Friday, December 27, 2013

Arti Rasa Takut Kepada Allah

Takut adalah Ibadah

Dalam agama, rasa takut termasuk salah satu bentuk ibadah hati, bahkan memiliki kedudukan yang agung dan mulia. Takut adalah salah satu dari rukun ibadah dan merupakan syarat iman, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala : “Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti (kamu), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175)


“Maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (Al-Maidah: 44).

 

  


Dari kedua ayat di atas dan ayat-ayat yang lain maka sungguh sangat jelas bahwa takut itu termasuk dari ibadah, bahkan ibadah yang paling mulia. Dan Allah tidak akan memerintahkan melainkan untuk suatu kemuliaan. Allah subhanahu wa ta’ala  juga memberitahukan kepada kita tentang tipu daya setan dan ketakutan palsu yang mereka tanamkan. Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang kita untuk takut kepada setan tersebut. Maka ayat tersebut (Ali Imran: 175) menunjukkan bahwa keikhlasan untuk memiliki rasa takut kepada Allah termasuk syarat iman.

 


Dalil Mengenai Rasa Takut


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


“Mereka (malaikat) takut kepada Rabb mereka dan melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (An-Nahl: 50). “Orang-orang yang menyampaikan risalah Allah mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seorang pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (Al-Ahzab: 39).


“Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kalian kepada-Ku.” (Al-Baqarah: 150).


Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang takut. Adapun dari Sunnah Rasulullah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Tujuh golongan orang yang akan mendapatkan perlindungan pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan dari Allah, di antaranya seorang hamba yang “diajak” oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, dan dia (menolak dengan) mengatakan: ‘Aku takut kepada Allah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.629 dan Muslim no. 1031 dari hadits Abu Hurairah)


 


Syaddad bin Aus radiallahuanhu berkata: telah berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman:


“Demi kemuliaan dan keagunganku, aku tidak akan menghimpun pada diri hamba-hamba-Ku dua rasa aman dan dua rasa takut. Jika dia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan beri rasa takut pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku (hari akhirat). Dan jika dia takut kepada-Ku di dunia maka Aku akan berikan rasa aman pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku (hari akhirat). ” (HR. Abu Nu’aim dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 742)


 


Macam-macam Takut


Para ulama telah membagi jenis takut menjadi beberapa bagian, di antara mereka ada yang membagi lima, empat, dan ada yang membagi menjadi tiga, yaitu:


Pertama, takut ibadah.


Yaitu takut yang diiringi dengan penghinaan diri, pengagungan, dan ketundukan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

 


Kedua, takut syirik.


Takut syirik yaitu memberikan takut ibadah kepada selain Allah. Barang siapa yang memberikannya kepada selain Allah maka dia telah melakukan kesyirikan yang besar, seperti takut kepada orang mati, takut kepada dukun-dukun, takut kepada wali-wali yang dianggap bisa memberikan manfaat dan mudharat, dsb. Perbuatan ini akan mengekalkan pelakunya di dalam neraka, mengeluarkannya dari Islam, dan menghalalkan darah dan hartanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (Al-Maidah: 44)

 


Ketiga, takut tabiat.


Ketiga, takut tabiat. Yaitu takut kepada hal-hal yang bisa membahayakan jiwa seseorang, seperti takut kepada musuh, binatang buas, api, dan sebagainya. Takut jenis ini dibolehkan selama tidak melampaui batas. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan kisah Nabi Musa alaihisallam:


“Dia keluar dari negerinya dalam keadaan takut yang sangat.” (Al-Qashash: 21). Pertanyaannya, bagaimana hukumnya takut kepada selain Allah? Jawabannya harus dirinci. Bila takut kepada selain Allah menyebabkan sampai menghinakan diri di hadapannya maka termasuk syirik. Jika ketakutannya itu menyebabkan ia melakukan yang diharamkan dan meninggalkan kewajiban maka takut ini termasuk maksiat dan berdosa. Jika takutnya adalah takut tabiat seperti takut kepada air deras yang bisa menghanyutkan dirinya, hartanya, atau anaknya, maka takut yang demikian itu adalah boleh.
 


Wallahu a’lam.

 

Sumber: 
Merujuk pada tulisan (diringkas dari sumber aslinya)  : Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi
http://kebunhikmah.wordpress.com/2009/11/02/takutlah-kepada-allah/
 
 

Wednesday, December 25, 2013

Arti Cinta Kepada Allah

Hakikat Cinta

Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.

 

Macam-macam cinta:

Pertama, cinta ibadah.


Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, sesuai dalil Qur’an dan Sunnah.

 

Kedua, cinta syirik.

Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

 

Ketiga, cinta maksiat.

Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala  berfirman:

“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)

 

Keempat, cinta tabiat.

Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8 )

 

Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik. (Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 114)

 

Cinta kepada Allah

Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka: “Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)

Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam, faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam maka kecintaan Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.” Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah.

 

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radiyallahu anhu : “Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)

 

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:

Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.

Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.

Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.

Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.

Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.

Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun ke langit dunia (qiyamul lail/tahajud, red).

Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.

Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)

 

Cinta adalah Ibadah

Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)

 “Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)

Adapun dalil dari hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam adalah hadits Anas yang telah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

 

Buah cinta

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di  menyatakan: “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)

 

Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.

Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.

Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.

Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.

 

Wallahu a’lam.

 

Sumber:

Referensi  :  bersumber dari tulisan Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi (dengan peringkasan)

http://kebunhikmah.wordpress.com/2009/10/27/arti-cinta 

 

 

Tuesday, December 24, 2013

Mencintai Karena Allah

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  “Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.” [HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.] 

Hadits ini menunjukkan bahwa keimanan itu memiliki rasa manis yang dapat dirasakan oleh orang yang hatinya tenang dalam keimanan sebagaimana orang dapat merasakan lezatnya makanan. Bahkan iman itu lebih lezat dan lebih baik, karena ia adalah santapan khusus untuk ruh. Adapun makanan hanyalah untuk jasad yang fana (bersifat sementara).

 


Merindukan Manisnya Iman

Barangsiapa yang melakukan dosa maka akan dicabut lezatnya ketaatan dan kedekatan dengan Allah. Iapun akan terjerumus kedalam kenistaan. Apabila ia memperbaiki diri, maka ia merasa rindu untuk kembali merasakan nikmatnya kondisi sebelumnya. Ia pun akan merendahkan diri dan memohon kepada Rabbnya supaya mengembalikannya pada kebiasaannya dalam berbuat baik. Namun apabila ia terus menerus dan tidak kembali dan mengalami kesulitan untuk kembali seperti semula maka jiwanya akan semakin merasakan kerinduan yang besar. Oleh karenanya apabila seseorang telah merasakan manisnya iman dan telah menyatu dalam hatinya maka akan semakin kokoh cintanya. Iapun tidak akan pernah mengutamakan yang lainnya diatas kecintaannya kepada Allah.

 

Dalam hadits Abu Hurairah dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, sesungguhnya Allah bertanya kepada para malaikat,”  Apa yang diminta oleh para hambaku?” Para malaikat menjawab,” Mereka meminta kepadamu Syurga.” Allah bertanya,”Apakah mereka telah melihatnya?” para malaikat menjawab,”Belum wahai  Rabb.”  Allah bertanya,” Bagaimana seandainya mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab,” Seandainya melihatnya, mereka akan memintanya dengan sangat.” (Bukhari No.6045). Tidaklah semua itu terjadi kecuali karena mereka telah merasakan manisnya iman di hati mereka. Demikian pula mereka yang mencintai dan membenci hanya karena Allah.

 

Mencintai Apa Yang Allah Cintai dan Membenci Apa Yang Allah Benci

Sementara itu pada waktu yang sama, Allah mengharamkan manisnya iman dari segolongan manusia yang menjadikan kecintaannya hanya karena syahwat dan kesenangan duniawi. Mereka tidak mengikuti jalan para pendahulu mereka yang shaleh yang mencintai, membenci, memberi dan menahan pemberian hanya karena Allah semata sehingga sempurnalah keimanan mereka. Alangkah jauhnya perbedaan antara generasi ini dan itu. Maka wajib bagi setiap muslim untuk menjadikan kecintaan, kebencian, loyalitas dan permusuhannya sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya. Ia mencintai apa-apa yang Allah dan RasulNya cintai. Ia membenci apa yang Allah dan RasulNya benci. Ia berloyal terhadap siapa-siapa yang Allah dan RasulNya loyal terhadapnya dan ia memusuhi terhadap siapa-siapa yang Allah dan RasulNya musuhi.

 

Adapun sikap terhadap orang-orang yang terdapat pada dirinya kebaikan-kebaikan sehingga ia layak untuk dicintai dan juga terdapat keburukan-keburukan sehingga ia layak untuk dimusuhi sebagaimana orang-orang fasik (dimana mereka berhak untuk mendapatkan ganjaran dan hukuman) maka kecintaan, kebencian, loyalitas dan permusuhan itu disesuaikan dengan kadar kebaikan dan keburukan yang mereka kerjakan.

 

Marilah kita sedikit menengok sejarah para salaf sehingga kita bisa melihat kemuliaan hidup mereka.  Dari Abu Idris Al Khaulani berkata,” Aku masuk ke sebuah masjid di Damaskus. Aku dapatkan seorang pemuda dan manusia berkumpul bersamanya. Apabila mereka berselisih dalam suatu perkara mereka menyerahkan masalah itu kepadanya dan mengambil pendapatnya. Maka akupun bertanya tentangnya. Dikatakan kepadaku,” Ini adalah Muadz bin Jabal.” Keesokan harinya akupun bergegas untuk ke masjid dan ternyata dia telah mendahuluiku. Aku dapatkan dia sedang sholat. Maka akupun menungguinya sampai ia selesai sholat. Lantas akupun mendatanginya. Aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan,” Demi Allah aku mencintaimu karenaNya.” Dia bertanya,” Karena Allah ?” Aku katakan,” Karena Allah !” Ia kembali bertanya,” Karena Allah?” Aku katakan lagi,” Karena Allah !” maka iapun memegang selendangku dan mendekatkanku kepadanya. Ia lalu berkata,” Kabar gembira bagimu. Sungguh Aku telah mendengar Rasulullah bersabda,” Allah berfirman,’ Kecintaanku wajib kuberikan bagi siapa saja yang saling mencintai karenaKu.” 

 

Demikianlah,tatkala tumbuh rasa cinta Abu Idris Al Khaulani kepada Muadz  bin Jabal, iapun segera memberitahukannya.

 

Saling Mencinta Karena Kecintaan Kita Pada Allah Subhanahu Wata’ala

Tidak ada kecintaan yang patut diutamakan oleh makhluk melebihi kecintaannya kepada penciptanya. Barangsiapa yang mencintai Allah, maka Allah akan mencintai dan meridhoinya. Allah pun akan menjadikan manusia ridho kepadanya. Bukhari dan muslim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda,” Apabila Allah mencintai sesorang hamba, jibril akan menyerukan bahwa Allah mencintai fulan dan jibrilpun turut mencintainya. Kemudian jibril menyeru kepada penduduk langit,” Sungguh Allah telah mencintai fulan, maka cintailah dia.” Maka penduduk langitpun mencintainya. Kemudian Allahpun menjadikan hamba tersebut bisa diterima oleh penghuni bumi.” Masyarakat islamiyah tidak akan dapat hidup bahagia kecuali dengan sifat persaudaraan dan kasih sayang yang dibangun hanya karena Allah semata. Rasa cinta karena Allah akan senantiasa terkenang kebaikan dan keutamaan di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini karena ia dibangun diatas keimanan dan aqidah yang benar. Dan hanya orang-orang berimanlah yang saling mencintai karena Allah dengan penuh keikhlasan.

 

Adapun orang-orang pengumbar hawa nafsu dan kesenangan dunia serta pemburu harta, tidaklah mereka berkumpul kecuali jika ada keuntungan  duniawiyah. Oleh karenanya ikatan hubungan merekapun cepat pudar tatkala keuntungan duniawiyah yang mereka harapkan lenyap. Sungguh tidak berbarokah hubungan yang seperti ini. Mengapakah demikian ?

Karena jiwa-jiwa mereka telah tertambat pada materi semata, bukan kepada Allah ta’ala. Manusiapun banyak yang menyangka bahwa orang-orang yang berharta itu tidaklah mereka mendapatkan hartanya kecuali karena usaha, kepandaian dan ambisi mereka. Manusiapun mendekat untuk mencintai mereka lantaran serpihan dunia yang mereka punya. Demikianlah seterusnya. Hingga tatkala harta mereka telah lenyap dan kefakiran nampak pada diri mereka, maka manusiapun tidak lagi mencintainya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

 

Mereka tidak akan mencintai orang-orang sholeh. Karena kecintaan mereka dibangun bukan karena Allah.   Sungguh menarik apa yang disampaikan oleh ibnu Abbas tentang Abdurrahman bin Auf (shahabat Nabi yang kaya-raya namun tetap terjaga kesolehannya). Ibnu Abbas berkata, ”Allah telah menjadikan kecintaan baginya di hati para hamba. Tidaklah seorang mukmin memandangnya kecuali akan menghormat padanya. Dan tidaklah seorang kafir atau munafik melihat padanya kecuali akan mengagungkannya.” (Tafsir Al Qurthubi,Tahqiq Ahmad Abdul ‘Alim 11/161)

 

Bersabarlah dan jagalah ketakwaan, karena Allah telah menjanjikan rasa cinta yang begitu indahnya dihati kaum mukminin dan para malaikat bagi mereka pada hari akhirat.


Sumber:
http://kebunhikmah.wordpress.com/2009/12/23/mencintai-karena-allah/#more-2086
Rujukan :  hasil saduran dan peringkasan terhadap tulisan asli Syaikh Shodiq Al Baidhani di http://baidhani.com/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=133 (http://www.direktori-islam.com/2009/08/sifat-ikhlas-dalam-mencintai/)

Tuesday, November 26, 2013

Dua Makhluk Terbesar

 
Salah satu diantara aqidah (keyakinan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah bahwa makhluk terbesar adalah Arsy (singgasana) Allah -Azza wa Jalla-.Mungkin selama ini ada diantara kita yang menyangka bahwa bahwa makhluk terbesar di dunia adalah bumi dan langit (termasuk bintang-bintang dan gugusan galaksi-galaksi, red). Padahal masih ada yang lebih besar daripada itu semua,
yaitu Al-Kursiy (Kursi) milik Allah -Azza wa Jalla-. 

Wonderful-Landscape-with-Lightning-Nature-Wallpaper-1024x576 
 
Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Artinya, ia lebih besar dibandingkan langit dan bumi. Inilah yang dijelaskan oleh Allah -Azza wa Jalla- dalam firman-Nya, “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah), melainkan Dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah, melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”. (QS. Al-Baqoroh : 255)
 
Kursi adalah tempat kedua kaki Allah -Azza wa Jalla-. Penafsir Ulung, Abdullah bin Abbas -radhiyallahu anhu- berkata, “Kursi adalah tempat kedua kaki[2]. Sedangkan Arsy tidak ada seorang pun yang mampu menentukan besarnya”.[3]. 
Kursi Allah adalah makhluk terbesar setelah Arsy (singgasana) Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits yang shohih dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, beliau bersabda, “Tidaklah langit-langit yang tujuh dibandingkan Kursi, kecuali seperti sebuah mata rantai yang dibuang di tanah yang tandus. Sedang kelebihan Arsy dibandingkan Kursi, seperti kelebihan tanah tandus itu dibandingkan sebuah mata rantai tersebut”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Al-Arsy (no. 58) dan Abusy Syaikh dalam Al-Azhomah (no. 70), Ibnu Baththoh dalam Al-Ibanah (no. 136) dan lainnya. Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam As-Silsilah (1/224/109)]
Ulama Negeri Syam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- berkata usai men-takhrij hadits ini, “Hadits ini keluar sebagai tafsir bagi firman Allah -Ta’ala-,
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi…“.
Hadits ini gamblang dalam menjelaskan kedudukan Kursi sebagai makhluk terbesar setelah Arsy dan bahwa Kursi itu adalah benda yang berdiri sendiri, bukan sesuatu yang yang tidak memiliki wujud.
Di dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang mentakwil Kursi dengan makna “kerajaan dan luasnya kekuasaan” sebagaimana yang tertera pada sebagian kitab-kitab tafsir. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Kursi adalah “ilmu”, maka atsar itu tidak shohih sanadnya kepada beliau. Karena, ia termasuk riwayat Ja’far bin Abil Mugiroh dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas. Atsar itu diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Ibnu Mandah berkata, “Ibnu Abil Mughiroh bukan orang yang kuat pada Ibnu Jubair”. [Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/226)]

Keyakinan Ahlus sunnah wal Jama’ah bahwa Kursi adalah makhluk terbesar setelah Arsy. Inilah pendapat yang benar, bukanlah Kursi itu kekuasaan atau ilmu. Bahkan ia adalah makhluk besar yang memiliki wujud.
Al-Imam Ibnu Abi Zamanain -rahimahullah- berkata, “Diantara pernyataan Ahlus Sunnah, bahwa Kursi berada di depan Arsy dan bahwa ia adalah ia adalah tempat kedua kaki (Allah)”. [Lihat Ushulus Sunnah (hal. 96) karya Ibnu Abi Zamanain, dengan tahqiq Abdullah bin Muhammad Al-Bukhoriy, cet. Maktabah Al-Ghuroba' Al-Atsariyyah, 1415 H ]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata, “Kursi adalah tsabit (benar) berdasarkan Al-Kitab, Sunnah dan ijma’ (kesepakatan) para salaf”. [Lihat Majmu' Al-Fatawa (6/584)]

Al-Imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafiy -rahimahullah- berkata, “Kursi hanyalah –sebagaimana yang dinyatakan oleh para salaf- berada di depan Arsy, laksana tangga menuju Arsy”. [Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah (hal. 277), oleh Ibnu Abil Izz, cet. Al-Maktab Al-Islamiy, 1391 H]
Al-Imam Abu Muhammad Abdul Haqq Ibnu Athiyyah Al-Andalusiy -rahimahullah- berkata, “Yang dituntut (ditetapkan) oleh hadits-hadits bahwa Kursi adalah makhluk yang ada di depan Arsy. Sedang Arsy lebih besar dibandingkan Kursi”. [Lihat Al-Muharror Al-Wajiz (1/336)]
Jadi, Kursi itu termasuk makhluk terbesar. Namun masih ada lagi makhluk yang lebih besar dibandingkan Kursi, yaitu Arsy (singgasana) Allah -Azza wa Jalla-.

Saking besarnya ukuran Arsy, ia dipikul oleh para malaikat yang memiliki postur tubuh yang besar.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman, “Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung (memikul) ‘Arsy Tuhan-mu di atas (kepala) mereka”. (QS. Al-Haaqqoh : 17)
Allah Robbul izzah juga berfirman, “Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala”. (QS. Al-Mukmin : 7)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata usai membawakan dua ayat ini, “Firman Allah ini mengharuskan (menetapkan) bahwa Allah memiliki Arsy yang dipikul dan mengharuskan bahwa Arsy itu bukanlah malaikat sebagaimana yang dinyatakan oleh sekelompok orang-orang Jahmiyyah. Karena, para malaikat adalah kumpulan makhluk. Nah, disini ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah memiliki malaikat-malaikat dari kalangan makhluk-makhluk-Nya yang memikul Arsy-Nya, sedang malaikat-malaikat lainnya berada di sekitarnya; dan juga menunjukkan bahwa Arsy pada hari kiamat akan dipikul oleh delapan malaikat”. [Lihat Bayan Talbis Al-Jahmiyyah fi Ta'sis Bida'ihim Al-Kalamiyyah (1/576) oleh Ibnu Taimiyyah, cet. Mathba'ah Al-Hukumah, 1392 H]

Malaikat pemikul Arsy digambarkan kebesarannya oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di  dalam sebuah hadits. Beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Telah diizinkan bagiku untuk menceritakan tentang seorang malaikat diantara malaikat-malaikat pemikul Arsy. Sesungguhnya apa yang ada diantara dua cuping telinganya sampai ke pundaknya adalah sejauh perjalanan 700 tahun”. [HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya (no. 4727). Hadits ini dinilai shohih oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Takhrij Misykah Al-Mashobih (no. 5728)]
Ini adalah gambaran yang amat menakjubkan. Seorang malaikat pemikul Arsy memiliki postur tubuh yang amat mencengangkan. Jarak antara cupingnya saja dengan bahu sejauh perjalanan 700 tahun. Allahu Akbar, Maha Besar Allah yang telah menciptakannya.

Al-Imam Ath-Thibiy -rahimahullah- berkata, “Yang dimaksudkan dengan “700 tahun” disini adalah menggambarkan banyaknya, bukan untuk pembatasan. Karena, bilangan itu lebih cocok dengan pembicaraan dan lebih memberikan dorongan kepada keadaan. Beliau bersabda, “Telah diizinkan bagiku…”, untuk memberikan faedah bahwa pengetahuan tentang perkara gaib adalah perkara yang khusus bagi Allah -Ta’ala-. Akan tetapi (terkadang) Allah memperlihatkan sebagiannya kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Namun orang yang Allah perlihatkan perkara gaib itu tidak berhak menceritakannya, kecuali dengan izin-Nya”. [Lihat Faidhul Qodir (1/458) karya Al-Munawiy]

Dijelaskan dalam sebagian hadits-hadits bahwa di bawah Arsy (singgasana) Allah -Azza wa Jalla- terdapat air. Inilah yang dikatakan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sabdanya, “Allah telah menulis takdir-taqdir para makhluk 50 ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi”. Beliau bersabda, “Sedang Arsy-Nya di atas air”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (2653) dari Abdullah bin Amer bin Al-Ash -radhiyallahu anhuma-]

Inilah sedikit keterangan tentang dua makhluk terbesar ini. Jika anda mau memperluas pembahasan, silakan kembali kepada Kitabul Arsy yang ditulis oleh Ibnu Abi Syaibah dan Adz-Dzahabiy atau risalah Syaikhul Islam yang berjudul “Ar-Risalah Al-Arsyiyyah”.


Sumber:
Dua Makhluk Terbesar, Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah -hafizhahullah- [Pengasuh Pesantren Al-Ihsan Gowa][1]
[1] Redaktur di http://www.pesantren-alihsan.com
[2] Yakni, kedua kaki Allah -Azza wa Jalla-.
[3] HR. Ad-Darimiy dalam Naqdh Al-Imam Abi Sa’id Utsman bin Sa’id ala Bisy Al-Marisiy Al-Jahmiy Al-Anid (1/423), Ibnu Khuzaimah dalam Kitab At-Tauhid (no. 185), Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah (586 & 1020), Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Al-Arsy (no. 61), Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir(no. 12404), Ath-Thobariy dalam Jami’ Al-Bayan (3/10), Ad-Daruquthniy Ash-Shifat (hal. 30), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2/283), Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (9/251-252) dan Al-Harowiy dalam Al-Arba’in (hal. 125). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Mukhtashor Al-Uluw (hal. 102/no. 36). http://kebunhidayah.wordpress.com/2013/11/25/dua-makhluk-terbesar/ 

Tuesday, November 5, 2013

Tahun Baru Islam 2013, Jadikan 1 Muharram 1435H Ajang Evaluasi Diri

Jika ditinjau dari akar katanya, Muharram bermakna ‘diharamkan’. Pada bulan ini, siapa pun dilarang untuk mengangkat senjata, berperang dengan sesama manusia. Ada pelajaran penting di balik hal tersebut. Bahwa, Muharram dapat dijadikan tonggak sekaligus harapan untuk menyebarkan perdamaian dalam kalangan umat Islam.



Hendaknya, makna tersirat bulan ini dijadikan pula sebagai upaya umat melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih besar. Bukan mengandalkan kepentingan sendiri atau menyudutkan kelompok yang berbeda pemahaman. Sebaliknya, di dalam bulan yang damai, yang harus dipupuk adalah ikatan persaudaraan dengan sesama muslim, entah dari latar belakang dan pemahaman apa pun.

Berbeda dengan tahun baru Masehi yang mungkin oleh segelintir orang digunakan untuk berpesta, tahun baru Islam ada di kutub yang berlawanan. Dalam Islam, yang dipentingkan adalah hidup sederhana, tidak berlebihan, dan senantiasa mengunggulkan Allah dari apa pun, termasuk diri sendiri.
Maka, perayaan tahun baru Islam bukanlah ditandai dengan tiupan terompet atau ledakan petasan. Sebaliknya, ia bagaikan cermin yang merefleksikan seluruh kegiatan kita dalam setahun terakhir. Sudah benarkah jalan yang ditempuh, ataukah kita masih mudah terombang-ambing untuk tidak bersetia kepada Allah.

Adalah tugas seorang muslim untuk menegakkan kebenaran. Tugas kita pula untuk memberantas kejahatan. Namun, dari segala macam ancaman, yang paling berbahaya adalah, ketika kita senantiasa merasa benar dalam segala sesuatu tanpa perlu merasa mengoreksi diri.
Istighfar, merenung, berdialog dengan diri sendiri, adalah cara mujarab untuk senantiasa mengingatkan kita pada ketidakberdayaan; pada pentingnya memulai amar makruf nahiy munkar dari diri sendiri. Tahun baru Islam layak dijadikan sebagai ajang penyucian diri tersebut.

Hendaknya setiap muslim hendaknya menjadikan momen ini sebagai ajang mengevaluasi diri. Tidak hanya itu, setelah evaluasi tersebut, umat juga menyegerakan diri untuk hijrah menuju kebaikan.


Sumber:
http://sidomi.com/233157/tahun-baru-islam-2013-jadikan-1-muharram-1435-h-ajang-evaluasi-diri/

Sunday, October 27, 2013

Belajar Islam Harus Diawali Dengan Belajar Ilmu Tauhid

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri teladan yang baik dalam memberikan jalan keluar bagi semua problem umat Islam di dunia modern sekarang ini pada setiap waktu dan kondisi. Salah satu teladan yang harus kita contoh adalah metode pendidikan agama yang diberikan oleh Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu pertama-tama memperbaiki apa-apa yang telah rusak dari aqidah kaum muslimin. Ini merupakan dakwah tauhid, yaitu mengajak orang lain untuk mengucapkan, menerima dan memahami kalimat tauhid, yaitu Laa Ilaha Illallah. Kemudian berikutnya, yang kedua adalah ibadah mereka. Serta yang ketiga adalah akhlak mereka. 




Ketiga urutan ini bukanlah pemisahan perkara antara satu dengan yang lainnya, tetapi bagaimana kita harus mendahulukan yang paling penting kemudian sebelum hal penting lainnya, dan selanjutnya !.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman. “Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) : “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut”. [An-Nahl : 36].

 

Rasul yang pertama di antara para rasul yang mulia Nuh ‘Alaihis sallam telah mengajak kepada masalah aqidah hampir seribu tahun, dan beliau menghabiskan waktunya bahkan seluruh perhatiannya untuk berda’wah kepada tauhid. Beliau tetap fokus pada dakwah tauhid ini meskipun kaumnya menolak da’wah beliau sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. “Artinya : Dan mereka berkata :’Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”. [Nuh : 23].

 

Ini menunjukkan dengan tegas bahwa sesuatu yang paling penting untuk di prioritaskan untuk kita pelajari adalah ilmu tauhid. Dan ini adalah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan (yang berhak diibadahi) melainkan Allah”. [Muhammad : 19]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda. “Artinya : Hendaknya hal pertama yang engkau serukan kepada mereka adalah pesaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah saja, maka jika mereka mentaatimu dalam hal itu ….. dan seterusnya sampai akhir hadits. [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1395) dan ditempat lainnya, dan Muslim (19), Abu Daud (1584), At-Tirmidzi (625), semuanya dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu]

 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan para shahabatnya untuk memulai dengan apa yang dimulai oleh beliau sendiri yaitu da’wah kepada tauhid.

Kebanyakan umat muslim saat ini mengucapkan kalimat tauhid, Laa Ilaha Illallah, tetapi pada kenyataannya mereka kurang memahami makna kalimat thayyibah ini. Dan perbedaan ini adalah perbedaan yang sangat mendasar dengan orang-orang Arab dahulu dimana mereka itu menyombongkan diri dihadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika datang seruan Nabi pada mereka untuk mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Karena mereka memahami bahwa makna Laa Ilaha Illallah adalah bahwa mereka tidak boleh menjadikan tandingan-tandingan (berhala, benda, urusan atau makhluk lain) disandingkan bersama Allah. Konsekwensi kalimat thayyibah Laa Ilaha Illallah adalah kita harus berlepas diri dari semua perkara-perkara dunia dan kesyirikan, karena bertentangan dengan makna Laa Ilaha Illallah.

 

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Ash-Shaffat : “Artinya : Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka : Laa Ilaha Illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata : ‘Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena kami seorang penyair yang gila ?” [Ash-Shaffat : 35-36]

 

Sedangkan di zaman kini, kebanyakan umat tidak memahami maknanya namun mudah mengucapkannya di lidah. Sungguh ini suatu cara beragama yang jauh dari harapan dan teladan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh, kalimat thayyibah yang ringan di mulut (tapi berat untuk diamalkan) ini akan menjadi salah satu penyelamat yang utama dalam perjalanan kita menuju kampung akhirat. Allahu ‘alam bishawab.


Sumber:
http://kebunhidayah.wordpress.com (dikutip dari sumber as-Sunnah)

Monday, October 14, 2013

Puasa Arafah

Puasa Arafah adalah puasa yang  jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa Arafah dinamakan demikian karena saat itu jamaah haji sedang wukuf di terik matahari di padang Arafah. Puasa Arafah ini dianjurkan bagi mereka yang tidak berhaji. Sedangkan yang berhaji tidak disyariatkan puasa ini.

 

Mengenai hari Arofah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ

Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arofah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka? (HR. Muslim)

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hari Arofah adalah hari pembebasan dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan membebaskan siapa saja yang sedang wukuf di Arofah dan penduduk negeri kaum muslimin yang tidak melaksanakan wukuf. Oleh karena itu, hari setelah hari Arofah –yaitu hari Idul Adha- adalah hari ‘ied bagi kaum muslimin di seluruh dunia. 

Baik yang melaksanakan haji dan yang tidak melaksanakannya sama-sama akan mendapatkan pembebasan dari api neraka dan ampunan pada hari Arofah.” (Lathoif Al Ma’arif, 482)
Mengenai keutamaan puasa Arafah disebutkan dalam hadits Abu Qotadah, 
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى
 قَبْلَهُ

Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim).
Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah adalah di antara jalan untuk mendapatkan pengampunan di hari Arafah. Hanya sehari puasa, bisa mendapatkan pengampunan dosa untuk dua tahun. Luar biasa fadhilahnya ...

Hari Arafah pun merupakan waktu mustajabnya do’a sebagaimana disebutkan dalam hadits,

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ 
قَدِيرٌ

Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)”.” (HR. Tirmidzi, hasan)

Insya Allah hari Arafah di tahun ini akan jatuh pada hari senin tanggal 14 Oktober 2013.. Semoga kita termasuk orang yang dimudahkan oleh Allah untuk melakukan puasa tersebut dan meraih keutamaan di dalamnya.
 
   
Sumber: 
http://remajaislam.com/islam-dasar/amalan/131-keutamaan-puasa-arafah.html
 

7 Hikmah dan Keutamaan Qurban 'Idul Adha

Sebentar lagi kita akan kedatangan tamu istimewa, 
Hari Raya ‘Idul Adha, dimana di hari itu dan hari tasyrik dilakukan penyembelihan hewan qurba. 

7 Hikmah dan Keutamaan Qurban 'Idul Adha

Jika Anda belum memutuskan untuk berkurban tahun ini, 
ada baiknya Anda menyimak hikmah dan keutamaan qurban pada hari-hari tersebut:

1. Kebaikan dari setiap helai bulu hewan kurban
Dari Zaid ibn Arqam, ia berkata atau mereka berkata: “Wahai Rasulullah SAW, apakah qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Qurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim.” Mereka menjawab: “Apa keutamaan yang kami akan peroleh dengan qurban itu?” Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai rambutnya adalah satu kebaikan.”Mereka menjawab: “Kalau bulu-bulunya?”Rasulullah menjawab: “Setiap satu helai bulunya juga satu kebaikan.” [HR. Ahmad dan ibn Majah]

2. Berkurban adalah ciri keislaman seseorang
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang mendapati dirinya dalam keadaan lapang, lalu ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat Ied kami.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]

3. Ibadah kurban adalah salah satu ibadah yang paling disukai oleh Allah

Dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada amalan anak cucu Adam pada hari raya qurban yang lebih disukai Allah melebihi dari mengucurkan darah (menyembelih hewan qurban), sesungguhnya pada hari kiamat nanti hewan-hewan tersebut akan datang lengkap dengan tanduk-tanduknya, kuku-kukunya, dan bulu- bulunya. Sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah –sebagai qurban– di manapun hewan itu disembelih sebelum darahnya sampai ke tanah, maka ikhlaskanlah menyembelihnya.” [HR. Ibn Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi menyatakan: Hadits ini adalah hasan gharib]

4. Berkurban membawa misi kepedulian pada sesama, menggembirakan kaum dhuafa
“Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah” [HR. Muslim]

5. Berkurban adalah ibadah yang paling utama
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah.” [Qur’an Surat Al Kautsar : 2]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ra sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa (16/531-532) ketika menafsirkan ayat kedua surat Al-Kautsar menguraikan : “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan beliau untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini yaitu shalat dan menyembelih qurban yang menunjukkan sikap taqarrub, tawadhu’, merasa butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, husnuzhan, keyakinan yang kuat dan ketenangan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji, perintah, serta keutamaan-Nya.”
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurban), hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” [Qur’an Surat Al An’am : 162]
Beliau juga menegaskan: “Ibadah harta benda yang paling mulia adalah menyembelih qurban, sedangkan ibadah badan yang paling utama adalah shalat…”

6. Berkurban adalah sebagian dari syiar agama Islam
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)” [Qur’an Surat Al Hajj : 34]

7. Mengenang ujian kecintaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” [Qur’an Surat Ash Shaffat : 102 - 107]


Sumber: 
http://www.fimadani.com/7-hikmah-dan-keutamaan-qurban-idul-adha/
 
 

Wednesday, October 9, 2013

Kesempurnaan Agama Islam

Islam adalah satu-satunya agama yang dipilih oleh Allah Ta’ala sebagaimana firman-Nya,
  “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam” (Ali Imran : 19). 

Merupakan kebenaran mutlak yang datang dari Allah Ta’ala dan tidak ada kebenaran selain Islam, maka siapa yang menginginkan selain Islam berarti dia memilih kebathilan dan dalam keadaan merugi.

 


Allah Ta’ala berfirman : “Apakah selain agama Allah (Islam) yang mereka inginkan, padahal hanya kepada Allah-lah berserah diri segala apa yang ada di langit dan di bumi baik dengan tunduk (taat) maupun dipaksa dan hanya kepada-Nya mereka dikembalikan.” (Ali Imran : 83)


“Dan siapa yang menginginkan selain Islam sebagai agamanya maka tidak akan diterima darinya agama tersebut dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran : 85).

 


Agama yang haq ini telah disempurnakan oleh Allah Ta’ala dalam segala segi, segala yang dibutuhkan hamba untuk kehidupan dunia dan akhiratnya telah dijelaskan, sehingga tidak luput satu percakapan melainkan Islam telah mengaturnya.


Allah Ta’ala berfirman : “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah kusempurnakan nikmat-Ku bagi kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (Al Maidah : 3)

 


Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya berkata : “Ini merupakan nikmat Allah yang terbesar bagi ummat ini, dimana Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka sehingga mereka tidak butuh kepada selain agama Islam dan tidak butuh kepada Nabi selain Nabi mereka shalawatullahi wasalaamu alaihi. Karena itulah Allah menjadikan Nabi ummat ini (Muhammad shallallahu alahi wasallam, pent.) sebagai penutup para Nabi dan Allah mengutusnya untuk kalangan manusia dan jin, maka tidak ada perkara yang haram kecuali apa yang dia haramkan, dan tidak ada agama kecuali apa yang dia syariatkan. Segala sesuatu yang dia kabarkan adalah kebenaran dan kejujuran tidak ada kedustaan padanya dan tidak ada penyuluhan.” (Tafsir Al Quranul Adzim 3/14. Dar Al Ma’rifat).

 


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai utusan Allah Ta’ala kepada ummat ini telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah dari Allah dengan sempurna. Maka tidaklah beliau shallallahu alaihi wasallam wafat melainkan beliau telah menjelaskan kepada ummatnya seluruh apa yang mereka butuhkan.


Dengan kesempurnaan yang dimiliki, syariat Islam tidak lagi memerlukan penambahan, pengurangan, ataupun perubahan, atau lebih simpelnya hal-hal ini diistilahkan bid’ah dalam agama yang telah diperingatkan dengan keras oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau : “Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah ucapan Allah dan sebaik-baik ajaran adalah ajaran Rasulullah. Dan sesungguhnya sejelek-jelek perkara adalah sesuatu yang diada-adakan (dalam agama), karena sesungguhnya sesuatu yang baru diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)

 


Mengapa Bid’ah Dan Pembuatnya Dikatakan Sesat ?


Karena, pertama, bisa jadi pembuat bid’ah itu menganggap ajaran agama ini belum sempurna hingga perlu penyempurnaan dari hasil pemikiran manusia. Dengan anggapan demikian berarti ia mendustakan firman Allah Ta’ala yang memberikan kesempurnaan agama ini. (Catatan redaksi : Bid’ah yang dilarang dalam pengertian ini adalah bid’ah dalam perkara agama, artinya segala hal yang diada-adakan dalam cara beragama dan beribadah. Jadi disini jelas tidak termasuk pengertian perkara baru dalam bidang lain yang tidak dilarang seperti perkara sosial, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sejenisnya)

 


Kedua, bisa jadi ia menganggap agama ini telah sempurna, namun ada perkara yang belum disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang berarti ia menuduh beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah berkhianat dalam penyampaian risalah. Padahal para shahabat seperti Abu Dzar radliyallahu anhu mempersaksikan : “Rasulullah meninggalkan kami dalam keadaan tidak ada seekor burung pun yang mengepak-ngepakkan kedua sayapnya di udara kecuali beliau menyebutkan ilmunya pada kami.”

 


Abu Dzar kemudian berkata :  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Tidaklah tertinggal sesuatu yang dapat mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka kecuali telah diterangkan pada kalian.”  (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir, lihat As Shahihah karya Syaikh Albani rahimahullah 4/416 dan hadits ini memiliki pendukung dari riwayat lain).


Imam Malik rahimahullah berkata : Barangsiapa yang mengada-adakan dalam Islam sesuatu kebid’ahan dan menganggapnya baik berarti ia telah menuduh Rasulullah telah berkhianat dalam menyampaikan risalah.


Karena Allah telah berfirman :Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Maka apa yang waktu itu (pada masa Rasulullah dan para shahabat beliau) bukan bagian dari agama, (maka) pada hari ini pun bukan bagian dari agama.” (Lihat Al I’tisham oleh Imam Syathibi halaman 37)

 


Ketiga, bisa jadi pembuat bid’ah itu menganggap dirinya lebih berilmu dibanding Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga dia tahu ada amalan baik yang tidak diketahui dan tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan dalam banyak haditsnya jalan keluar dari kebid’ahan jauh sebelum terjadinya bid’ah. Beliau bersabda :Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalau kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Hakim dan dishahihkan dalam Shahihul Jami’ oleh Syaikh Albani rahimahullah)

 


Beliau juga menasehatkan : “Aku wasiatkan kepada kalian untuk takwa kepada Allah Azza wa Jalla, taat dan mendengar sekalipun kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya karena siapa saja diantara kalian yang hidup sepeninggalku niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka (ketika itu) wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah dengan gigi gerahammu dan hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru karena setiap yang bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)

 


Satu-satunya jalan menyelamatkan diri dari bid’ah adalah berpegang teguh pada dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam serta Petunjuk Salafus Shalih, pemahaman mereka, manhaj mereka, dan pengamalan mereka terhadap dua wahyu, karena mereka adalah orang yang paling besar cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya, paling kuat ittiba’-nya, paling dalam ilmunya dan paling luas pemahamannya terhadap Al Qur’an dan As Sunnah.

 


Dengan cara ini seorang Muslim akan mampu berpegang teguh dengan agamanya dan bebas dari segala kotoran yang mencemari dan jauh dari semua kebid’ahan yang menyesatkan. Dan jalan ini mudah bagi yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam bishawwab.

 

Sumber:
Diringkas dari tulisan Al Ustadz Muslim Abu Ishaq - murid Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi'y rahimahullah, Yaman, selengkapnya bisa dibaca di http://darussunnah.or.id/artikel-islam/akidah/kesempurnaan-agama-islam/ dan http://kebunhidayah.wordpress.com


Kemerdekaan Menurut Islam

Salah satu hak setiap bangsa, golongan, masyarakat atau pribadi yaitu hak mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Lalu, ba...