Friday, December 27, 2013

Arti Rasa Takut Kepada Allah

Takut adalah Ibadah

Dalam agama, rasa takut termasuk salah satu bentuk ibadah hati, bahkan memiliki kedudukan yang agung dan mulia. Takut adalah salah satu dari rukun ibadah dan merupakan syarat iman, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala : “Sesungguhnya mereka itu tidak lain adalah setan dengan kawan-kawannya yang menakut-nakuti (kamu), karena itu janganlah kalian takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175)


“Maka janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (Al-Maidah: 44).

 

  


Dari kedua ayat di atas dan ayat-ayat yang lain maka sungguh sangat jelas bahwa takut itu termasuk dari ibadah, bahkan ibadah yang paling mulia. Dan Allah tidak akan memerintahkan melainkan untuk suatu kemuliaan. Allah subhanahu wa ta’ala  juga memberitahukan kepada kita tentang tipu daya setan dan ketakutan palsu yang mereka tanamkan. Allah subhanahu wa ta’ala telah melarang kita untuk takut kepada setan tersebut. Maka ayat tersebut (Ali Imran: 175) menunjukkan bahwa keikhlasan untuk memiliki rasa takut kepada Allah termasuk syarat iman.

 


Dalil Mengenai Rasa Takut


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:


“Mereka (malaikat) takut kepada Rabb mereka dan melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (An-Nahl: 50). “Orang-orang yang menyampaikan risalah Allah mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seorang pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.” (Al-Ahzab: 39).


“Maka janganlah kalian takut kepada mereka dan takutlah kalian kepada-Ku.” (Al-Baqarah: 150).


Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menjelaskan tentang takut. Adapun dari Sunnah Rasulullah, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Tujuh golongan orang yang akan mendapatkan perlindungan pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan dari Allah, di antaranya seorang hamba yang “diajak” oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, dan dia (menolak dengan) mengatakan: ‘Aku takut kepada Allah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.629 dan Muslim no. 1031 dari hadits Abu Hurairah)


 


Syaddad bin Aus radiallahuanhu berkata: telah berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa Allah subhanahu wa ta’ala  berfirman:


“Demi kemuliaan dan keagunganku, aku tidak akan menghimpun pada diri hamba-hamba-Ku dua rasa aman dan dua rasa takut. Jika dia merasa aman dari-Ku di dunia, maka Aku akan beri rasa takut pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku (hari akhirat). Dan jika dia takut kepada-Ku di dunia maka Aku akan berikan rasa aman pada hari Aku menghimpun hamba-hamba-Ku (hari akhirat). ” (HR. Abu Nu’aim dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 742)


 


Macam-macam Takut


Para ulama telah membagi jenis takut menjadi beberapa bagian, di antara mereka ada yang membagi lima, empat, dan ada yang membagi menjadi tiga, yaitu:


Pertama, takut ibadah.


Yaitu takut yang diiringi dengan penghinaan diri, pengagungan, dan ketundukan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

 


Kedua, takut syirik.


Takut syirik yaitu memberikan takut ibadah kepada selain Allah. Barang siapa yang memberikannya kepada selain Allah maka dia telah melakukan kesyirikan yang besar, seperti takut kepada orang mati, takut kepada dukun-dukun, takut kepada wali-wali yang dianggap bisa memberikan manfaat dan mudharat, dsb. Perbuatan ini akan mengekalkan pelakunya di dalam neraka, mengeluarkannya dari Islam, dan menghalalkan darah dan hartanya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Janganlah kalian takut kepada manusia dan takutlah kalian kepada-Ku.” (Al-Maidah: 44)

 


Ketiga, takut tabiat.


Ketiga, takut tabiat. Yaitu takut kepada hal-hal yang bisa membahayakan jiwa seseorang, seperti takut kepada musuh, binatang buas, api, dan sebagainya. Takut jenis ini dibolehkan selama tidak melampaui batas. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menceritakan kisah Nabi Musa alaihisallam:


“Dia keluar dari negerinya dalam keadaan takut yang sangat.” (Al-Qashash: 21). Pertanyaannya, bagaimana hukumnya takut kepada selain Allah? Jawabannya harus dirinci. Bila takut kepada selain Allah menyebabkan sampai menghinakan diri di hadapannya maka termasuk syirik. Jika ketakutannya itu menyebabkan ia melakukan yang diharamkan dan meninggalkan kewajiban maka takut ini termasuk maksiat dan berdosa. Jika takutnya adalah takut tabiat seperti takut kepada air deras yang bisa menghanyutkan dirinya, hartanya, atau anaknya, maka takut yang demikian itu adalah boleh.
 


Wallahu a’lam.

 

Sumber: 
Merujuk pada tulisan (diringkas dari sumber aslinya)  : Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi
http://kebunhikmah.wordpress.com/2009/11/02/takutlah-kepada-allah/
 
 

Wednesday, December 25, 2013

Arti Cinta Kepada Allah

Hakikat Cinta

Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.

 

Macam-macam cinta:

Pertama, cinta ibadah.


Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, sesuai dalil Qur’an dan Sunnah.

 

Kedua, cinta syirik.

Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

 

Ketiga, cinta maksiat.

Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala  berfirman:

“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)

 

Keempat, cinta tabiat.

Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8 )

 

Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik. (Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 114)

 

Cinta kepada Allah

Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka: “Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)

Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam, faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam maka kecintaan Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.” Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah.

 

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radiyallahu anhu : “Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)

 

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:

Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.

Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.

Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.

Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.

Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.

Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.

Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun ke langit dunia (qiyamul lail/tahajud, red).

Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.

Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)

 

Cinta adalah Ibadah

Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)

 “Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)

Adapun dalil dari hadits Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam adalah hadits Anas yang telah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

 

Buah cinta

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di  menyatakan: “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)

 

Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.

Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.

Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.

Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.

 

Wallahu a’lam.

 

Sumber:

Referensi  :  bersumber dari tulisan Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi (dengan peringkasan)

http://kebunhikmah.wordpress.com/2009/10/27/arti-cinta 

 

 

Tuesday, December 24, 2013

Mencintai Karena Allah

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  “Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.” [HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.] 

Hadits ini menunjukkan bahwa keimanan itu memiliki rasa manis yang dapat dirasakan oleh orang yang hatinya tenang dalam keimanan sebagaimana orang dapat merasakan lezatnya makanan. Bahkan iman itu lebih lezat dan lebih baik, karena ia adalah santapan khusus untuk ruh. Adapun makanan hanyalah untuk jasad yang fana (bersifat sementara).

 


Merindukan Manisnya Iman

Barangsiapa yang melakukan dosa maka akan dicabut lezatnya ketaatan dan kedekatan dengan Allah. Iapun akan terjerumus kedalam kenistaan. Apabila ia memperbaiki diri, maka ia merasa rindu untuk kembali merasakan nikmatnya kondisi sebelumnya. Ia pun akan merendahkan diri dan memohon kepada Rabbnya supaya mengembalikannya pada kebiasaannya dalam berbuat baik. Namun apabila ia terus menerus dan tidak kembali dan mengalami kesulitan untuk kembali seperti semula maka jiwanya akan semakin merasakan kerinduan yang besar. Oleh karenanya apabila seseorang telah merasakan manisnya iman dan telah menyatu dalam hatinya maka akan semakin kokoh cintanya. Iapun tidak akan pernah mengutamakan yang lainnya diatas kecintaannya kepada Allah.

 

Dalam hadits Abu Hurairah dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, sesungguhnya Allah bertanya kepada para malaikat,”  Apa yang diminta oleh para hambaku?” Para malaikat menjawab,” Mereka meminta kepadamu Syurga.” Allah bertanya,”Apakah mereka telah melihatnya?” para malaikat menjawab,”Belum wahai  Rabb.”  Allah bertanya,” Bagaimana seandainya mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab,” Seandainya melihatnya, mereka akan memintanya dengan sangat.” (Bukhari No.6045). Tidaklah semua itu terjadi kecuali karena mereka telah merasakan manisnya iman di hati mereka. Demikian pula mereka yang mencintai dan membenci hanya karena Allah.

 

Mencintai Apa Yang Allah Cintai dan Membenci Apa Yang Allah Benci

Sementara itu pada waktu yang sama, Allah mengharamkan manisnya iman dari segolongan manusia yang menjadikan kecintaannya hanya karena syahwat dan kesenangan duniawi. Mereka tidak mengikuti jalan para pendahulu mereka yang shaleh yang mencintai, membenci, memberi dan menahan pemberian hanya karena Allah semata sehingga sempurnalah keimanan mereka. Alangkah jauhnya perbedaan antara generasi ini dan itu. Maka wajib bagi setiap muslim untuk menjadikan kecintaan, kebencian, loyalitas dan permusuhannya sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya. Ia mencintai apa-apa yang Allah dan RasulNya cintai. Ia membenci apa yang Allah dan RasulNya benci. Ia berloyal terhadap siapa-siapa yang Allah dan RasulNya loyal terhadapnya dan ia memusuhi terhadap siapa-siapa yang Allah dan RasulNya musuhi.

 

Adapun sikap terhadap orang-orang yang terdapat pada dirinya kebaikan-kebaikan sehingga ia layak untuk dicintai dan juga terdapat keburukan-keburukan sehingga ia layak untuk dimusuhi sebagaimana orang-orang fasik (dimana mereka berhak untuk mendapatkan ganjaran dan hukuman) maka kecintaan, kebencian, loyalitas dan permusuhan itu disesuaikan dengan kadar kebaikan dan keburukan yang mereka kerjakan.

 

Marilah kita sedikit menengok sejarah para salaf sehingga kita bisa melihat kemuliaan hidup mereka.  Dari Abu Idris Al Khaulani berkata,” Aku masuk ke sebuah masjid di Damaskus. Aku dapatkan seorang pemuda dan manusia berkumpul bersamanya. Apabila mereka berselisih dalam suatu perkara mereka menyerahkan masalah itu kepadanya dan mengambil pendapatnya. Maka akupun bertanya tentangnya. Dikatakan kepadaku,” Ini adalah Muadz bin Jabal.” Keesokan harinya akupun bergegas untuk ke masjid dan ternyata dia telah mendahuluiku. Aku dapatkan dia sedang sholat. Maka akupun menungguinya sampai ia selesai sholat. Lantas akupun mendatanginya. Aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan,” Demi Allah aku mencintaimu karenaNya.” Dia bertanya,” Karena Allah ?” Aku katakan,” Karena Allah !” Ia kembali bertanya,” Karena Allah?” Aku katakan lagi,” Karena Allah !” maka iapun memegang selendangku dan mendekatkanku kepadanya. Ia lalu berkata,” Kabar gembira bagimu. Sungguh Aku telah mendengar Rasulullah bersabda,” Allah berfirman,’ Kecintaanku wajib kuberikan bagi siapa saja yang saling mencintai karenaKu.” 

 

Demikianlah,tatkala tumbuh rasa cinta Abu Idris Al Khaulani kepada Muadz  bin Jabal, iapun segera memberitahukannya.

 

Saling Mencinta Karena Kecintaan Kita Pada Allah Subhanahu Wata’ala

Tidak ada kecintaan yang patut diutamakan oleh makhluk melebihi kecintaannya kepada penciptanya. Barangsiapa yang mencintai Allah, maka Allah akan mencintai dan meridhoinya. Allah pun akan menjadikan manusia ridho kepadanya. Bukhari dan muslim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda,” Apabila Allah mencintai sesorang hamba, jibril akan menyerukan bahwa Allah mencintai fulan dan jibrilpun turut mencintainya. Kemudian jibril menyeru kepada penduduk langit,” Sungguh Allah telah mencintai fulan, maka cintailah dia.” Maka penduduk langitpun mencintainya. Kemudian Allahpun menjadikan hamba tersebut bisa diterima oleh penghuni bumi.” Masyarakat islamiyah tidak akan dapat hidup bahagia kecuali dengan sifat persaudaraan dan kasih sayang yang dibangun hanya karena Allah semata. Rasa cinta karena Allah akan senantiasa terkenang kebaikan dan keutamaan di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini karena ia dibangun diatas keimanan dan aqidah yang benar. Dan hanya orang-orang berimanlah yang saling mencintai karena Allah dengan penuh keikhlasan.

 

Adapun orang-orang pengumbar hawa nafsu dan kesenangan dunia serta pemburu harta, tidaklah mereka berkumpul kecuali jika ada keuntungan  duniawiyah. Oleh karenanya ikatan hubungan merekapun cepat pudar tatkala keuntungan duniawiyah yang mereka harapkan lenyap. Sungguh tidak berbarokah hubungan yang seperti ini. Mengapakah demikian ?

Karena jiwa-jiwa mereka telah tertambat pada materi semata, bukan kepada Allah ta’ala. Manusiapun banyak yang menyangka bahwa orang-orang yang berharta itu tidaklah mereka mendapatkan hartanya kecuali karena usaha, kepandaian dan ambisi mereka. Manusiapun mendekat untuk mencintai mereka lantaran serpihan dunia yang mereka punya. Demikianlah seterusnya. Hingga tatkala harta mereka telah lenyap dan kefakiran nampak pada diri mereka, maka manusiapun tidak lagi mencintainya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

 

Mereka tidak akan mencintai orang-orang sholeh. Karena kecintaan mereka dibangun bukan karena Allah.   Sungguh menarik apa yang disampaikan oleh ibnu Abbas tentang Abdurrahman bin Auf (shahabat Nabi yang kaya-raya namun tetap terjaga kesolehannya). Ibnu Abbas berkata, ”Allah telah menjadikan kecintaan baginya di hati para hamba. Tidaklah seorang mukmin memandangnya kecuali akan menghormat padanya. Dan tidaklah seorang kafir atau munafik melihat padanya kecuali akan mengagungkannya.” (Tafsir Al Qurthubi,Tahqiq Ahmad Abdul ‘Alim 11/161)

 

Bersabarlah dan jagalah ketakwaan, karena Allah telah menjanjikan rasa cinta yang begitu indahnya dihati kaum mukminin dan para malaikat bagi mereka pada hari akhirat.


Sumber:
http://kebunhikmah.wordpress.com/2009/12/23/mencintai-karena-allah/#more-2086
Rujukan :  hasil saduran dan peringkasan terhadap tulisan asli Syaikh Shodiq Al Baidhani di http://baidhani.com/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=133 (http://www.direktori-islam.com/2009/08/sifat-ikhlas-dalam-mencintai/)

Kemerdekaan Menurut Islam

Salah satu hak setiap bangsa, golongan, masyarakat atau pribadi yaitu hak mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Lalu, ba...