang suka menyebarkan kejelekan sebagian kaum muslimin dalam firman-Nya:  

 

 

“Sesungguhnya orang-orang yang senang agar (berita tentang saudaranya) yang berbuat kemaksiatan itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan di akhirat, dan Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)


Terkadang ada orang yang berprasangka tidak baik terhadap saudaranya, padahal baru sebatas dugaan yang sangat lemah. Namun, dia terburu-terburu menyampaikan kepada yang lainnya sehingga tanpa disadari dia telah menyakiti saudaranya dengan perbuatannya tersebut. Maka dari itu, dikhawatirkan perbuatan tersebut memasukkan dirinya dalam hadits Nabi:
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ   “Sungguh seorang hamba berbicara dengan satu kalimat yang menyebabkan kemurkaan Allah dalam keadaan dia tidak peduli dengan ucapan tersebut sehingga menyebabkan dia dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. al-Bukhari)


Oleh karena itu, yang semestinya dilakukan oleh seorang muslim ketika mendapatkan saudaranya seiman berbuat kemaksiatan adalah mengingatkan dan menasihatinya. Adapun menjadikan ketergelinciran atau kesalahan saudaranya sebagai bahan pembicaraan semata ketika berkumpul dengan orang, hal tersebut adalah perbuatan yang tercela. Ingatlah sabda Nabi kita:
يَا مَعْشَرَ مَنْ قَدْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الْإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلاَ تُعَيِّرُوهُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِى جَوْفِ رَحْلِهِ  “Wahai orang-orang yang telah menyatakan Islam dengan lisan namun iman belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum muslimin dan menjelek-jelekkan mereka serta jangan pula mencari-cari kejelekannya.  Karena barang siapa mencari-cari kejelekan saudaranya, Allah akan mencari kejelekannya pula. Dan barang siapa yang Allah mencari kejelekannya, pasti akan terbongkar kejelekannya meskipun dia melakukannya sembunyi-sembuyi di dalam rumahnya.” (HR. at-Tirmidzi dan disahihkan asy-Syaikh al-Albani)


Maka dari itu, marilah kita memikirkan apa yang akan kita ucapkan. Tidakkah kita takut, apabila di akhirat kelak ditanya: Bukankah engkau telah mengatakan demikian dan demikian? Atas dasar apa engkau mengatakannya dan dari mana engkau mendapatkannya? Sementara urusannya belum jelas bagi kita. Sungguh, bisa jadi apa yang kita sampaikan adalah berita yang dusta atau tidak benar semuanya. Betapa banyak kejadian yang disebabkan ketidakhati-hatian dalam menerima dan menyampaikan berita sehingga menimbulkan permusuhan di antara kaum muslimin.


Termasuk kesalahan lisan adalah mengucapkan kata-kata yang berbentuk cercaan, celaan, dan cacian. Oleh karena itu, sungguh sangat disayangkan ada orang yang bermudah-mudahan dan terbiasa mengucapkan kata-kata laknat dan cercaan, baik kepada orang lain maupun kepada kendaraan yang dinaikinya atau yang semisalnya. Padahal Nabi bersabda:

وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ   “Melaknat seorang mukmin seperti membunuhnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)


Dahulu ada seorang wanita yang melaknat kendaraan untanya. Kemudian Nabi bersabda:

خُذُوا مَا عَلَيْهَا وَدَعُوهَا فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ  “Ambillah barang yang ada di atas (unta tersebut) dan biarkan dia sendirian karena dia adalah kendaraan yang sudah dilaknat.” (HR. Muslim)

Sebagian orang, ketika ada permasalahan dengan saudaranya, begitu mudahnya mengeluarkan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan kepada saudaranya seiman. Dirinya yang lemah tidak menyadari bahwa dengan ucapan tersebut justru dia telah berbuat zalim kepada dirinya sendiri dan telah memikul dosa yang berat.


Di antara kesalahan lisan adalah memperolok-olok dan merendahkan manusia. Baik dengan ucapan, seperti mengejek orang atau menertawakannya; dengan isyarat dan perbuatan, seperti mengejek dengan mencibir; atau dengan pandangan matanya. Allah berfirman:  “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela.” (al-Humazah: 1)
Akhirnya, marilah kita berupaya untuk menjaga lisan-lisan kita dan membasahinya dengan zikir serta ucapan yang baik. Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan hidayah-Nya kepada kita semua.

  


Ketahuilah bahwa kesalahan lisan akan menjatuhkan pelakunya kepada kebinasaan. Nabi bersabda:
وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِى النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟   “Bukankah yang menyebabkan manusia diseret ke neraka tertelungkup di atas wajah-wajah mereka adalah akibat perkataan yang keluar dari lisan-lisan mereka?” (HR. at-Tirmidzi dan disahihkan asy-Syaikh al-Albani)


Oleh karena itu, seseorang harus senantiasa berhati-hati dalam berbicara. Apalagi di antara kesalahan lisan ada yang berupa kekafiran dan bisa menyebabkan pelakunya keluar dari agamanya. Seperti ucapan yang memperolok-olok Allah, kitab-Nya, agama, dan Rasul-Nya. Bahkan, ada ucapan yang barangkali seseorang mengucapkannya dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar namun karena tidak memikirkan akibat ucapannya, dia menghinakan orang lain dan tidak beradab kepada Allah. Hasilnya, bukan rahmat Allah yang dia dapatkan. Justru Allah menggugurkan seluruh amalannya. Nas’alullah as-salamah (Kita meminta keselamatan kepada Allah). 

 

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jundab z bahwa Rasulullah n bersabda:
أَنَّ رَجُلاً قَالَ: وَاللهِ، لاَ يَغْفِرُ اللهُ لِفُلاَنٍ؛ وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ ذَا الَّذِى يَتَأَلَّى عَلَيََّ أَنْ لاَ أَغْفِرَ لِفُلاَنٍ فَإِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِفُلاَنٍ وَأَحْبَطْتُ عَمَلَكَ  Ada seseorang yang mengatakan, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni kesalahan orang itu.” Allah pun berkata: “Siapa yang bersumpah mendahului Aku dan menyatakan bahwa Aku tidak akan mengampuni dosa orang itu? Sungguh Aku telah mengampuni-Nya, dan sungguh Aku telah menggugurkan amalanmu.” (HR. Muslim)


Demikianlah beberapa jenis kesalahan lisan serta akibatnya. Masih ada beberapa jenis lainnya, seperti ghibah, namimah (adu domba), berdusta, berlebihan dalam bercanda, dan sebagainya. Semua ini harus ditinggalkan, karena kesalahan-kesalahan lisan tersebut sering kurang diperhatikan. Padahal, di antara kesalahan lisan ada yang berupa dosa besar, bahkan berupa syirik dan pembatal Islam. Hal ini semua menunjukkan pentingnya menjaga lisan dan berfikir sebelum berbicara agar tidak terjatuh pada kesalahan-kesalahan.  Semoga mulai sekarang kita bisa menjaga ucapan-ucapan dengan baik.

 

Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com

 

Sumber: 
http://asysyariah.com/kewajiban-menjaga-lisan.html 

Friday, March 8, 2013

Bisa Jadi Kamu Membenci Sesuatu Namun Itu Baik Buatmu

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Qur’anul Karim, surat Al-Baqarah: ayat 216)

 

Dalam ayat ini ada beberapa hikmah dan rahasia serta maslahat untuk seorang hamba. Karena sesungguhnya jika seorang hamba tahu bahwa sesuatu yang dibenci itu terkadang membawa sesuatu yang disukai, sebagaimana yang disukai terkadang membawa sesuatu yang dibenci, iapun tidak akan merasa aman untuk tertimpa sesuatu yang mencelakakan menyertai sesuatu yang menyenangkan.

 

 

 

Dan iapun tidak akan putus asa untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan menyertai sesuatu yang mencelakakan. Ia tidak tahu akibat suatu perkara, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh hamba. Dan ini menumbuhkan pada diri hamba beberapa hal:

 

1. Bahwa tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba daripada melakukan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun di awalnya terasa berat.

 

Karena seluruh akibatnya adalah kebaikan dan menyenangkan, serta kenikmatan-kenikmatan dan kebahagiaan. Walaupun jiwanya benci, akan tetapi hal itu akan lebih baik dan bermanfaat. Demikian pula, tidak ada yang lebih mencelakakan dia daripada melakukan larangan, walaupun jiwanya cenderung dan condong kepadanya. Karena semua akibatnya adalah penderitaan, kesedihan, kejelekan, dan berbagai musibah.

 

Ciri khas orang yang berakal sehat, ia akan bersabar dengan penderitaan sesaat, yang akan berbuah kenikmatan yang besar dan kebaikan yang banyak. Dan ia akan menahan diri dari kenikmatan sesaat yang mengakibatkan kepedihan yang besar dan penderitaan yang berlarut-larut.

 

Adapun pandangan orang yang bodoh itu (dangkal), sehingga ia tidak akan melampaui permukaan dan tidak akan sampai kepada ujung akibatnya. Sementara orang yang berakal lagi cerdas akan senantiasa melihat kepada puncak akibat sesuatu yang berada di balik tirai permukaannya. Iapun akan melihat apa yang di balik tirai tersebut berupa akibat-akibat yang baik ataupun yang jelek. Sehingga ia memandang suatu larangan itu bagai makanan lezat yang telah tercampur dengan racun yang mematikan. Setiap kali kelezatannya menggodanya untuk memakannya, maka racunnya menghalanginya (untuk memakannya). Ia juga memandang perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala bagai obat yang pahit rasanya, namun mengantarkan kepada kesembuhan dan kesehatan. Maka, setiap kali kebenciannya terhadap rasa (pahit)nya menghalanginya untuk mengonsumsinya, manfaatnyapun akan memerintahkannya untuk mengonsumsinya.

 

Akan tetapi, itu semua memerlukan ilmu yang lebih, yang dengannya ia akan mengetahui akibat dari sesuatu. Juga memerlukan kesabaran yang kuat, yang mengokohkan dirinya untuk memikul beban perjalanannya, demi mendapatkan apa yang dia harapkan di pengujung jalan. Kalau ia kehilangan ilmu yang yakin dan kesabaran maka ia akan terhambat dari memperolehnya. Tetapi bila ilmu yakinnya dan kesabarannya kuat, maka ringan baginya segala beban yang ia pikul dalam rangka memperoleh kebaikan yang langgeng dan kenikmatan yang abadi.

 

2. Di antara rahasia ayat ini bahwa ayat ini menghendaki seorang hamba untuk menyerahkan urusan kepada Dzat yang mengetahui akibat segala perkara serta ridha dengan apa yang Ia pilihkan dan takdirkan untuknya, karena dia mengharapkan dari-Nya akibat-akibat yang baik.


3. Bahwa seorang hamba tidak boleh memiliki suatu pandangan yang mendahului keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau memilih sesuatu yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala pilih serta memohon-Nya sesuatu yang ia tidak mengetahuinya. Karena barangkali di situlah kecelakaan dan kebinasaannya, sementara ia tidak mengetahuinya. Sehingga janganlah ia memilih sesuatu mendahului pilihan-Nya. Bahkan semestinya ia memohon kepada-Nya pilihan-Nya yang baik untuk dirinya serta memohon-Nya agar menjadikan dirinya ridha dengan pilihan-Nya. Karena tidak ada yang lebih bermanfaat untuknya daripada hal ini.

 

4. Bahwa bila seorang hamba menyerahkan urusan kepada Rabbnya serta ridha dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilihkan untuk dirinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan mengirimkan bantuan-Nya kepadanya untuk melakukan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilihkan, berupa kekuatan dan tekad serta kesabaran. Juga, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan palingkan darinya segala yang memalingkannya darinya, di mana hal itu menjadi penghalang pilihan hamba tersebut untuk dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan memperlihatkan kepadanya akibat-akibat baik pilihan-Nya untuk dirinya, yang ia tidak akan mampu mencapainya walaupun sebagian dari apa yang dia lihat pada pilihannya untuk dirinya.

 

5. Di antara hikmah ayat ini, bahwa ayat ini membuat lega hamba dari berbagai pikiran yang meletihkan pada berbagai macam pilihan. Juga melegakan kalbunya dari perhitungan-perhitungan dan rencana-rencananya, yang ia terus-menerus naik turun pada tebing-tebingnya. Namun demikian, iapun tidak mampu keluar atau lepas dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah taqdirkan. Seandainya ia ridha dengan pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka takdir akan menghampirinya dalam keadaan ia terpuji dan tersyukuri serta terkasihi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila tidak, maka taqdir tetap akan berjalan padanya dalam keadaan ia tercela dan tidak mendapatkan kasih sayang-Nya karena ia bersama pilihannya sendiri. Dan ketika seorang hamba tepat dalam menyerahkan urusan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ridhanya kepada-Nya, ia akan diapit oleh kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya dalam menjalani taqdir ini. Sehingga ia berada di antara kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Kasih sayang-Nya melindunginya dari apa yang ia khawatirkan, dan kelembutan-Nya membuatnya merasa ringan dalam menjalani taqdir-Nya.

 

Bila taqdir itu terlaksana pada seorang hamba, maka di antara sebab kuatnya tekanan taqdir itu pada dirinya adalah usahanya untuk menolaknya. Sehingga bila demikian, tiada yang lebih bermanfaat baginya daripada berserah diri dan melemparkan dirinya di hadapan taqdir dalam keadaan terkapar, seolah sebuah mayat. Dan sesungguhnya binatang buas itu tidak akan rela memakan mayat. 

 

 

Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com

Sumber: 
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=622 (Oleh: Ibnu Qayyim Al Jauziah, diterjemahkan oleh Al-Ustadz Qomar Sua’idi ZA, Lc dari buku Al-Fawa`id hal. 153-155)

Thursday, March 7, 2013

Saudariku Sampai Kapan Kau Terlena?

Saudariku muslimah…

Ketahuilah, kesulitan yang menimpa umat Islam saat ini merupakan adzab dari Allah. Adzab tersebut tidaklah turun kecuali disebabkan dosa-dosa para hamba, yang dengan itu diharapkan mereka mau bertaubat kepada Rabb mereka dan mau kembali kepada-Nya.  Dalam tulisan ringkas ini kami ingin menjelaskan sebagian sebab yang menyampaikan kita pada apa yang kita alami sekarang ini, agar kita mengoreksi diri dan memperbaiki kesalahan.

 

Pertama, dosa-dosa dan kemaksiatan
Tidak diragukan lagi bahwa dosa dan kemaksiatan termasuk sebab terbesar yang menyampaikan umat terdahulu pada kebinasaan. Ali berkata: “Tidaklah turun bala` (siksaan) kecuali karena dosa, dan bala` tersebut tidak akan diangkat kecuali dengan taubat.”  Ketika bala‘ menimpa suatu kaum, tak ada satupun upaya yang bisa dilakukan untuk mencegahnya. Meski ada orang-orang shalih di antara mereka, azab tetap menyeluruh. Sebagaimana ucapan Zainab kepada Nabi: “Apakah kita akan dibinasakan sedangkan ada orang-orang shalih di antara kita?  Nabi bersabda: “Ya, apabila telah banyak kejelekan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7059 dan Muslim no. 2880)


Pada umat ini pun ada orang-orang shalih, akan tetapi banyak pula tersebar kejelekan. Oleh karena itu hendaknya orang-orang yang memiliki akal menjauhi dosa-dosa dan kemaksiatan agar Allah tidak memasukkan dirinya ke dalam adzab-Nya yang pedih dan tidak menghadapkan dirinya kepada kemurkaan Allah.
Betapa banyak penduduk negeri yang berada dalam keamanan dan ketenangan, mereka diberi nikmat dengan makmurnya kehidupan kemudian Allah membinasakan dan mengubah keadaan mereka. Allah ganti nikmat tersebut dengan kelaparan, rasa aman dengan ketakutan, disebabkan dosa dan kemaksiatan.


Allah berfirman:  “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri yang dahulunya aman dan tenteram, rizki datang kepada mereka melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi penduduknya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu Allah menimpakan kepada mereka kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang mereka perbuat.” (An-Nahl: 112)
Maka perhatikanlah kelembutan sifat Allah dan perhatikan bagaimana Allah mengubah keadaan mereka. Semua itu disebabkan dosa dan kemaksiatan hamba.

 

 

Kedua, lemahnya ketakwaan
Ketahuilah wahai Saudariku, semoga Allah Swt. merahmatimu.
Lemahnya takwa dalam hati juga merupakan sebab yang mengantarkan kepada kebinasaan dan hilangnya kenikmatan serta berubahnya keadaan yang paling baik menjadi yang paling buruk. Lemahnya takwa termasuk sebab datangnya murka Allah.
Dia yang Maha Suci berfirman:
  “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami, maka Kami siksa mereka karena perbuatan mereka itu.” (Al-A’raf: 96)

 

Ketiga, merajalelanya kerusakan
Merajalelanya berbagai macam perbuatan dosa, seperti wanita menampakkan perhiasan (aurat)-nya di depan laki-laki yang bukan mahram, bercampur baurnya laki-laki dan wanita yang bukan mahram tanpa hijab yang syar’i, banyaknya perzinaan, ditinggalkannya shalat dan zakat, banyaknya riba, homoseks, dan sebagainya termasuk sebab turunnya bala‘ pada umat ini. Ketika perbuatan tersebut dilakukan terang-terangan dalam suatu kaum dan disiarkan sampai merata di kalangan mereka, maka dipastikan akan turun adzab. Allah berfirman dalam Surat Ar-Rum ayat 41:  “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, agar Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka mau kembali.”

 
Bila Allah ingin membinasakan suatu kaum, Allah jadikan orang-orang yang paling jahat di antara mereka bertambah kefasikan dan kerusakannya, kemudian mereka menyebarkan kerusakan itu dan menyeru manusia untuk melakukannya. Saat itulah turun adzab, sebagaimana firman Allah:  “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu supaya menaati Allah, tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku perkataan (ketentuan) Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al'Isra  :16)

 

Keempat, merasa aman dari makar Allah
Orang-orang yang shalih selalu tunduk dalam ketaatan, bertaubat, dan khusyu’. Hati mereka bergetar karena takut kepada Allah dan khawatir akan adzab-Nya yang pedih.
Namun sungguh mengherankan, ada orang yang menampakkan kemaksiatan di hadapan Allah secara terang-terangan. Sungguh mengherankan, ia terus-menerus melakukan dosa besar dan kemaksiatan. Tidaklah ia meninggalkan satu dosa kecuali telah melakukan dosa yang lain.


Sungguh mengherankan, wanita yang keluar dalam keadaan tidak berpakaian kecuali hanya sekedar menutup separuh badannya, kemudian ia pergi ke pasar dan menimbulkan fitnah di hati hamba-hamba Allah. Betapa mengherankan orang yang lalai padahal ia berada dalam pengawasan Allah. Bagaimana mereka semua merasa aman dari makar Allah? Apakah mereka belum pernah mendengar firman Allah:
  “Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari datangnya siksaan Kami pada mereka di malam hari saat mereka tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari datangnya siksaan Kami di waktu dhuha ketika mereka sedang bermain? Apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak diduga-duga)? Tidaklah merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 97-99)


Orang-orang yang merasa aman dari makar Allah adalah orang-orang yang merugi, karena mereka lengah dari adzab Allah hingga adzab itu sampai kepada mereka dengan tiba-tiba tanpa mereka sadari. Yang demikian itu disebabkan mereka merasa aman dari makar Allah. Mereka terus-menerus dalam kemaksiatan, tidak menyadari kemurkaan Allah  hingga terjadilah apa yang terjadi.

 

 


Wahai saudariku muslimah…
Sepantasnya seorang muslim yang hakiki mengetahui beberapa perkara penting berikut ini:


Pertama, hendaknya kita berserah diri kepada Allah dan meyakini bahwa Allah tidak akan mendzalimi siapapun sebagaimana firman-Nya:  “Dan sekali-kali Allah tidak mendzalimi hamba-hamba-Nya.” (Fushshilat: 46)
Sebab turunnya adzab kepada manusia adalah akibat ulah mereka sendiri, sebagai buah dari amalan mereka. Allah berfirman:
  “Dan Allah tidaklah mendzalimi mereka, akan tetapi diri-diri mereka sendirilah yang dzalim.” (Ali ‘Imran: 117)


Kedua, wajib atas setiap muslim mengetahui bahwa ujian itu datangnya dari Allah. Firman Allah:  “Dan Kami akan memberi kalian cobaan dengan kejelekan dan kebaikan sebagai ujian dan hanya kepada Kami lah kalian akan dikembalikan.” (Al-Anbiya`: 35)
Hendaknya pula ia mengerti bahwa Allah menguji hamba-hamba-Nya agar dapat dibedakan siapa yang betul-betul beriman kepada Allah dan siapa orang-orang munafik, siapa yang jujur dan siapa yang dusta. Hal ini adalah sunnatullah yang berlaku pada umat-umat terdahulu.


Allah berfirman:
  “Dan agar Allah membersihkan orang-orang yang beriman (dari dosa mereka) dan membinasakan orang-orang kafir. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk jannah padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kalian dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (Ali ‘Imran: 141-142)


Ketiga, wajib bagi kita untuk bersabar, mengharap pahala, dan memuji Allah atas segala yang ditakdirkan-Nya. Hendaknya kita tidak mengeluh atas takdir buruk yang menimpa kita. Kesabaran adalah jalan paling selamat dan paling mudah untuk mendapatkan kelapangan dari Allah. Dia berfirman:  “Jika kalian bersabar dan bertakwa maka yang demikian itu sungguh merupakan hal yang patut diutamakan.” (Ali ‘Imran: 186)


Keempat, marilah kita bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan-Nya atas apa yang telah kita lakukan baik itu perbuatan maksiat dan dosa-dosa ataupun kelemahan dalam menjalankan kewajiban. Kita sadari bahwa taubat adalah satu-satunya cara mencapai jalan keselamatan. Akankah kita sambut seruan Allah tatkala berfirman:  “Dan bertaubatlah kamu sekalian wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung.” (An-Nur: 31)


Ataukah kita akan terus berada dalam kemaksiatan dan dosa dengan meninggalkan shalat, memakan riba, dan lainnya?
Akankah para wanita tetap bertabarruj (bersolek dan dipertontonkan di depan laki-laki bukan mahram) dan safar (bepergian) tanpa mahram? Apakah kita ingin menunda taubat dan melupakan firman Allah:
  “Dan barangsiapa yang tidak bertaubat maka merekalah orang-orang yang dzalim.” (Al-Hujurat: 11)

 

Wahai saudariku muslimah…
Marilah kita bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuha (yang tulus):

 

“Wahai Rabb kami, hilangkanlah adzab dari kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang beriman kepada-Mu.” (Ad-Dukhan: 12)


Mari kita kembali kepada Allah. Semoga Allah meringankan bencana atas kita dan menahan siksa-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah atas Nabi kita Muhammad.

 


Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com

Sumber:
Majalah "Syariah" Edisi 2
(Diterjemahkan dari Ilaa Mataa Al Ghaflah karya Abu Umar Salim Al-Ajmi’ oleh Nafisah bintu Abi Salim)

Tuesday, March 5, 2013

Mengenal Allah

Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan Allah . Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah  dengan sebenarnya.

 

Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukanlah sesuatu yang asing. Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?


Kalau mengenal Allah  sebatas di masjid, di majelis dzikir, atau di majelis ilmu atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.


Yang dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah  yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut dan akan berani menghadapi segala macam problema hidup.
Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah  tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah  kalau keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah  sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?


Maka dari itu mari kita menyimak pembahasan tentang masalah ini, agar kita mengerti hakikat mengenal Allah  dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.
Mengenal Allah  ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah , mengenal Rububiyah Allah , mengenal Uluhiyah Allah , dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah .
Keempat cara ini telah disebutkan Allah  di dalam Al-Qur`an dan di dalam As-Sunnah baik secara global maupun terperinci.

 


Ibnul Qayyim dalam Al-Fawaid (hal. 29), mengatakan: “Allah  mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al-Qur`an dengan dua cara yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah  dan yang kedua, melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam firman-Nya:

 

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (Ali ‘Imran: 190)
Juga dalam firman-Nya yang lain:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang telah Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Al-Baqarah: 164)

 

Mengenal Wujud Allah
Yaitu beriman bahwa Allah  itu ada. Dan adanya Allah  telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syariat.
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah  yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah  di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah  dan meminta sesuatu, lalu Allah  mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah  di dalam Al-Qur`an:

 

“Dan ingatlah ketika Rabbmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Rabb kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.’.” (Al-A’raf: 172-173)


Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah seseorang mengakui adanya Allah I dan juga menunjukkan, bahwa manusia dengan fitrahnya mengenal Rabbnya. Adapun bukti syariat, kita menyakini bahwa syariat Allah I yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk, menunjukkan bahwa syariat itu datang dari sisi Dzat yang Maha Bijaksana. (Lihat Syarah Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 41-45)

 

Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah Allah  adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara yaitu penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 14)
Maknanya, menyakini bahwa Allah  adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala manfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah .
Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah  mengatakan:

 

“’Katakanlah!’ Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.” (Al-Ikhlash: 1-4)


Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah  ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah  dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Dalam masalah rububiyah Allah , sebagian orang kafir jahiliyah tidak mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah I semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah ’tuhan’ yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?
Allah I telah menceritakan di dalam Al Qur`an bahwa mereka memiliki dua tujuan. Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah I dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:

 

“Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az-Zumar: 3)

 
Kedua, agar mereka memberikan syafaat (pembelaan) di sisi Allah . Allah  berfirman:

“Dan mereka menyembah selain Allah berupa apa-apa yang tidak bisa memberikan mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan itu) adalah yang memberi syafaat kami di sisi Allah’.” (Yunus: 18) [lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab]
Keyakinan sebagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah  telah dijelaskan Allah I dalam beberapa firman-Nya:

 

“Kalau kamu bertanya kepada mereka, siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Az-Zukhruf: 87)

 

“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan Allah. Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Al-’Ankabut: 61)

 

“Dan kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab Allah.” (Al-’Ankabut: 63)
Demikianlah Allah I menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid rububiyah Allah . Sekedar keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga Rasulullah r mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda saudara-saudara kita. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah , ada yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan manfaat, meluluskan dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit. Sehingga mereka harus berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang shalih, kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.

 
Mereka harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini, merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah .
Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rizki, menyembuhkan segala macam penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan seseorang, kecuali Allah I. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah I semata dan tidak kepada selain-Nya.

 

Mengenal Uluhiyah Allah
Uluhiyah Allah  adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah , seperti berdoa, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah  dan Rasulullah r.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah  termasuk perbuatan dzalim yang besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah .
Allah  berfirman di dalam Al-Qur`an:

“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (Al-Fatihah: 5)


Rasulullah r telah membimbing Ibnu ‘Abbas c dengan sabda beliau:

“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, dan beliau mengatakan hasan shahih)


Allah berfirman:
  “Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (An-Nisa`: 36)


Allah berfirman:
  “Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.(Al Baqarah: 21)

 
Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah  dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah . Karena, semuanya itu hanyalah milik Allah  semata.
Rasulullah r bersabda:
“Allah berfirman kepada ahli neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” (Shahih, HR. Muslim dari Anas bin Malik z)


Rasulullah r bersabda: “Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Aku tidak butuh kepada sekutu-sekutu, maka barangsiapa melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (Shahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah z)

 
Contoh konkret penyimpangan uluhiyah Allah  di antaranya ketika seseorang mengalami musibah di mana ia berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, bisa melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sembelihan bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
Ibnul Qayyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap Allah .”

 

Mengenal Nama-nama & Sifat-sifat Allah
Maksudnya, kita beriman bahwa Allah  memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahwa Allah  memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah  memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah :
  “Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Al-A’raf: 180)

 

“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (An-Nahl: 60)
Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah  sesuai dengan apa yang dimaukan Allah  dan Rasul-Nya dan tidak menyelewengkannya sedikitpun. Al-Imam Asy-Syafi’i meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama dan sifat-sifat Allah  sebagai berikut: “Aku beriman kepada Allah  dan apa-apa yang datang dari Allah  dan sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah . Aku beriman kepada Rasulullah  dan apa-apa yang datang dari Rasulullah  sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah .” (Lihat Syarah Lum’atul I’tiqad, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 36)


Ketika berbicara tentang sifat dan nama-nama Allah I yang menyimpang dari yang dimaukan  Allah I dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah  tanpa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah  berfirman:

“Katakanlah: ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu.” (Al-A’raf: 33)

 

“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungjawaban.” (Al-Isra`: 36)


Wallahu a’lam.

 

wedhakencana.blogspot.com

Sumber:
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman

Monday, March 4, 2013

Sulitnya Manusia Melepaskan Kenikmatan Dunia

Allah telah menguji setiap hamba-Nya dengan ujian yang berbeda beda.Tidak ada sedikit pun dalam ujian tersebut,Allah menzalimi mereka.Semua terjadi dan berjalan di atas ilmu dan kebijaksanaan Nya.Terjadinya,tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya, menghalanginya, mengubahnya, dan menggantikannya. Itulah ketentuan yang tidak akan berubah dan itulah sunnatullah yang tidak akan berganti.

 

Termasuk ujian yang bersifat menyeluruh atas para hamba-Nya adalah dunia yang indah dan hijau ini, perhiasan yang selalu dilirik, kemegahan yang senantiasa dikejar.Tahukah Anda,di belakang gemerlap dan keindahannya yang memikat, tersimpan bencana dan penipuan yang besar?

 

 

Cermati,lihat dan belajarlah dari orang yang telah tenggelam di dalamnya.Dia mengira bahwa dunia ini diciptakan untuknya dan dia diciptakan untuk dunia.Lihat pula kemajuan yang telah diraih oleh negeri-negeri kafir,ternyata semua itu menjadi bumerang dan senjata makan tuan.


Dunia telah memikat,menjerat,membungkam, meninabobokan, dan merongrong agama seseorang. Menurut al-Imam Ibnu Qayyim, dunia itu bagaikan seorang wanita pelacur yang tidak pernah puas dengan satu suami. Dia akan mencari laki- laki yang akan berbuat baik kepada dirinya dan dia tidak menyukai seorang lelaki yang pencemburu.

 

Orang yang berjalan mengejar dunia bagaikan orang yang berjalan di daerah yang penuh binatang buas. Jika dia berenang ingin menggapainya, ia bagaikan orang yang mengejarnya dalam pusaran air yang penuh buaya.” (Lihat al-Fawaid karya Ibnul Qayyim hlm. 53)

 

Allah Subhanahuwata’ala  mencela Dunia

“Tiadalah kehidupan dunia selain kesenangan yang menipu.”( Al‘iI mran: 185)

“Berilah perumpamaan kepada mereka, kehidupan dunia bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit. Menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan karenanya di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Adalah Allah Maha kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia,tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh lebih baik pahalanya disisi Rabbmu dan lebih baik untuk menjadi harapan.” (al-Kahfi: 45—46)

 

“Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaituwanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allahlah tempat kembali yangbaik(jannah/ surga). Katakanlah,‘Maukah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baikdari yang demikian itu?’ Untuk orang-orang yang bertakwa( kepadaA llah),pada sisi Rabb mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka di karuniai) istri-istri yang disucikan serta keridaan Allah, dan AllahMahaMelihat akan hamba-hamba-Nya.” (AliImran: 14-15)

 

“Tiadalah kehidupan dunia ini selain main-main dan senda gurau belaka, dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya?”( al- An’am: 32)

 

“Sesungguhnya perumpamaan hidup dunia ini adalah bagaikan air hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanaman-tanaman bumi, diantaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai perhiasannya, serta para pemiliknya menyangka bahwa mereka sanggup menguasainya, tiba-tiba datanglah kepada mereka azab Kami diwaktu malam atau siang. KemudianKami jadikan tanaman-tanamannya laksana tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orangyang berpikir.” (Yunus: 24)

 

“Tidaklah kehidupan dunia ini selain senda gurau dan main-main belaka. Dan sesungguhnya akhirat itu sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (al-‘Ankabut: 64)

 

“Sesungguhnya janji-janji Allah itu benar , maka janganlah kehidupan dunia menipu kalian dan jangan sekali-kali setan menipu kalian dijalan Allah.” (Luqman: 33)

 

Ketika membahas tafisr surat al-Fath, as-Sa’di menerangkan,“Ini adalah bentuk pendidikan kezuhudan dari Allah Subhanahu wata’ala kepada segenap hamba-Nya terhadap kehidupan dunia, yakni dengan memberi tahu mereka tentang hakikat dunia. Sesungguhnya dunia itu adalah main-main dan sia-sia. Main main dalam urusan badan dan sia-sia dalam urusan hati. Seorang hamba senantiasa berada dalam kelalaian karena urusan harta, anak-anak, perhiasan, dan segala bentuk kelezatannya, baik dari sisi wanita, makanan, minuman, tempat tinggal, tempat peristirahatan, pemandangan, maupun kepemimpinan. Sia-sia dalam setiap amal yang tidak ada faedahnya. Bahkan, dia berada dalam kemalasan, kelalaian, dan kemaksiatan sampai dunianya terpenuhi dan ajalnya datang menghampiri. Hal ini menuntut orang yang berakal untuk bersikap zuhud terhadap dunia, tidak mencintainya, dan benar-benar mewaspadainya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 790)

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  Mencela Dunia

Diriwayatkan dari Jabir , Rasulullah melewati sebuah pasar di daerah Awali dan orang-orang berada di sekelilingnya. Beliau melewati seekor anak kambing yang telah mati. Anak kambing itu bertelinga kecil. Beliau mengambilnya dan memegang telinganya lalu berkata, “Siapa yang mau membelinya dengan harga satu dirham?” Mereka menjawab, “Siapa di antara kami yang senang memilikinya? Apa yang bisa kami perbuat dengannya?” Beliau berkata, “Apakah kalian senang memilikinya?” Mereka berkata, “Jikapun dia hidup, dia tetaplah cacat. Lantas bagaimana lagi ketika dia sudah mati?” Beliau bersabda, “Demi Allah, dunia lebih hina di hadapan Allah daripada hinanya (bangkai) ini di hadapan kalian.” (HR. Muslim no. 5257)

 

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau(enak rasanya dan menyenangkan tatkala dipandang), dan sungguh Allah mengangkat kalian silih berganti dengan yang lain didunia ini, lantas Dia akan melihat apa yang kalian perbuat (dengan dunia itu). Oleh karena itu, hati-hatilah kalian terhadap urusan dunia dan wanita, karena awal petaka yang menimpa Bani Israil adalah dalam halwanita.” (HR. Muslim no. 4925 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu anhu )

 

“Demi Allah, tidaklahdunia dibandingkan dengan akhirat selain seperti seseorang yang meletakkan jarinya ini—Yahya, salah seorangperawi, mengisyaratkan dengan telunjuknya ke dalam air—hendaknya dia melihat apa yang ada dijarinya tersebut.” (HR. Muslim no. 5101 dari sahabat al- Mustaurid radhiyallahu anhu )

 

“Setiap umat ditimpa oleh ujian, dan ujian yang akan menimpa umatku adalah harta benda.” (HR. at-Tirmidzi no. 2258 dari Ka’b bin ‘Iyadh radhiyallahu anhu )

 

Rasulullah tidur diatas sebuah tikar. ikar tersebut membekas di bagian lambung beliau. Lantas kami mengatakan,“Wahai Rasululah, bolehkah kami membuatkan kasur?” Beliau bersabda,“Tiadalah saya dengan dunia selain seperti orang yang bepergian lalu berteduh dibawah pohon kemudian dia pergi meninggalkannya.”( HR.a t-Tirmidzi no. 2299 dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu )

 

“Tidaklah dua ekor serigala dalam keadaan lapar dilepas pada sekawanan kambing akan lebih merusak dibandingkan dengan ambisi harta dan kedudukan terhadap agama seseorang.”(HR. at-Tirmidzi no. 2298 dari sahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu anhu )

 

Allah Subhanawata’ala telah menyebutkan dunia pada banyak tempat dalam kitab suci- Nya dalam rangka menghinakannya, demikian pula Rasul-Nya di dalam as-Sunnah.Tentu tujuannya agar para hamba tidak tertipu dan terlena. Dalam hal menanggapi berita dari Allah Subhanahuwata’ala dan menyikapi pengutusan imam para rasul, Nabi Muhammad, manusia terbagi menjadi beberapa golongan.

 

1. Golongan yang acuh tak acuh terhadap peringatan tersebut. Mereka tidak mau tahu tentangnya.Yang penting,segala hasratnya terpenuhi, semua keinginannya terwujud, dan citacitanya tercapai.

2. Golongan yang mau mendengarkan berita dari Pemilik dunia ini, Yang mengatur dan Yang menciptakannya. Namun, karena dorongan hawa nafsunya yang besar, semua berita itu tidak memiliki nilai kesakralan dan keabsahan. Masuk dari telinga kanan dan keluar dari telingakiri.

3. Golongan yang mendengar,mematuhi, dan melaksanakan segala apa yang diwahyukan oleh Allah tentang dunia.

 

Dia berusaha mendudukkan dunia dan menjadikannya sebagai alat bantu untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah. Dia mencarinya karena melaksanakan tugas. Apabila dia mendapatkannya, dia tidak tergolong orang yang kufur. Sebaliknya, apabila tidak mendapatkannya,dia tidak tergolong orang yang putus asa. Dia mengetahui bahwa dunia ini adalah kenikmatan yang semu dan menipu.

 

 

Dunia,Sumber Malapetaka

Tidak samar lagi bagi orang yang berakal tentang bahaya dunia terhadap kehidupan manusia ketika dunia itu tidak ditundukkan untuk membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Dunia telah menyebabkan turunnya berbagai bentuk peringatan dari Allah .Dunia menjadi sebab hancurnya hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.

 

Dunia pula yang menghancurkan persatuan dan kesatuan umat sehingga berujung pada malapetaka kelemahan, (yang dengan sebab itu) mereka kemudian dihinakan oleh musuh Allah.Dunia telah menjadikan seseorang terhina dan menghinakan diri. Dunia telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan manusia secara umum dan kaum muslimin secara khusus.

 

Dunia telah menyebabkan hilangnya nyawa, terhinakannya kehormatan, dan hancurnya harta benda. Dunia telah menjadikan seseorang buta dari kebenaran, dia menolaknya karena dunia, menentangnya karena dunia, dan memeranginya karena dunia. Dunia telah menjadikan hati seseorang mati. Dunia adalah asal segala malapetaka.

 

Dunia, Sebab Utama Menolak Kebenaran

Kebenaran datang dari Allah dan tidak ada setelah kebenaran tersebut selain kesesatan. Terangnya kebenaran dan jelasnya jalan kebatilan bagi sebagian kalangan bisa menjadi tersembunyi. Bahkan, terangnya kebenaran itu akan ditolak oleh orang yang dibutakan oleh dunia. Tidak ada keraguan lagi bahwa setiap nafsu memiliki berbagai keinginan yang tercela, seperti cinta kepada dunia, mencari ketinggian, berlomba-lomba di hadapan makhluk, mencari kedudukan, dan sebagainya. Ditambah lagi, manusia memiliki tabiat zalim dan melampaui batas. 

 

Allah  berfirman, “Sesungguhnya manusia itu banyak berbuat zalim dan jahil.” ( al-Ahzab:7 2)

 

Terkadang, banyak sebab yang mendorong sifat yang tersimpan pada diri setiap manusia itu muncul. Di antaranya adalah hawa nafsu sehingga dia menolak kebenaran padahal dia mengilmuinya.Sikap ini muncul karena ia mengikuti hawa nafsu dan menuntut kemuliaannya terjaga atau ingin memperoleh sedikit dunia.

 

Anda bisa menemukan mereka dalam kondisi menyelisihi kebenaran, padahal mereka mengetahuinya, karena ingin memperoleh dunia. Mereka berteriak seolah-olah pembela kebenaran. Abu Wafa’ Ali bin ‘Aqil al-Hambali berkata, “Cinta kepada pamor dan condong kepada dunia, berbanggabangga, bermegah-megahan, dan menyibukkan diri dengan segala bentuk kelezatan dunia dan segala hal yang akan mendorong kepada kemewahan, semua itu bisa menjadi sebab seseorangberpaling dan menolak kebenaran.” (al-Wadhih fi Ushulil Fiqh, 1/522)

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Pencari kedudukan, walaupun dengan kebatilan, akan menyukai satu kalimat yang mengagungkan dirinya sekalipun itu batil. Sebaliknya, ia akan membenci ucapan yang mencelanya, kendati hal itu benar. Adapun orang yang beriman mencintai kalimat yang haq untuknya meskipun itu “menyerangnya”, serta membenci kedustaan dan perbuatan zalim.”(Majmu’ al-Fatawa 10/600) Al-’Allamah Abdul Lathif bin

 

Abdurrahman Alusy Syaikh berkata tentang orang-orang yang berpaling dari kebenaran, “Golongan yang kedua, para pemimpin dan pemilik harta benda yang telah tenggelam dalam dunia dan syahwat mereka. Sebab, mereka mengetahui bahwa kebenaran bisa menghalangi mereka dari segala keinginan, kesenangan, dan syahwat mereka. Mereka tidak memedulikan segala bentuk seruan menuju kebenaran dan tidak mau menerimanya.” (Uyun ar-Rasail hlm. 2/650)

 

Perilaku setiap orang yang berpaling dari kebenaran karena harta, kedudukan, atau pamor, mirip dengan perilaku orang-orang Yahudi. Sesungguhnya ulama-ulama Yahudi memiliki “sumber” penghidupan pada orang-orang kaya kaumnya.

Oleh karena itu, saat Rasulullah datang membawa kebenaran, mereka mengetahui bahwa yang dibawanya adalah haq. Namun, karena dunialah mereka mengingkari dan mengkufurinya. Mereka menyembunyikan kebenaran yang mereka ketahui dari bani Israil.

 

Dunia, Sebab Utama Kesesatan

Saat menafsirkan firman Allah Subhanahu wata’ala,  “Dan janganlah kalian menjual ayat-ayat-Ku dengan harga sedikit.” (al-Baqarah: 41)

 

Abul Muzhaffar as-Sam’ani berkata, “Mereka adalah para ulama Yahudi dan para pendeta yang telah memiliki sumber penghasilan dari orang-orang kaya mereka dan orang-orang jahil yang mengikuti mereka. Mereka khawatir penghasilan tersebut hilang apabila mereka beriman kepada Muhammad, Rasulullah. Akhirnya, mereka mengubah ciriciri beliau (yang tercantum dalam kitab mereka, red.) dan menyembunyikan nama beliau. Inilah makna menjual ayat-ayat Allah dengan harga sedikit.” (Tafsir al-Qur’an 1/22)

 

Kedudukan, kewibawaan, dan kepemimpinan juga telah melandasi para pemuka Quraisy untuk mengingkari Nabi Muhammad, memerangi, dan memusuhinya. Bersamaan dengan itu, mereka mengetahui dan mengakui kebenaran yang diserukan beliau. Al-Miswar bin Makhramah berkata kepada Abu Jahl, pamannya, “Wahai pamanku, apakah kalian menuduh Muhammad berdusta sebelum dia mendakwahkan apa yang diserukan?” Abu Jahl berkata, “Hai anaksaudaraku. Demi Allah, sungguh saat mudanya, di tengah-tengah kami dia dikenal sebagai seorang yang terpercaya (jujur). Kami tidak pernah mengetahui dia berdusta. Tentu setelah bertambah usia dia tidak mungkin akan berdusta atas nama Allah.”

 

Al-Miswar berkata, “Hai pamanku, mengapa kalian tidak mengikutinya?” Dia berkata, “Hai anak saudaraku, kami telah berselisih dengan bani Hasyim dalam hal kepemimpinan. Mereka memberi makan (orang-orang), kami juga memberi makan. Mereka memberi minum, kami pun memberi minum. Mereka memberi perlindungan, kami juga melakukannya. Tatkala kami saling berlomba-lomba, bani Hasyim berkata, ‘Dari kami ada seorang nabi. Kapan kalian mendapatkannya?’.” (Lihat Miftah Daar as-Sa’adah 1/93)

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Meskipun Abu Thalib mengetahui bahwa Muhammad adalah Rasulullah dan dia mencintainya, cintanya bukan karena Allah melainkan karena dia adalah anak saudaranya. Dia mencintainya karena kekerabatan. Kalaupun dia membela beliau, itu karena ingin memperoleh kedudukan dan kepemimpinan.

 

Jadi,asal muasal cintanya adalah karena sebuah kedudukan.Hal itu terbukti saat Rasulullah menawarinya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat menjelang ajalnya. Dia melihat bahwa mengikrarkannya akan melenyapkan agama yang dicintainya. Agamanya lebih dia cintai daripadaanak saudaranya. Oleh karena itu, dia menolak mengikrarkannya.” (Fatawa Kubra’ 6/244)

 

Asy – Syaukani  berkata ,“Terkadang, sebuah ucapan yang haq ditinggalkan karena seseorang ingin menjaga apa yang telah dia peroleh dari negaranya baik berbentuk materi maupun kedudukan. Bahkan, terkadang ucapan yang haq itu ditinggalkan karena berbeda dengan apa yang terjadi di tengah tengah manusia, dalam rangka mencari simpati mereka dan agar mereka tidak lari. Terkadang pula, dia meninggalkan ucapan yang benar karena ketamakannya terhadap apa yang diharapkan dari negaranya atau dari banyak orang di kemudian hari.” (Adabuath-Thalib wa Muntaha al-Arb hlm. 41)

 

Al-Imam Ibnu Qayyim berkata, “Saya telah berdialog dengan ulama Nasrani yang kelasnya terpandang pada hari ini. Saat jelas kebenaran dihadapannya, dia terdiam. Saya berkata kepadanya tatkala menyendiri dengannya, ‘Sekarang, apa yang menghalangi Anda untuk menerima kebenaran?’ Dia berkata kepadaku, ‘Apabila saya datang ke tengah-tengah kaum Himyar, mereka menaburkan bunga yang semerbak di bawah kaki kendaraanku. Mereka menjadikanku sebagai hakim dalam urusan harta benda dan istri mereka. Mereka tidak pernah menentang segala hal yang aku perintahkan.

 

Aku ini tidak punya keahlian untuk bekerja. Aku tidak bisa menghafal al-Qur’an, tidak pula mengetahui ilmu nahwu dan fikih. Andaikan aku masuk Islam, niscaya aku akan berkeliling di pasar-pasar, meminta-minta kepada orang banyak. Siapa yang tega hal itu terjadi?’

 

Aku mengatakan, ‘Itu tidak akan terjadi. Bagaimana sangkaan Anda kepada Allah saat Anda mengutamakan ridha-Nya di atas nafsu Anda, apakah Dia akan menghinakan, merendahkan, dan menjadikan Anda miskin?

 

Jika hal itu benar-benar menimpa Anda, kebenaran yang telah Anda raih, keselamatan dari neraka, murka, dan marah Allah adalah harga yang jauh lebih pantas dibandingkan dengan apa yang luput dari Anda.’

 

Dia berkata, ‘Sampai Allah merestui.’ Saya lalu berkata, ‘Takdir bukan alasan. Jika takdir bisa menjadi alasan, tentu takdir bisa menjadi alasan orang orangYahudi saat mendustakan Nabi Isa . Demikian pula, dia akan menjadi hujah bagi kaum musyrikin ketika mendustakan seruan Rasulullah. Kalian sendiri menolak takdir, bagaimana bisa kalian berhujah dengannya?’ Dia berkata, ‘Biarkan kami dari ini.’ Diapun terdiam.”(Hidayatul HayarafiAjwibatil YahudiwanNashara hlm. 12)

 

wedhakencana.blogspot.com

sumber:
http://kebunhidayah.wordpress.com/2013/03/02/sulitnya-melepaskan-diri-dari-kenikmatan-dunia/
http://asysyariah.com/ketika-dunia-menjadi-harga-keyakinan.html
Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan, Oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman Lombok

Kemerdekaan Menurut Islam

Salah satu hak setiap bangsa, golongan, masyarakat atau pribadi yaitu hak mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Lalu, ba...