Sunday, April 28, 2013

Orang Beriman Tercipta Dengan Penuh Cobaan

Terdapat riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Sesungguhnya seorang mukmin tercipta dalam keadaan Mufattan (penuh cobaan) , Tawwab (senang bertaubat) , dan Nassaa’ (suka lupa), (tetapi) apabila diingatkan ia segera ingat”. (Silsilah Hadits Shahih No. 2276).

Hadist ini merupakan hadits yang menjelaskan sifat-sifat orang mukmin, sifat-sifat yang senantiasa lengket dan menyatu dengan diri mereka, tiada pernah lepas hingga seolah-olah pakaian yang selalu menempel pada tubuh mereka dan tidak pernah terjauhkan dari mereka.

 

 

1. Mufattan (penuh cobaan)

Artinya : Orang yang diuji (diberi cobaan) dan banyak ditimpa fitnah. Maksudnya : (orang mukmin) adalah orang yang waktu demi waktu selalu diuji oleh Allah dengan balaa’ (bencana) dan dosa-dosa. (Faid-Qadir 5/491).

Dalam hal ini fitnah (cobaan) itu akan meningkatkan keimanannya, memperkuat keyakinannya dan akan mendorong semangatnya untuk terus menerus berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebab dengan kelemahan dirinya, ia menjadi tahu betapa Maha Kuat dan Maha Perkasanya Allah, Rabb-nya.

 

Menurut sebuah riwayat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Perumpamaan orang mukmin ibarat sebatang pohon yang lentur diombang-ambing angin, kadang hembusan angin merobohkannya, dan kadang-kadang meluruskannya kembali. Demikianlah keadaannya sampai ajalnya datang. Sedangkan perumpamaan seorang munafik, ibarat sebatang pokok yang kaku, tidak bergeming oleh terpaan apapun hingga (ketika) tumbang, tumbangnya sekaligus”.
(Bukhari : Kitab Al-Mardha, Bab I, Hadist No. 5643, Muslim No. 7023, 7024, 7025, 7026, 7027).

Ya, demikianlah sifat seorang mukmin dengan keimanannya yang benar, dengan tauhidnya yang bersih dan dengan sikap iltizam (komitment)nya yang sungguh-sungguh.

 

2. Tawaab Nasiyy (senang bertaubat)

“Artinya : Orang yang bertaubat kemudian lupa, kemudian ingat, kemudian bertaubat”. (Faid-Al Qadir 5/491).

Seorang mukmin dengan taubatnya, berarti telah mewujudkan makna salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu sifat yang terkandung dalam nama-Nya : Al-Ghaffar (Dzat yang Maha Pengampun). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Artinya : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar”. (Thaha : 82).

 

3. Nassaa’ – Apabila Diingatkan, Ia Segera Ingat.

Bila diingatkan tentang ketaatan, ia segera bergegas melompat kepadanya, bila diingatkan tentang kemaksiatan, ia segera bertaubat daripadanya, bila diingatkan tentang kebenaran, ia segera melaksanakannya, dan bila diingatkan tentang kesalahan ia segera menjauhi dan meninggalkannya.

Ia tidak sombong, tidak besar kepala, tidak congkak dan tidak tinggi hati, tetapi ia rendah hati kepada saudara-saudaranya, lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya dan ramah tamah kepada teman-temannya, sebab ia tahu inilah jalan Ahlul Haq (pengikut kebenaran) dan jalannya kaum mukminin yang shalihin.

Terhadap dirinya sendiri ia berbatin jujur serta berpenampilan luhur, sedangkan terhadap orang lain ia berperasaan lembut dan berahlak mulia, bersuri tauladan kepada insan teladan paling sempurna yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diberi wasiat oleh Rabb-nya dengan firman-Nya :

“Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka …..”. (Ali Imran : 159).

Inilah sifat seorang mukmin. Ini pula jalan hidup serta manhaj perilakunya.

 

Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com

Sumber:
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdulhamid Al-Halaby . Tulisan ini diterjemahkan dari Majalah Al-Ashalah edisi 15, 16 th III -15 Dzul Qa’dah 1415H, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 07/th III/1419-1998. http://kebunhidayah.wordpress.com/2009/05/23/orang-beriman-tercipta-dengan-penuh-cobaan/


Wednesday, April 24, 2013

Kisah Muallaf Hj. Irena Handono

Namaku Irene Handono. Aku dibesarkan dalam keluarga yang rilegius. Ayah dan ibuku merupakan pemeluk Katholik yang taat. Sejak bayi aku sudah dibaptis, dan sekolah seperti anak-anak lain. Aku juga mengikuti kursus agama secara privat. Ketika remaja aku aktif di Organisasi gereja.


 

Sejak masa kanak-kanak, aku sudah termotivasi untuk masuk biara. Bagi orang Katholik, hidup membiara adalah hidup yang paling mulia, karena pengabdian total seluruh hidupnya hanya kepada Tuhan. Semakin aku besar, keinginan itu sedemikian kuatnya, sehingga menjadi biarawati adalah tujuan satu-satunya dalam hidupku.


Kehidupanku nyaris sempurna, aku terlahir dari keluarga yang kaya raya, kalau diukur dari materi. Rumahku luasnya 1000 meter persegi. Bayangkan, betapa besarnya. Kami berasal dari etnis Tionghoa. Ayaku adalah seorang pengusaha terkenal di Surabaya, beliau merupakan salah satu donator terbesar gereja di Indonesia. Aku anak kelima dan perempuan satu-satunya dari lima bersaudara.

Aku amat bersyukur karena dianugrahi banyak kelebihan. Selain materi, kecerdasanku cukup lumayan. Prestasi akademikku selalu memuaskan. Aku pernah terpilih sebagai ketua termuda pada salah satu organisasi gereja. Ketika remaja aku layaknya remaja pada umumnya, punya banyak teman, aku dicintai oleh mereka, bahkan aku menjadi faforit bagi kawan-kawanku.


Intinya, masa mudaku kuhabiskan dengan penuh kesan, bermakna, dan indah. Namun demikian aku tidak larut dalam semaraknya pergaulan muda-mudi, walalupun semua fasilitas untuk hura-hura bahkan foya-foya ada. Keinginan untuk menjadi biarawati tetap kuat. Ketika aku lulus SMU, aku memutuskan untuk mengikuti panggilan Tuhan itu.

Tentu saja orang tuaku terkejut. Berat bagi mereka untuk membiarkan anak gadisnya hidup terpisah dengan mereka. Sebagai pemeluk Katholik yang taat, mereka akhirnya mengikhlaskannya. Sebaliknya dengan kakak-kakaku, mereka justru bangga punya adik yang masuk biarawati.

 

Tidak ada kesulitan ketika aku melangkah ke biara, justru kemudahan yang kurasakan. Dari banyak biarawati, hanya ada dua orang biara yang diberi tugas ganda. Yaitu kuliah di biara dan kuliah di Instituit Filsafat Teologia, seperti seminari yang merupakan pendidikan akhir pastur. Salah satu dari biarawati yang diberi keistimewaan itu adalah saya.

Dalam usia 19 tahun Aku harus menekuni dua pendidikan sekaligus, yaknip endidikan di biara, dan di seminari, dimana aku mengambil Fakultas Comparative Religion, Jurusan Islamologi.


 Di tempat inilah untuk pertama kali aku mengenal Islam. Di awal kuliah, dosen memberi pengantar bahwa agama yang terbaik adalah agama kami sedangkan agama lain itu tidak baik. Beliau mengatakan, Islam itu jelek. Di Indonesia yang melarat itu siapa?, Yang bodoh siapa? Yang kumuh siapa? Yang tinggal di bantaran sungai siapa? Yang kehilangan sandal setiap hari jumat siapa? Yang berselisih paham tidak bisa bersatu itu siapa? Yang jadi teroris siapa? Semua menunjuk pada Islam. Jadi Islam itu jelek.

Aku mengatakan kesimpulan itu perlu diuji, kita lihat negara-negara lain, Philiphina, Meksiko, Itali, Irlandia, negara-negara yang mayoritas kristiani itu tak kalah amburadulnya. Aku juga mencontohkan negara-negara penjajah seperti terbentuknya negara Amerika dan Australia, sampai terbentuknya negara Yahudi Israel itu, mereka dari dulu tidak punya wilayah, lalu merampok negara Palestina.


Jadi tidak terbukti kalau Islam itu symbol keburukan. Aku jadi tertarik mempelajari masalah ini. Solusinya, aku minta ijin kepada pastur untuk mempelajari Islam dari sumbernya sendiri, yaitu al-Qur'an dan Hadits. Usulan itu diterima, tapi dengan catatan, aku harus mencari kelemahan Islam.

Ketika pertama kali memegang kitab suci al-Qur'an, aku bingung. Kitab ini, mana yang depan, mana yang belakang, mana atas mana bawah. Kemudian aku amati bentuk hurufnya, aku semakin bingung. Bentuknya panjang-panjang, bulat-bulat, akhirnya aku ambil jalan pintas, aku harus mempelajari dari terjemah.

Ketika aku pelajari dari terjemahan, karena aku tak mengerti bahwa membaca al-Quran dimulai dari kiri, aku justru terbalik dengan membukanya dari kanan. Yang pertama kali aku pandang, adalah surat Al Ikhlas.

 

Aku membacanya, bagus surat al-Ikhlas ini, pujiku. Suara hatiku membenarkan bahwa Allah itu Ahad, Allah itu satu, Allah tidak beranak, tidak diperanakkan dan tidak sesuatu pun yang menyamai Dia. "Ini 'kok bagus, dan bisa diterima!" pujiku lagi.

Pagi harinya, saat kuliah Teologia, dosen saya mengatakan, bahwa Tuhan itu satu tapi pribadinya tiga, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Putra dan Tuhan Roh Kudus. Tiga Tuhan dalam satu, satu Tuhan dalam tiga, ini yang dinamakan trinitas, atau tritunggal. Malamnya, ada yang mendorong diriku untuk mengaji lagi surat al-Ihklas. "Allahhu ahad, ini yang benar," putusku pada akhirnya.


Maka hari berikutnya terjadi dialog antara saya dan dosen-dosen saya. Aku katakan, "Pastur (Pastur), saya belum paham hakekat Tuhan."

"Yang mana yang Anda belum paham?" tanya Pastur. Dia maju ke papan tulis sambil menggambar segitiga sama sisi, AB=BC=CA. Aku dijelaskan, segitiganya satu, sisinya tiga, berarti tuhan itu satu tapi pribadinya tiga. Tuhan Bapak sama kuasanya dengana Tuhan Putra sama dengan kuasanya Tuhan Roh Kudus. Demikian Pastur menjelaskan.

"Kalau demikian, suatu saat nanti kalau dunia ini sudah moderen, iptek semakin canggih, Tuhan kalau hanya punya tiga pribadi, tidak akan mampu untuk mengelola dunia ini. Harus ada penambahnya menjadi empat pribadi," tanyaku lebih mendalam.

Dosen menjawab, "Tidak bisa!" Aku jawab bisa saja, kemudian aku maju ke papan tulis. Saya gambar bujur sangkar. Kalau dosen saya mengatakan Tuhan itu tiga dengan gambar segitiga sama sisi, sekarang saya gambar bujur sangkar. Dengan demikian, bisa saja saya simpulkan kalau tuhan itu pribadinya empat. Pastur bilang, tidak boleh. Mengapa tidak boleh? Tanya saya semakin tak mengerti.

"Ini dogma, yaitu aturan yang dibuat oleh para pemimpin gereja!" tegas Pastur. Aku katakan, kalau aku belum paham dengan dogma itu bagaimana? "Ya terima saja, telan saja. Kalau Anda ragu-ragu, hukumnya dosa!" tegas Pastur mengakhiri.

Walau pun dijawab demikian, malam hari ada kekuatan yang mendorong saya untuk kembali mempelajari surat al-Ikhlas. Ini terus berkelanjutan, sampai akhirnya aku bertanya kepada Pastur, "Siapa yang membuat mimbar, membuat kursi, meja?" Dia tidak mau jawab.

"Coba Anda jawab!" Pastur balik bertanya. Dia mulai curiga. Aku jawab, itu semua yang buat tukang kayu.

"Lalu kenapa?" tanya Pastur lagi. "Menurut saya, semua barang itu walaupun dibuat setahun lalu, sampai seratus tahun kemudian tetap kayu, tetap meja, tetap kursi. Tidak ada satu pun yang membuat mereka berubah jadi tukang kayu," saya mencoba menjelaskan.

"Apa maksud Anda?" Tanya Pastur penasaran. Aku kemudian memaparkan, bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dan seluas isinya termasuk manusia. Dan manusia yang diciptakan seratus tahun lalu sampai seratus tahun kemudian, sampai kiamat tetap saja manusia, manusia tidak mampu mengubah dirinya menjadi Tuhan, dan Tuhan tidak boleh dipersamakan dengan manusia.


Malamnya, kembali kukaji surat al-Ikhlas. Hari berikutnya, aku bertanya kepada Pastur, "Siapa yang melantik RW?" Saya ditertawakan. Mereka pikir, ini 'kok ada suster yang tidak tahu siapa yang melantik RW?

"Sebetulnya saya tahu," ucapku. "Kalau Anda tahu, mengapa Anda Tanya? Coba jelaskan!" tantang mereka.  "Menurut saya, yang melantik RW itu pasti eselon di atasnya, lurah atau kepala desa. Kalau sampai ada RW dilantik RT jelas pelantikan itu tidak syah."  "Apa maksud Anda?" Mereka semakin tak mengerti.

Saya mencoba menguraikan, "Menurut pendapat saya, Tuhan itu menciptakan alam semesta dan seluruh isinya termasuk manusia. Manusia itu hakekatnya sebagai hamba Tuhan. Maka kalau ada manusia melantik sesama manusia untuk menjadi Tuhan, jelas pelantikan itu tidak syah."


Malam berikutnya, saya kembali mengkaji surat al-Ikhlas. Kembali terjadi dialog-dialog, sampai akhirnya saya bertanya mengenai sejarah gereja.

Menurut semua literratur yang saya pelajari, dan kuliah yang saya terima, Yesus untuk pertama kali disebut dengan sebutan Tuhan, dia dilantik menjadi Tuhan pada tahun 325 Masehi. Jadi, sebelum itu ia belum menjadi Tuhan, dan yang melantiknya sebagai Tuhan adalah Kaisar Constantien kaisar romawi.

Pelantikannya terjadi dalam sebuah conseni (konferensi atau muktamar) di kota Nizea. Untuk pertama kali Yesus berpredikat sebagai Tuhan. Maka silahkan umat kristen di seluruh dunia ini, silahkan mencari cukup satu ayat saja dalam injil, baik Matius, Markus, Lukas, Yohanes, mana ada satu kalimat Yesus yang mengatakan 'Aku Tuhanmu'? Tidak pernah ada.


Mereka kaget sekali dan mengaggap saya sebagai biarawati yang kritis. Dan sampai pada pertemuan berikutnya, dalam al-Quran yang saya pelajari, ternyata saya tidak mampu menemukan kelemahan al-Qur'an. Bahkan, saya yakin tidak ada manusia yang mampu.

Kebiasaan mengkaji al-Qur'an tetap saya teruskan, sampai saya berkesimpulan bahwa agama yang hak itu cuma satu, Islam. Subhanaallah.

Saya mengambil keputusan besar, keluar dari biara. Itu melalui proses berbagai pertimbangan dan perenungan yang dalam, termasuk melalui surat dan ayat. Bahkan, saya sendiri mengenal sosok Maryam yang sesungguhnya dari al-Qur'an surat Maryam. Padahal, dalam doktrin Katholik, Maryam menjadi tempat yang sangat istimewa. Nyaris tidak ada doa tanpa melalui perantaranya. Anehnya, tidak ada Injil Maryam.

Jadi saya keluar dengan keyakinan bahwa Islam agama Allah. Tapi masih panjang, tidak hari itu saya bersyahadat. Enam tahun kemudian aku baru mengucapkan dua kalimah syahadat.


Selama enam tahun, saya bergelut untuk mencari. Saya diterpa dengan berbagai macam persoalan, baik yang sedih, senang, suka dan duka. Sedih, karena saya harus meninggalkan keluarga saya. Reaksi dari orang tua tentu bingung bercampur sedih.

Sekeluarnya dari biara, aku melanjutkan kuliah ke Universitas Atmajaya. Kemudian aku menikah dengan orang Katholik. Harapanku dengan menikah adalah, aku tidak lagi terusik oleh pencarian agama. Aku berpikir, kalau sudah menikah, ya selesai!

Ternyata diskusi itu tetap berjalan, apalagi suamiku adalah aktifis mahasiswa. Begitu pun dengan diriku, kami kerap kali berdiskusi. Setiap kali kami diskusi, selalu berakhir dengan pertengkaran, karena kalau aku mulai bicara tentang Islam, dia menyudutkan. Padahal, aku tidak suka sesuatu dihujat tanpa alasan. Ketika dia menyudutkan, aku akan membelanya, maka jurang pemisah itu semakin membesar, sampai pada klimaksnya.

 

Aku berkesimpulan kehidupan rumah tangga seperti ini, tidak bisa berlanjut, dan tidak mungkin bertahan lama. Aku mulai belajar melalui ustadz. Aku mulai mencari ustadz, karena sebelumnya aku hanya belajar Islam dari buku semua. Alhamdulillah Allah mempertemuka saya dengan ustadz yang bagus, diantaranya adalah Kyai Haji Misbah (alm.). Beliau ketua MUI Jawa Timur periode yang lalu.

Aku beberapa kali berkonsultasi dan mengemukakan niat untuk masuk Islam. Tiga kali ia menjawab dengan jawaban yang sama, "Masuk Islam itu gampang, tapi apakah Anda sudah siap dengan konsekwensinya?"

"Siap!" jawabku. "Apakah Anda tahu konsekwensinya?" tanya beliau. "Pernikahan saya!" tegasku. Aku menyadari keinginanku masuk Islam semakin kuat. "Kenapa dengan dengan perkawinan Anda, mana yang Anda pilih?" Tanya beliau lagi.  "Islam" jawabku tegas.


Akhirnya rahmat Allah datang kepadaku. Aku kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat di depan beliau. Waktu itu tahun 1983, usiaku 26 tahun. Setelah resmi memeluk Islam, aku mengurus perceraianku, karena suamiku tetap pada agamanya. Pernikahanku telah berlangsung selama lima tahun, dan telah dikaruniai tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki. Alhamdulillah, saat mereka telah menjadi muslim dan muslimah.

Setelah aku mengucapkan syahadat, aku tahu persis posisiku sebagai seorang muslimah harus bagaimana. Satu hari sebelum ramadhan tahun dimana aku berikrar, aku langsung melaksanakan shalat.


Pada saat itulah, salah seorang kakak mencari saya. Rumah cukup besar. Banyak kamar terdapat didalamnya. Kakakku berteriak mencariku. Ia kemudian membuka kamarku. Ia terkejut, 'kok ada perempuan shalat? Ia piker ada orang lain yang sedang shalat. Akhirnya ia menutup pintu.

Hari berikutnya, kakakku yang lain kembali mencariku. Ia menyaksikan bahwa yang sedang shalat itu aku. Selesai shalat, aku tidak mau lagi menyembunyikan agama baruku yang selama ini kututupi. Kakakku terkejut luar biasa. Ia tidak menyangka adiknya sendiri yang sedang shalat. Ia tidak bisa bicara, hanya wajahnya seketika merah dan pucat. Sejak saat itulah terjadi keretakan diantara kami.


Agama baruku yang kupilih tak dapat diterima. Akhirnya aku meninggalkan rumah. Aku mengontrak sebuah rumah sederhana di Kota Surabaya. Sebagai anak perempuan satu-satunya, tentu ibuku tak mau kehilangan. Beliau tetap datang menjenguk sesekali. Enam tahun kemudian ibu meninggal dunia. Setelah ibu saya meninggal, tidak ada kontak lagi dengan ayah atau anggota keluarga yang lain sampai sekarang.

Aku bukannya tak mau berdakwah kepada keluargaku, khususnya ibuku. Walaupun ibu tidak senang, ketegangan-ketegangan akhirnya terjadi terus. Islam, baginya identik dengan hal-hal negatif yang saya contohkan di atas. Pendapat ibu sudah terpola, apalagi usia ibu sudah lanjut.


Tahun 1992 aku menunaikan rukun Islam yang kelima. Alhamdulillah aku diberikan rejeki sehingga bisa menunaikan ibadah haji. Selama masuk Islam sampai pergi haji.

Di Masjidil-Haram, aku bersungkur mohon ampun, dilanjutkan dengan sujud syukur. Alhamdulillah aku mendapat petunjuk dengan perjalan hidupku seperti ini. Aku merasakan nikmat iman dan nikmat Islam. Padahal, orang Islam yang sudah Islam tujuh turunan belum tentu mengerti nikmat iman dan Islam.

Islam adalah agama hidayah, agama hak. Islam agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Manusia itu oleh Allah diberi akal, budi, diberi emosi, rasio. Agama Islam adalh agama untuk orang yang berakal, semakin dalam daya analisis kita, insya Allah, Allah akan memberi. Firman Allah, "Apakah sama orang yang tahu dan tidak tahu?"

Sepulang haji, hatiku semakin terbuka dengan Islam, atas kehendak-Nya pula aku kemudian diberi kemudahan dalam belajar agama tauhid ini. Alhamdulillah tidak banyak kesulitan bagiku untuk belajar membaca kitab-kitab.


Allah memberi kekuatan kepadaku untuk bicara dan berdakwah. Aku begitu lancar dan banyak diundang untuk berceramah. Tak hanya di Surabaya, aku kerap kali iundang berdakwah di Jakarta. Begitu banyak yang Allah karuniakan kepadaku, termasuk jodoh, melalui pertemuan yang Islami, aku dilamar seorang ulama. Beliau adalah Masruchin Yusufi, duda lima anak yang isterinya telah meninggal dunia. Kini kami berdua sama-sama aktif berdakwah sampai ke pelosok desa. Terjun di bidang dakwah tantangannya luar biasa. Alhamdulillah, dalam diri ini terus menekankan bahwa hidupku, matiku hanya karena Allah.

 

Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com


Sumber:  <3 -ISLAM FOREVER- <3 (Catatan)
https://www.facebook.com/note.php?note_id=324716940874925


Sunday, April 21, 2013

Kisah Muallaf

Kisah ini di ceritakan sendiri oleh saudara kita Hadi Emanuel Halim (Didot Halim)

 

Image 

Nb: gambar ini adalah Abdullah paco yg mualaf tahun 2012 di masjid Graha Hijau 2 ciputat
 


Ijinkan saya bercerita sedikit tentang perjalanan saya menemukan agama yg mulia ini. Saya dulu beragama Katholik ,sebelum memeluk islam ,di tahun 97 dulu diperkenalkan oleh seorang wanita yg dulu dekat dengan saya.

Saya ingat sewaktu kecil dulu sewaktu SD, saya pernah bertanya kepada seorang guru sekolah minggu saya : Mengapa Tuhan ada 3? Jawaban sang guru adalah “sebagai orang beriman kamu harus percaya saja”

 

Sebenarnya saya tidak puas dengan jawaban itu,kok Tuhan ada 3,tapi pada waktu itu saya masih kecil dan tidak terlalu perduli ,hanya saja saya memang tidak pernah berdoa membayangkan wajah Yesus,dan saya pribadi tidak suka dgn patung2 yg ada di gereja,saya yakin Tuhan tidak seperti itu,tapi Tuhan itu pasti jauh lebih hebat dan diluar kemampuan berpikir saya.

Setelah saya memeluk islam dan mengenal Allah dan sifat2NYA,saya langsung bilang ke diri saya “ini dia Tuhan yg saya cari2,ini Tuhan yg benar, Tuhan tidak bisa saya gambarkan,karena Tuhan diluar nalar saya,siapa saya yg amat kecil ini mampu mengerti rahasia kebesaran Tuhan”

 

Dengan dibenturkan kenyataan bahwa wanita tersebut akhirnya putus hubungan dengan saya ,wanita tsb seorang muslim,berbeda dgn saya kala itu. Setelah kini saya renungi ternyata Allah sedang mengajari saya tentang makna cinta kala itu. Allah sedang mengajarkan saya apa itu cinta,supaya kelak di kemudian hari saya mampu mencintaiNYA juga.

Dulu saya tidak pernah mengerti apa itu memakai rasa,kok bisa orang menangis dengar lagu sedih, karena saya tipikal orang yg selalu pakai logika,menangis rasanya tabu utk seorang laki2,demikian saya diajarkan.

 

Sebelum masuk islam itu saya tidak makan seminggu,kehilangan nafsu makan,turun setidaknya 3 kg dalam seminggu,lalu menangis hampir tiap hari selama sebulan,kadang terbangun dengan jantung berdebar ,sesak rasanya dada ,sakit sekali hati kehilangan.

Waktu itu karena juga hilang nafsu makan saya lakukan puasa mutih yaitu puasa hanya makan nasi dan air putih ,tapi anehnya puasa tersebut malah membuat pikiran jadi lebih logis dan jernih, saya jadi tahu apa yg saya mau dalam hidup.

 

Sejak itu pula saya berjanji tidak mau lagi merasakan kehilangan yg seperti itu,cukuplah sekali itu saja,tapi saya bersyukur bisa memakai perasaan saya utk pertama kalinya,kini saya bisa mengerti mengapa seorang menangis tatkala mendengar musik sedih,ternyata rasa itu indah.

Dulu saya berharap mati namun tidak berani bunuh diri,karena di agama katholik orang yg bunuh diri tidak akan masuk surga,ternyata di islam pun sama saja setelah saya tahu di kemudian hari,untunglah Alhamdulillah. Sempat berpikir cara mati paling enak,apa lompat dari gedung,nabrakin mobil di tol,tapi mikir lagi,kalau belum saatnya mati juga gak akan mati nanti.

 

Dulu saya penyuka babi,dan takut kalau masuk islam tidak bisa lagi makan babi. Sekarang boro2 deh,membayangkannya saja sudah mau muntah. pernah dulu tidak sengaja makan,seminggu kemudian pas tahu masih ingin muntah.

Dulu saya juga jarang ke gereja seminggu sekali,gimana kalau masuk islam sehari 5 kali,seminggu sekali saja saya suka bolos. Dalam diskusi dgn seorang ustadz yg dikenalkan kakak saya ,beliau meyakinkan saya bahwa islam itu mudah, Ibadah dalam islam dilakukan sesuai kemampuan saya saja dulu,nanti baru meningkat perlahan.

 

Ketika saya renungkan saya sebenarnya tertarik islam,tapi tidak berani melangkah,karena takut meninggalkan kebiasaan dan takut tidak mampu menjalankan islam dengan benar. Sebab logika saya mengatakan ,jika semua agama ini benar (Yahudi-Kristen-Islam) ,tentu yg paling sempurna adalah yg paling akhir datang,karena menyempurnakan agama2 yg sebelumnya (ternyata sesuai dgn kata2 dalam alquran)

 

Dalam hati kecil saya mengatakan juga Yesus tidak mungkin Tuhan,sebab Tuhan tidak berdoa,kalau Tuhan berdoa ,berdoa kepada siapa? Tuhan adalah yg mengabulkan doa. Yesus di injil juga berdoa “Eloi… Eloi…. Lama sabakhtani” (Tuhan… Tuhan… Mengapa KAU tinggalkan aku?) ,meskipun akhirnya sekarang saya tahu yg berdoa di kayu salib itu bukanlah Yesus karena beliau telah diangkat Allah ke langit utk turun lagi di akhir jaman.

 

Ada juga  ketakutan saya yg lain yaitu bagaimana jika kemudian nanti saya meninggalkan islam kembali ke agama saya yg lama ,sebab saya tidak mau mempermainkan agama seperti orang lain ,dimana kalau nikah dgn orang islam agamanya jadi islam,kalau nikah dgn orang kristen agamanya jadi kristen. Agama bukanlah pakaian buat saya,agama bukan sesuatu yg diganti sesuai musim atau kebutuhan,tapi agama buat saya adalah tubuh saya,yaitu esensi dibalik pakaian itu sendiri,melekat tanpa bisa diganti2.

Beragama buat saya bukanlah sebuah soal pilihan berganda biasa ,yg kalau salah hanya berkurang nilai ujiannya,tapi sebuah proses pemikiran yg harus dipikirkan dalam-dalam agar tidak menyesal kelak di akhirat.

 

Bagaimana saya mencegah diri saya supaya tidak pindah2 agama lagi setelah masuk islam? Dulu saya berjanji saya pd diri sendiri boleh pindah agama,setelah saya dibunuh dan bisa bangkit lagi dari kematian. Kini jika bisa bangkit dari mati berkali2 pun saya tidak sudi pindah agama manapun ,Islam adalah pilihan satu2nya dan terakhir utk saya.

 

Islam adalah agama yang benar, Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas yang berbunyi: Katakanlah: Dia itu Allah adalah Satu (Esa); Allah adalah Pelindung. Dia tidak melahirkan anak dan tidak pula dilahirkan sebagai anak, dan tidak ada sesuatu yang menyerupai Dia." (Al-Ikhlash 1-4)

 

Alhamdullilah, 

Puji syukur kita kepada Allah Swt. yang telah memberikan jalan serta hidayahnya.


Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com

Sumber:  http://hadidot.wordpress.com/2013/01/16/kisah-mualaf/

Saturday, April 20, 2013

Ibadah Disertai Riya

Apa hukum ibadah yang disertai riya?

Berikut ini jawaban Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin terhadap pertanyaan di atas.


 

Riya yang menyertai ibadah itu ada tiga macam:

1. Riya yang sejak awal mendorong seseorang untuk melakukan ibadah.
Contohnya, seseorang melaksanakan shalat untuk Allah dengan tujuan mendapat pujian/sanjungan manusia atas shalatnya. Riya yang seperti ini membatalkan ibadah.

 

2. Riya menyertai ibadah di tengah-tengah pelaksanaan ibadah.
Artinya, di awal ibadah ia ikhlas melakukannya karena Allah, kemudian di tengah ibadah datanglah riya. Ibadah seperti ini tidak luput dari dua kemungkinan:


a. Ibadah yang awal tidak berkaitan dengan akhir ibadah, maka yang awal (yang ikhlas semata karena Allah) sah sedangkan yang didatangi riya batal.
Misalnya, seseorang memiliki uang seratus riyal yang ingin disedekahkan. Pada kesempatan pertama, ia mengeluarkan sedekah lima puluh riyal dengan ikhlas. Ketika hendak mengeluarkan lima puluh riyal yang tersisa, datanglah riya. Untuk kasus yang semacam ini, sedekah yang awal sahih dan diterima, sedangkan sedekah yang belakangan adalah sedekah yang batil karena keikhlasannya telah dicampuri riya.


b. Ibadah yang awal berkaitan dengan yang akhir.
Pada ibadah yang seperti ini, seseorang tidak lepas dari dua keadaan:
(1) Ia berusaha menolak riya tersebut dan tidak merasa tenang dengannya. Bahkan, ia berusaha berpaling dari riya dan membencinya. Jika seperti ini, riya tersebut tidak berpengaruh sedikit pun terhadap ibadah, berdasar sabda Nabi:  
“Sesungguhnya, Allah memaafkan dari umatku apa yang diucapkan oleh jiwanya (betikan hati) selama belum diamalkannya atau diucapkannya (dengan lisan).”2
(2) Ia merasa tenang-tenang saja dengan riya yang muncul tersebut dan tidak berusaha menolaknya.


Apabila demikian keadaannya, batallah seluruh ibadahnya karena ibadah yang awal bergandengan dengan yang akhirnya.
Contoh kasusnya, seseorang memulai shalatnya dengan ikhlas karena Allah. Datang riya pada rakaat yang kedua (tanpa ia berusaha melawan dan melepaskan diri darinya), maka batallah seluruh shalatnya karena bagian yang awalnya bergandengan dengan yang akhirnya.

 

3. Riya datang setelah selesai melakukan ibadah.
Hal ini tidak memengaruhi ibadah yang telah selesai dilakukan dan tidak membatalkannya karena ibadah tadi telah selesai. Ibadah tersebut sah, tidak rusak disebabkan oleh riya yang muncul setelahnya.
Yang perlu diketahui, tidak termasuk riya ketika seseorang merasa gembira saat ada orang yang mengetahui ibadahnya karena hal itu muncul setelah ia selesai melakukan ibadah. Tidak pula termasuk riya ketika seseorang merasa senang dengan ketaatan yang telah dilakukannya karena hal itu justru menjadi bukti akan keimanannya. Nabi bersabda:

“Siapa yang kebaikannya menggembirakannya dan kejelekannya menyusahkannya, maka dia adalah seorang mukmin.”3
Nabi pernah ditanya tentang hal tersebut. Beliau bersabda:  “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk seorang mukmin.”4  (Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/206—207)

 

Catatan Kaki:

1 Oleh anggota badan.
2 HR. Ahmad dalam Musnad-nya, al-Bukhari dalam Shahih-nya, dan selain keduanya.

3 HR. ath-Thabarani dan dinyatakan sahih dalam Shahihul Jami’ no. 6294.
4 HR. Muslim dalam Shahih-nya.

 

Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com


Sumber:  Majalah AsySyariah Edisi 075

 

Wednesday, April 17, 2013

Akankah Amalku Diterima?

Beramal shalih memang penting karena merupakan konsekuensi dari keimanan seseorang. Namun yang tidak kalah penting adalah mengetahui persyaratan agar amal tersebut diterima di sisi Allah. Jangan sampai ibadah yang kita lakukan justru membuat Allah murka karena tidak memenuhi syarat yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan

 

 

Dalam mengarungi lautan hidup ini banyak duri dan kerikil yang harus kita singkirkan satu demi satu. Demikianlah sunnatullah hidup bagi setiap orang. Di antara manusia ada yang berhasil menyingkirkan duri dan kerikil-kerikil itu sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Namun di antara mereka ada yang tidak mampu menyingkirkannya sehingga harus terkapar dalam kubang kegagalan di dunia dan akhirat.
Kerikil dan duri-duri hidup itu demikian banyak dan untuk menyingkirkannya jelas membutuhkan waktu yang sangat panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Kita takut, jika seandainya kegagalan hidup itu berakhir dengan murka dan neraka Allah. Akankah kita bisa menyelamatkan diri lagi, sementara kesempatan sudah tidak ada? Dan akankah ada orang yang merasa kasihan kepada kita padahal setiap orang bernasib sama?


Maka sebelum semua itu terjadi, sekarang kesempatan bagi kita untuk menjawabnya dan berusaha untuk menyingkirkan duri dan kerikil hidup tersebut. Tidak ada cara yang terbaik kecuali harus kembali kepada agama kita dan menempuh bimbingan Allah dan Rasul-Nya. Allah telah menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa satu-satunya jalan itu adalah dengan beriman dan beramal kebajikan. Allah berfirman:  “Demi masa. Sesungguhnya manusia berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih, orang-orang yang saling nasihat-menasihati dalam kebaikan dan saling nasihat-menasihati dalam kesabaran.” (Al-’Ashr: 1-3)


Allah bersumpah dengan masa, menunjukkan waktu bagi manusia sangat berharga. Dengan waktu seseorang bisa memupuk iman dan memperkaya diri dengan amal shalih dan dengan waktu pula seseorang bisa terjerumus dalam perkara-perkara yang dimurkai Allah. Empat perkara yang disebutkan Allah di dalam ayat ini merupakan tanda kebahagiaan, kemenangan, dan keberhasilan seseorang di dunia dan di akhirat.
Keempat perkara inilah yang harus dimiliki dan diketahui setiap orang ketika harus bertarung dengan kuatnya badai kehidupan. Sebagaimana disebutkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab beliau Al-Ushul Ats-Tsalasah dan Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad (3/10), keempat perkara tersebut merupakan kiat untuk menyelamatkan diri dan melawan hawa nafsu ketika dia memaksa agar kita terjerumus ke dalam kesesatan dan tersandung dengan batu dan duri-duri tersebut di tengah perjalanan.

 

Iman Adalah Ucapan dan Perbuatan
Mengucapkan “saya beriman”, memang sangat mudah dan ringan di mulut. Akan tetapi bukan hanya dengan itu kemudian seseorang menjadi sempurna imannya. Ketika seseorang memproklamirkan dirinya beriman, ia memiliki konsekuensi yang harus dijalankan dan ujian yang harus diterima. Demikianlah tuntutan dari iman tersebut. Artinya, mengikrarkan keimanan konsekuensinya adalah siap untuk melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya baik berat atau ringan, disukai ataupun tidak disukai.


Konsekuensi iman ini banyak macamnya. Kesiapan kita untuk menundukkan hawa nafsu dan mengekangnya untuk selalu berada di atas ridha Allah termasuk konsekuensi iman. Mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan menyingkirkan segala sesuatu yang akan menghalangi kita dari jalan Allah juga konsekuensi iman. Menghamba di hadapan Allah dengan segala unsur pengagungan dan kecintaan itu adalah konsekuensi iman. Mengamalkan seluruh syariat Allah itu merupakan konsekuensi iman. Menerima apa yang diberitakan Allah dan Rasulullah tentang perkara-perkara ghaib dan apa yang akan terjadi di umat beliau itu merupakan konsekuensi iman. Meninggalkan segala apa yang di larang Allah dan Rasulullah r maka itu merupakan konsekuensi iman. Memuliakan orang-orang yang melaksanaan syariat Allah, mencintai serta membela mereka, merupakan konsekuensi iman. Dan kesiapan untuk menerima segala ujian dan cobaan dalam mewujudkan keimanan tersebut merupakan konsekuensi dari iman itu sendiri.
Allah berfirman di dalam Al-Qur’an:
   “Alif lam mim. Apakah manusia itu menyangka bahwa mereka dibiarkan untuk mengatakan kami telah beriman lalu mereka tidak diuji. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka agar Kami benar-benar mengetahui siapakah di antara mereka yang benar beriman dan agar Kami mengetahui siapakah di antara mereka yang berdusta.” (Al-’Ankabut: 1-3)


Al-Imam As-Sa’di dalam tafsir ayat ini mengatakan: “Allah telah memberitakan di dalam ayat ini tentang kesempurnaan hikmah-Nya. Termasuk dari hikmah-Nya bahwa setiap orang yang mengatakan “aku beriman” dan mengaku pada dirinya ada keimanan, tidak dibiarkan berada hanya dalam satu keadaan, selamat dari segala bentuk fitnah dan ujian dan tidak ada yang akan mengganggu keimanannya. Karena jika seandainya perkara keimanan itu demikian (tidak ada ujian dan gangguan dalam keimanannya) niscaya tidak akan bisa dibedakan mana yang benar-benar beriman dan siapa yang pura-pura beriman. Dan tidak akan bisa dibedakan antara yang benar dan yang salah.”
Rasulullah bersabda:
  “Orang yang paling keras cobaannya adalah para nabi, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri dan Sa’ad bin Abi Waqqash)


Jelasnya, iman adalah ucapan dan perbuatan. Artinya, mengucapkan dengan lisan dan beramal dengan hati dan anggota badan. Dan memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan dalam kehidupan di mana konsekuensinya itu adalah amal.

 

A m a l
Amal merupakan konsekuensi iman dan memiliki nilai yang sangat positif dalam menghadapi tantangan hidup dan segala fitnah yang ada di dalamnya. Terlebih jika seseorang menginginkan kebahagiaan hidup yang hakiki. Allah telah menjelaskan yang demikian itu di dalam Al-Qur’an:  “Bersegeralah kalian menuju pengampunan Rabb kalian dan kepada surga yang seluas langit dan bumi yang telah dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 133)


Al-Imam As-Sa’di mengatakan dalam tafsirnya halaman 115: “Kemudian Allah memerintahkan untuk bersegera menuju ampunan-Nya dan menuju surga seluas langit dan bumi. Lalu bagaimana dengan panjangnya yang telah dijanjikan oleh Allah kepada orang-orang yang bertakwa, merekalah yang pantas menjadi penduduknya dan amalan ketakwaan itu akan menyampaikan kepada surga tersebut.”
Maka jelas melalui ayat ini Allah menyeru hamba-hamba-Nya agar bersegera menuju amal kebajikan dan bersegera untuk mendapatkan kedekatan di sisi Allah dan agar segera pula  berusaha untuk mendapatkan surga-Nya. (Lihat Bahjatun Nadzirin, 1/169)
Allah berfirman:
  “Berlomba-lombalah kalian dalam kebajikan.” (Al-Baqarah: 148)


Al-Imam As-Sa’di dalam Tafsir-nya hal. 55 mengatakan: “Perintah berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan perintah tambahan dalam melaksanakan kebajikan. Karena berlomba-lomba mencakup mengerjakan perintah tersebut sesempurna mungkin dan melaksanakannya dalam segala keadaan dan bersegera kepadanya. Maka barangsiapa berlomba-lomba dalam kebaikan di dunia maka dia akan menjadi orang pertama yang masuk ke dalam surga kelak pada hari kiamat dan merekalah orang yang paling tinggi kedudukannya.”  Dalam ayat ini, jelas sekali Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk segera dan berlomba-lomba dalam amal shalih. 

 

Rasulullah bersabda:  “Bersegeralah kalian menuju amal shalih karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan gelapnya malam, di mana seorang mukmin bila berada di waktu pagi dalam keadaan beriman maka di sore harinya menjadi kafir. Dan jika di sore hari dia beriman maka di pagi harinya dia menjadi kafir dan dia melelang agamanya dengan harta benda dunia.” (Shahih, HR Muslim no.117 dan At-Tirmidzi)
Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya wajibnya kita berpegang dengan agama Allah I dan bersegera untuk beramal shalih sebelum datang perkara-perkara yang akan menghalanginya. Fitnah di akhir jaman akan datang silih berganti  dan ketika berakhir satu fitnah, akan muncul lagi fitnah yang lain. (Lihat Bahjatun Nadzirin, 1/170)
Karena kedudukan amal dalam kehidupan begitu besar dan mulia maka Allah I memerintahkan kita untuk meminta segala apa yang kita butuhkan dengan amal shalih. Allah berfirman di dalam Al-Qur’an:
  “Hai orang-orang yang beriman, mintalah tolong (kepada Allah) dengan penuh kesabaran dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bersabar.” (Al-Baqarah: 153)


Kalau kita telah beramal dengan penuh keuletan dan kesabaran, apakah amal kita pasti diterima?

 

Syarat Diterimanya Amal
Amal yang akan diterima Allah memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Hal yang demikian itu telah disebutkan Allah sendiri di dalam Kitab-Nya dan Rasulullah di dalam haditsnya. Syarat amal itu adalah sebagai berikut:
Pertama, amal harus dilaksanakan dengan keikhlasan semata-mata mencari ridha Allah.
Allah berfirman:
  “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan baginya agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)


Rasulullah bersabda:
   “Sesungguhnya amal-amal tergantung pada niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari kedua dalil ini sangat jelas bagi kita bahwa dasar dan syarat pertama diterimanya amal adalah ikhlas, yaitu semata-mata mencari wajah Allah. Amal tanpa disertai dengan keikhlasan maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah.
Kedua, amal tersebut sesuai dengan Sunnah (petunjuk) Rasulullah. 

 

Beliau  bersabda:  “Dan barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah x)
Dari dalil-dalil di atas para ulama sepakat bahwa syarat amal yang akan diterima oleh Allah adalah ikhlas dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah. Kalau salah satu dari kedua syarat tersebut tidak ada, maka amalan itu tidak akan diterima oleh Allah. Dari sini sangat jelas kesalahan orang-orang yang mengatakan “Yang penting kan niatnya”. Tidak demikian, harus ada kecocokan amal itu dengan ajaran Rasulullah. Kalau istilah “yang penting niat” adalah benar niscaya kita akan membenarkan segala perbuatan maksiat kepada Allah dengan dalil yang penting niatnya. Kita akan mengatakan para pencuri, penzina, pemabuk, pemakan riba, pemakan harta anak yatim, perampok, penjudi, penipu, pelaku bid’ah (perkara-perkara yang diadakan dalam agama yang tidak ada contohnya dari Rasululah)  dan bahkan kesyirikan tidak bisa kita salahkan, karena kita tidak mengetahui bagaimana niatnya.


Hal ini akan mengundang banyak pertanyaan, di antaranya apabila seseorang mencuri dengan niat memberikan nafkah kepada anak dan istrinya, apakah perbuatannya bisa dibenarkan? Apakah seseorang melakukan bid’ah dengan niat beribadah kepada Allah adalah benar? Apakah orang yang meminta kepada makam wali dengan niat memuliakan wali itu adalah benar? Tentu jawabannya adalah tidak.
Dari pembahasan di atas sangat jelas kedudukan dua syarat tersebut dalam sebuah amalan dan sebagai penentu diterimanya amalan itu. Oleh karena itulah sebelum melangkah untuk beramal hendaklah bertanya pada diri kita: Untuk siapa saya beramal? Dan bagaimana caranya? Maka jawabannya adalah dengan kedua syarat di atas.
Masalahnya bukanlah sekedar memperbanyak amal, akan tetapi adalah benar atau tidakkah amal tersebut. Allah berfirman:
  “Dia Allah yang telah menciptakan mati dan hidup agar menguji kalian siapakah yang paling bagus amalannya.” (Al-Mulk: 2)


Muhammad bin ‘Ajlan berkata: “Allah tidak mengatakan yang paling banyak amalnya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 4/396)
Allah mengatakan yang paling baik amalnya dan tidak mengatakan yang paling banyak amalnya, yaitu amal yang dilaksanakan dengan ikhlas dan sesuai dengan ajaran Rasulullah, sebagaimana yang telah diucapkan Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri.
Kedua syarat di atas merupakan makna dari kalimat “Laa ilaaha illallah – Muhammadar rasulullah.

 

Wallahu a’lam.


Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com


Sumber:
ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman

Tuesday, April 16, 2013

Beberapa Penyakit Kalbu

Penyakit kalbu ada dua macam:

 

Pertama, sakit yang tidak dirasakan oleh yang mengidapnya. Contohnya adalah kebodohan, syubhat (kekaburan), keraguan, dan godaan syahwat. Keadaan ini sesungguhnya lebih menyakitkan, akan tetapi karena kalbu telah rusak dengan penyakit itu maka ia tidak merasakannya. Kebodohan dan hawa nafsunya menghalangi untuk menemukan sakitnya. Rasa sakit itu sebenarnya sudah ada namun karena tersibukkan oleh hal-hal lain, maka sakitnya tersembunyi. Ini lebih berbahaya dari penyakit yang satunya dan lebih susah untuk menyembuhkannya.
Obatnya ada pada para rasul dan para pengikut mereka. Merekalah para dokter penyakit ini.


Kedua, penyakit yang dirasakan langsung saat itu. Seperti kesedihan, gundah gulana, dan kemarahan. Penyakit ini bisa dihilangkan dengan menghilangkan sebab-sebabnya atau dengan melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan sebabnya.
Sebagai contoh adalah marah. Marah termasuk menyakitkan kalbu dan obatnya adalah dengan menghilangkan sebab kemarahan itu. Jika ia melakukan penyembuhan dengan cara yang benar maka sakitnya akan hilang. Allah berfirman:
  “Perangilah mereka, maka Allah akan azab mereka dengan tangan kalian, menghinakan mereka, menolong kalian atas mereka dan menyembuhkan dada-dada kaum mukminin serta menghilangkan kemarahan mereka dan Allah akan memberikan taubat-Nya kepada siapa yang Allah kehendaki.” (at-Taubah: 14—15)


Keberadaan orang-orang kafir itu merupakan sebab kemarahan orang-orang mukmin yang membuat sakit hati mereka. Maka dengan memerangi orang kafir kemarahan kaum mukminin hilang sehingga sembuh dari penyakit ini.
Namun jika mencari kesembuhan dengan cara kezaliman justru akan menambah sakitnya yang ia sangka akan menyembuhkannya.
Kesedihan dan gundah gulana juga merupakan penyakit kalbu. Menyembuhkannya dengan memunculkan rasa gembira dan senang. Jika ia menyembuhkan dengan cara yang haq maka akan hilang sakitnya. Namun jika kesembuhannya didapat dengan cara yang batil maka sakitnya akan bersembunyi dan akan menimbulkan penyakit-penyakit lain yang lebih berbahaya serta lebih sulit untuk disembuhkan.


Penyakit yang lain adalah kebodohan. Obatnya adalah dengan ilmu yang bermanfaat. Jika ia obati dengan ilmu yang tidak bermanfaat, ia bakal menyangka telah sembuh dari sakitnya. Padahal hakikatnya justru menambah penyakitnya. Ia sibuk dengan ilmu yang tidak bermanfaat hingga tidak mampu menangkap sakit yang tersembunyi pada dirinya. Padahal ilmu yang bermanfaat merupakan syarat untuk bisa sehat dan sembuhnya kalbu.
Penyakit lainnya adalah keraguan, obatnya adalah ilmu dan keyakinan yang didapatkan dengan cara yang haq.


Jadi obat bagi penyakit-penyakit hati ada yang bersifat tabiat serta ada yang bersifat keimanan dan syariat sesuai dengan penyakitnya.
(Diterjemahkan dengan penambahan dan pengurangan dari kitab Ighatsatul Lahafan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah hlm. 22—23)

 

 

Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com


Sumber:
Majalah AsySyariah Edisi 002
(ditulis oleh: al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)


Sunday, April 7, 2013

Mengobati Jiwa dengan Upaya Keras Melawan Dorongan Hawa Nafsu Yang Buruk

Sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa di samping muhasabah, obat yang lain bagi jiwa yang ammarah bis-su’ adalah mukhalafah, yakni menentang hawa nafsu atau keinginan jelek dari hawa nafsu itu sendiri. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,  “Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).” (an-Nazi’at: 40—41)

 

Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan, “Maksudnya, memperingatkan jiwanya dari perbuatan maksiat dan perbuatan yang haram.”

Sahl mengatakan, “Meninggalkan keinginan buruk jiwa adalah kunci surga, karena Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,  ‘Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)’.” (an-Nazi’at: 40—41)

 

Abdullah bin Mas’ud z mengatakan, “Kalian sekarang berada pada zaman yang kebenaran menuntun hawa nafsu. Akan datang nanti sebuah masa ketika hawa nafsu yang justru menuntun kebenaran. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari zaman tersebut.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an)

Al-Alusi  rahimahullah dalam tafsirnya juga menerangkan, “…. (Arti ayat di atas) adalah memperingatkan jiwanya dan menahannya dari kemauan-kemauan yang membinasakan, yaitu condong kepada syahwat, serta meluruskannya dengan kesabaran, membiasakannya untuk mengutamakan kebaikan, tidak membiasakannya dengan hiasan dunia dan kembang-kembangnya, tidak terkecoh oleh gemerlapnya dan hiasan-hiasannya karena mengetahui betapa jeleknya akibatnya. Ibnu Abbas c dan Muqatil t mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah seseorang yang berkeinginan melakukan maksiat dan teringat kedudukannya saat dihisab di hadapan Rabbnya lalu takut serta meninggalkan maksiatnya.

 

Kata al-hawa (seperti dalam ayat) asalnya bermakna al-mail (kecondongan, kemauan, keinginan, hasrat).

Namun, kata ini menjadi populer untuk menyatakan makna kecondongan atau keinginan kepada syahwat. Dengan demikian, segala keinginan kepada syahwat disebut al-hawa (Ind: nafsu syahwat), (kata kerja hawa juga bermakna terjun, sehingga nafsu syahwat dinamakan demikian) karena hal itu akan mengempaskannya kepada segala yang lemah di dunia dan kepada jurang yang dalam di akhirat.

Oleh karena itu, orang yang menentang hawa nafsunya menjadi terpuji. Sebagian ahli hikmah mengatakan, ‘Apabila engkau ingin kebenaran, lihatlah hawa nafsumu lalu selisihilah.’ Al-Fudhail t mengatakan, ‘Seutama-utama amalan adalah menentang hawa nafsu….’

Hampir-hampir keburukan mengikuti hawa nafsu dan kebaikan dalam hal menyelisihinya adalah dua hal yang mesti. Akan tetapi, orang yang tidak menurutinya hanya sedikit, selain para nabi dan beberapa ash-shiddiqin (yang sangat jujur dalam beriman). Beruntunglah orang yang selamat darinya.” (Ruhul Ma’ani)

 

Mengendalikan jiwa adalah sifat orang yang cerdas. Ibnul Jauzi mengatakan, “Orang yang cerdas akan menahan jiwanya dari sebuah kenikmatan yang menyisakan kepedihan dan syahwat yang mewariskan penyesalan. Cukuplah ukuran ini sebagai pujian bagi kecerdasan dan celaan bagi hawa nafsu.” (Dzammul Hawa)

Nabi Yusuf alaihi salam adalah salah satu teladan dalam hal menentang hawa nafsu dan keinginan jiwa yang tidak baik.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah  menerangkan, “Nabi Yusuf tergolong ‘orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya’.”

Sesungguhnya, Yusuf waktu itu adalah seorang yang muda dan bujang, tertawan di negeri musuh, tidak ada di sana kerabat dan teman yang ia merasa malu dari mereka apabila melakukan perbuatan keji. Karena, sebagian besar manusia akan terhalangi melakukan perbuatan-perbuatan jelek oleh rasa malunya dari orang yang dia kenal.

 

Jadi, apabila mengasingkan diri, seseorang akan melakukan apa saja yang diingini oleh hawa nafsunya. Nabi Yusuf q juga saat itu hanya berdua sehingga tidak takut kepada siapa pun. Menurut hukum nafsu ammarah—apabila nafsu beliau demikian—mestinya beliaulah yang merayu-rayu (istri raja). Bahkan, mestinya beliaulah yang membuat tipu daya untuk meraihnya, sebagaimana kebiasaan mayoritas orang yang berhasrat kepada wanita-wanita bangsawan apabila tidak mampu secara langsung mengajaknya ‘berbuat’. Adapun apabila dia diajak atau diminta, walaupun yang meminta itu seorang wanita pembantu, tentu dia menyambutnya dengan segera. Lantas, bagaimana apabila yang memintanya adalah tuan yang menguasainya, yang dia takut menyelisihi perintahnya?

Ditambah lagi suaminya—yang seharusnya marah besar kepada istrinya—ternyata tidak menghukumnya, bahkan Yusuf lah yang diperintah untuk menyingkir, sebagaimana seorang dayyuts (yang tidak punya cemburu) berteriak. Apalagi, wanita tersebut meminta bantuan wanita-wanita lain dan memenjarakan Yusuf.

 

Namun, Nabi Yusuf alaihi salam mengatakan sebagaimana firman Allah,  “Yusuf berkata, ‘Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Jika tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh’.” (Yusuf: 33)

 

Hendaknya seorang yang cerdas memerhatikan faktor-faktor yang mendorong wanita tersebut untuk mengajak Yusuf kepada apa yang dia ajak: terpenuhinya segala sarana dan kuatnya ajakan sang wanita, tiada yang memalingkannya apabila dia melakukannya, tidak ada pula makhluk yang menyelamatkannya dari perbuatan tersebut (namun Nabi Yusuf q tetap menolaknya –pen.). Ini semua untuk menjelaskan bahwa ujian yang diberikan kepada Yusuf q termasuk ujian yang sangat besar, dan bahwa ketakwaan dan kesabarannya menahan diri dari maksiat termasuk kebaikan dan ketaatan terbesar. Sungguh, jiwa Yusuf q termasuk jiwa yang paling bersih. Bagaimana dia mau mengatakan,  “Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku. Sesungguhnya Rabbku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yusuf: 53)

 

Allah Mahatahu bahwa jiwanya bersih, bukan jiwa yang ammarah bis-su’ (suka menyuruh kepada kejelekan). Bahkan, jiwa beliau termasuk jiwa yang paling suci. Hasrat yang sempat ada pada beliau justru menambah kesucian jiwa dan ketakwaannya. Dengan sempat munculnya hasrat itu lantas beliau tinggalkan karena Allah Subhanahu Wata’ala, sungguh menambah satu kebaikan yang termasuk kebaikan yang sangat besar yang menyucikan jiwa. (Majmu’ Fatawa bagian tafsir dengan sedikit diringkas)

Itulah salah satu gambaran indah dalam hal melawan keinginan jiwa. Dengan itu, jiwa semakin suci, kedudukan di sisi Allah Subhanahu Wata’ala pun semakin tinggi. Bahkan, untuk mencapai tingkatan yang lebih sempurna tidak cukup hanya melawan kemauan jeleknya, tetapi dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh untuk membekali jiwa dengan amalan-amalan saleh. Itulah yang diistilahkan oleh Ibnul Qayyim dengan jihadun nafs (berjihad melawan hawa nafsu, red).

 

Ibnul Qayyim rahimahullah  menerangkan bahwa jihadun-nafs melalui empat tingkatan:

1. Memacu jiwa untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar, yang tiada keberuntungan bagi jiwa dan tiada kebahagiaan baginya, baik dalam kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat selain dengannya. Apabila jiwa tersebut terlewatkan darinya, ia akan sengsara di dunia dan akhirat.

2. Memacu jiwa untuk mengamalkan petunjuk tersebut setelah mengetahuinya.

Apabila tidak demikian, sekadar ilmu tanpa amal, kalau tidak mencelakakannya, tentu tidak memberinya manfaat.

3. Memacu jiwa untuk mendakwahkan dan mengajarkannya kepada orang yang belum mengetahuinya

Apabila tidak demikian, ia tergolong orang yang menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Ilmunya tidak memberinya manfaat dan tidak menyelamatkannya dari siksa Allah Subhanahu Wata’ala.

4. Mengusahakan jiwa untuk bersabar terhadap kesulitan-kesulitan dalam berdakwah dan dalam menghadapi gangguan makhluk serta menanggung beban itu semua karena Allah Subhanahu Wata’ala.

 

Apabila seseorang menyempurnakan empat tingkatan ini, ia akan menjadi golongan rabbani, karena sesungguhnya salaf (para pendahulu) bersepakat bahwa seorang alim tidak berhak untuk disebut rabbani hingga dia mengetahui kebenaran, mengamalkannya, dan mengajarkannya. Barang siapa mengetahui dan mengamalkannya, dia akan disebut sebagai orang besar di kerajaan langit. (Zadul Ma’ad, 3/9)

Jihadun nafs ini bukan hal sepele. Ini adalah awal dari semua langkahnya dalam segala amalan, termasuk amalan-amalan besar. Bahkan, jihad melawan musuh yang kafir yang merupakan puncak dari punuknya Islam adalah cabang dari jihadun nafs.

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan, “Karena jihad melawan musuh-musuh Allah Subhanahu Wata’ala di luar adalah cabang dari jihadun nafs (usaha hamba menundukkan jiwa), Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengatakan, ‘Mujahid adalah orang yang mengusahakan dirinya untuk selalu taat kepada Allah Subhanahu Wata’ala, dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu Wata’ala.’

 

Maka dari itu, jihadun nafs lebih diutamakan daripada jihad melawan musuh yang di luar dirinya. Jihadun nafs adalah asal-usul dari jihad melawan musuh. Hal ini karena orang yang tidak melakukan jihadun nafs terlebih dahulu agar melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh-Nya lalu memerangi jiwanya karena Allah Subhanahu Wata’ala, tidak mungkin ia akan berjihad melawan musuh di luar dirinya….” (Zadul Ma’ad, 3/5—6)

Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, jihadun nafs lebih besar daripada jihad melawan musuh, karena jiwa itu adalah sesuatu yang disukai dan ajakannya juga disukai. Sebab, jiwa tidak mengajak selain kepada sesuatu yang sesuai dengan nafsu (keinginan/syahwat). Sementara itu, menyesuaikan dengan sesuatu yang disukai dalam hal yang pada dasarnya tidak menyenangkan itu saja tetap disukai, lebih-lebih jika dia mengajak kepada sesuatu yang menyenangkan. Apabila keadaannya dibalik, dan jiwa yang disukai tadi ditentang ajakannya, jihad/perlawanan terhadapnya semakin berat dan masalah semakin sulit.

 

Berbeda halnya dengan jihad melawan orang-orang kafir karena tabiat dan watak manusia (pada dasarnya) adalah memusuhi lawan.

Ibnul Mubarak rahimahullah  mengatakan ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu Wata’ala,  ‘Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat baik.’ (al-Ankabut: 69)

 

Maksudnya adalah jihad untuk menundukkan jiwa dan hawa nafsu.”

Semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk menuju jiwa yang suci.

 

Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com

Sumber :
Mengobati Jiwa dengan Menentang Keinginan Jeleknya,  Majalah AsySyariah Edisi 079
(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc).

Friday, April 5, 2013

Kiat Hidup Bahagia, Hati Lapang Dan Bersinar Menurut Al Qur’an dan As Sunnah

Hiruk pikuk kehidupan dengan berbagai bentuk aktivitas yang terus bergulir tanpa henti sering melahirkan halangan dan tantangan yang mengantar seorang hamba kepada gundah gulana dan ketidaktenangan hati. Namun bagi seorang mukmin sejati, cahaya Al-Qur’ân dan Sunnah Rasulullah (shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam) adalah penerang jalan menuju kepada kehidupan indah yang senantiasa membuat dadanya lapang dan bercahaya.

 

Hidup dengan dada yang lapang adalah suatu nikmat yang sangat berharga dan dambaan setiap insan.

Renungilah besarnya nikmat ini sehingga Allah ‘Azza wa Jalla mengingatkan Nabi-Nya terhadap karunia tersebut dalam firman-Nya,  “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. Al-Insyirâh :1)

Dan Nabi Musa ‘alaissalâm setelah beliau dimuliakan menjadi seorang rasul, maka awal doa beliau kepada Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ,  “Berkata Musa: “Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku,”…” (QS. Thohâ :25) Banyak hal dalam tuntunan syari’at kita yang diterangkan sebagai tumpuan-tumpuan berpijak bagi seorang hamba agar senantiasa berhati lapang dan bercahaya. 

 

Berikut ini, beberapa pilar pelapang dada seorang hamba, kami simpulkan dari keterangan Ibnul Qayyim[1] dan selainnya :

 

1. Memurnikan Tauhid.

Memurnikan peribadatan kepada Allah Taqaddasa Dzikruhu adalah tonggak keselamatan, tujuan dari penciptaan manusia, misi dakwah setiap nabi yang diutus kepada makhluk dan itulah adalah hakikat dari Islam yang bermakna berserah diri, ikhlash dan tunduk kepada-Nya. Maka sangat wajar bila memurnikan tauhid adalah hal yang sangat melapangkan dada dan meneranginya. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam Al-Qur’ân Al-Karîm,  “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. ” (QS. Az-Zumar :22)

 

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman. Dan inilah jalan Rabbmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan ayat-ayat (Kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran. ” (QS. Al-An’âm :125-126)

 

Dan dengan memurnikan ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla (tidak mencampuradukkan keimanan dengan kesyirikan, red)  manusia akan hidup di bawah teduhan keamanan dan kesejahteraan. Sebagaimana dalam firman-Nya,  “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. ” (QS. Al-An’âm :82)

 

Dan dalam Tanzil-Nya,  “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik. ” (QS. An-Nûr : 55)

 

2. Berpegang teguh terhadap Al-Qur’ân dan As-Sunnah.

Allah Jalla wa ‘Alâ menurunkan Al-Qur`ân sebagai rahmat dan kebahagian bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya,  “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. ” (QS. An-Nahl : 89)

 

Dan Allah Ta’âlâ berfirman,  “Dan Kami turunkan dari Al-Qur`ân suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`ân itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian. ” (QS. Al-Isrô` : 82)

Dan Nabi shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam menyatakan,  “Sungguh aku telah meninggalkan kalian di atas suatu yang sangat putih, malamnya sama dengan siangnya, tidaklah seorangpun menyimpang darinya (sunnah Nabi, red)  setelahku kecuali akan binasa. [2]

 

Maka sangatlah lumrah bagi siapa yang berpegang teguh terhadap tuntunan Al-Qur`ân dan As-Sunnah akan senantiasa membuat dadanya lapang dan bersinar penuh petunjuk dan kebahagian tanpa ada kesengsaraan. Sebagaimana dalam firman-Nya,  “Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. ” (QS. Thôhâ : 123-124)

“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Qur`ân ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah). ” (QS. Thôhâ : 1-3)

 

3. Berbekal Ilmu Syari’at.

Tatkala seluruh kebaikan bagi manusia tercakup dalam ilmu syari’at maka segala kebahagiaan dan ketenangan, keberhasilan dan kebahagian manusia sangat bertumpu pada ilmu syari’at. Karena itu Allah Ta’âlâ tidak memerintah Nabi-Nya untuk meminta tambahan nikmat apapun selain dari tambahan ilmu. Allah Ta’âlâ berfirman,  “Dan katakanlah, “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan. ”. ” (QS. Thôhâ : 114)

Dan dengan ilmu syari’at itulah diraihnya berbagai derajat keutamaan di dunia dan akhirat. Sebagaimana dalam firman-Nya,  “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. ” (QS. Al-Mujâdilah :11) 

 

Berkata Ibnul Qayyim rahimahullâh, “Sesungguhnya ilmu itu melapangkan dada dan meluaskannya sehingga ia menjadi lebih luas dari dunia. Dan kejahilan akan mewariskan kesempitan, keterbatasan dan keterkurungan. Kapan ilmu seorang hamba semakin luas maka dadanya akan semakin lapang dan lebih meluas. Namun ini bukanlah pada setiap ilmu, bahkan hanya pada ilmu yang terwarisi dari Ar-Rasul shallallâhu ‘alaihi wa sallam yaitu ilmu yang bermanfaat. Orang-orang yang berilmu (merekalah) yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling indah akhlaknya dan paling baik kehidupannya. ” [3]

 

4. Kecintaan Kepada Allah.

Salah satu sifat yang wajib dimiliki oleh seorang yang beriman bahwa kecintaannya kepada Allah adalah yang terbesar dan melebihi kecintaannya kepada seluruh makhluk. Allah berfirman,  “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. ” (QS. Al-Baqarah :165)

 

Kecintaannya kepada Allah tersebut akan mengantar seorang hamba menuju kehidupan yang sangat indah, kelapangan hati dan ketenangan jiwa karena rongga hatinya hanya terpenuhi oleh kecintaan kepada Allah dan ketergantungan kepada-Nya.

 

Wajarlah bila Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,  “Tiga (sifat) yang tidaklah terdapat pada seseorang, pasti ia akan mendapatkan kelezatan iman; hendaknya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai melebihi selain keduanya, dan ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya melainkan hanya karena Allah, serta ia benci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka. [4]

 

5. Senantiasa bertaubat.

Menyadari kekurangan, menyesali kesalahan dan bertaubat kepada Yang Maha Mencipta adalah diantara sifat-sifat yang memberikan berbagai keajaiban dalam kehidupan seorang hamba dan sangat menerangi hati serta melapangkan dadanya. Karena itu, sikap senantiasa bertaubat sangat ditekankan dalam tuntunan syari’at Islam yang mulia. Allah menjamin keberuntungan bagi orang-orang yang senatiasa bertaubat,  “Dan bertaubatlah kalian sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung. ” (Q. S. An-Nûr :31)

 

Dari doa Nabi Ibrahim ‘alaissalâm untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan pada negeri Mekkah yang dirintisnya,  “Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan berilah taubat untuk kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. ” (Q. S. Al-Baqarah :128)

 

Dan sangatlah indah kehidupan orang-orang yang bertaubat tatkala sifat mulia mereka itu akan memberikan berbagai keutamaan dan kenikmatan sebagai hamba-hamba yang dicintai oleh Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya,  “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. ” (Q. S. Al-Baqarah :222)

 

6. Dzikir.

Dzikir adalah penyejuk hati dan penenang jiwa. Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ berfirman,  “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan dzikir kepada Allah-lah hati menjadi tenteram. (Q. S. Ar-Ra’d :28)

Dengan dzikir seorang hamba akan mendapatkan pengampunan dan pahala yang sangat besar,  “…dan laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. ” (Q. S. Al-Ahzâb :35)

 

Dan keberuntungan bagi orang-orang yang banyak berdzikir,  “Dan dzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya supaya kalian beruntung. ” (Q. S. Al-Jumu’ah :10)

Dan sungguh dzikir membuat hati seorang hamba menjadi lapang dan bersinar tanpa ada kerugian seperti yang terjadi pada orang-orang lalai,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari dzikir kepada Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. ” (Q. S. Al-Munâfiqûn :9)

 

7. Berbuat baik kepada Makhluk.

Memberi manfaat kepada makhluk dengan harta, badan, kedudukan dan selainnya dari berbagai bentuk perbuatan baik adalah hal yang sangat melapangkan dada seorang hamba dan meneranginya. Karena itu Allah ‘Azza wa Jalla memerintah dalam firman-Nya,  “Sesungguhnya Allah menyuruh untuk berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran. ” (Q. S. An-Nahl :90)

Dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam bersabda,  “Sesungguhnya Allah telah menetapkan untuk berbuat kebajikan terhadap segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh perbaiklah cara membunuhnya, apabila kalian menyembelih perbaiklah cara menyembelihnya dan hendaknya salah seorang dari kalian mempertajam pisaunya dan membuat tenang sembelihannya. ” [5]

 

Dan di akhirat kelak Allah menjanjikan,  “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. ” (Q. S. Adz-Dzâriyât :15-16)

Demikian beberapa pilar pelapang dada seorang mukmin. Dan perlu diketahui bahwa segala perkara yang bertentangan dengan apa yang disebutkan di atas pasti akan memberikan kesempitan, kesesakan dan gundah gulana. Karena itu, tidak seorang pun yang lebih sempit hatinya dari pelaku kesyirikan. 

 

Dan siapa yang berpaling dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah maka ia akan senantiasa berada dalam berbagai kesengsaraan. Orang yang tidak memiliki ilmu syar’iy akan jauh dari makna ketenangan. Hati yang tergantung kepada selain Allah akan merasakan berbagai kepedihan dan kepahitan. Dan hati yang lalai dari dzikir kepada Allah bagaikan ikan yang dipisahkan dari air. Dan jeleknya hubungan dengan makhluk lain akan melahirkan berbagai problem dalam kehidupan. Dan demikianlah seterusnya.

Tentunya banyak tuntunan pelapang dada yang belum bisa diuraikan disini. Namun kami berharap keterangan-keterangan di atas bisa menjadi pencerahan dan penyenjuk bagi setiap muslim dan muslim dalam mempersiapkan bekal untuk menyonsong kehidupan kekal abadi di akhirat kelak. Waffaqallâhu Al-Jamî’ li mâ yuhibbihu wa yardhâhu.

 

[1] Dalam kitabnya Zâdul Ma’âd 2/22-26, cet. Ke-3 dari Mu`assah Ar-Risalah

[2] Diriwayatkan oleh Ahmad 4/126, Ibnu Mâjah no. 5, 43, Ibnu Abi ‘Âshim no. 48-49 dan Al-Hâkim 1/96 dari hadits Abu Dardâ` radhiyallâhu ‘anhu. Dan dishohihkan oleh Al-Albâny dalam Zhilâlul Jannah 1/27.

[3] Zâdul Ma’âd 2/23

[4] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu.

[5] Hadits Syaddâd bin Aus radhiyallâhu ‘anhu riwayat Muslim.

 

Cahaya Menuju Surga
wedhakencana.blogspot.com

Sumber :
“Agar Dada Seorang Hamba Menjadi Lapang Dan Bersinar”  ,  penulis: Al-Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi. an-nashihah. com/index. php?mod=article&cat=PenyejukHati&article=83 sumber: www. darussalaf. or. id, www.kebun hidayah.worpress.com


Kemerdekaan Menurut Islam

Salah satu hak setiap bangsa, golongan, masyarakat atau pribadi yaitu hak mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Lalu, ba...