Tuesday, December 24, 2013

Mencintai Karena Allah

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  “Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya. (2) Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allah. (3) Ia tidak suka untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya, sebagaimana ia tidak mau untuk dilemparkan ke dalam api.” [HR. Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43 (67)), at-Tirmidzi (no. 2624), an-Nasa-i (VIII/96) dan Ibnu Majah (no. 4033), dari hadits Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu.] 

Hadits ini menunjukkan bahwa keimanan itu memiliki rasa manis yang dapat dirasakan oleh orang yang hatinya tenang dalam keimanan sebagaimana orang dapat merasakan lezatnya makanan. Bahkan iman itu lebih lezat dan lebih baik, karena ia adalah santapan khusus untuk ruh. Adapun makanan hanyalah untuk jasad yang fana (bersifat sementara).

 


Merindukan Manisnya Iman

Barangsiapa yang melakukan dosa maka akan dicabut lezatnya ketaatan dan kedekatan dengan Allah. Iapun akan terjerumus kedalam kenistaan. Apabila ia memperbaiki diri, maka ia merasa rindu untuk kembali merasakan nikmatnya kondisi sebelumnya. Ia pun akan merendahkan diri dan memohon kepada Rabbnya supaya mengembalikannya pada kebiasaannya dalam berbuat baik. Namun apabila ia terus menerus dan tidak kembali dan mengalami kesulitan untuk kembali seperti semula maka jiwanya akan semakin merasakan kerinduan yang besar. Oleh karenanya apabila seseorang telah merasakan manisnya iman dan telah menyatu dalam hatinya maka akan semakin kokoh cintanya. Iapun tidak akan pernah mengutamakan yang lainnya diatas kecintaannya kepada Allah.

 

Dalam hadits Abu Hurairah dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan, sesungguhnya Allah bertanya kepada para malaikat,”  Apa yang diminta oleh para hambaku?” Para malaikat menjawab,” Mereka meminta kepadamu Syurga.” Allah bertanya,”Apakah mereka telah melihatnya?” para malaikat menjawab,”Belum wahai  Rabb.”  Allah bertanya,” Bagaimana seandainya mereka melihatnya?” Para malaikat menjawab,” Seandainya melihatnya, mereka akan memintanya dengan sangat.” (Bukhari No.6045). Tidaklah semua itu terjadi kecuali karena mereka telah merasakan manisnya iman di hati mereka. Demikian pula mereka yang mencintai dan membenci hanya karena Allah.

 

Mencintai Apa Yang Allah Cintai dan Membenci Apa Yang Allah Benci

Sementara itu pada waktu yang sama, Allah mengharamkan manisnya iman dari segolongan manusia yang menjadikan kecintaannya hanya karena syahwat dan kesenangan duniawi. Mereka tidak mengikuti jalan para pendahulu mereka yang shaleh yang mencintai, membenci, memberi dan menahan pemberian hanya karena Allah semata sehingga sempurnalah keimanan mereka. Alangkah jauhnya perbedaan antara generasi ini dan itu. Maka wajib bagi setiap muslim untuk menjadikan kecintaan, kebencian, loyalitas dan permusuhannya sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya. Ia mencintai apa-apa yang Allah dan RasulNya cintai. Ia membenci apa yang Allah dan RasulNya benci. Ia berloyal terhadap siapa-siapa yang Allah dan RasulNya loyal terhadapnya dan ia memusuhi terhadap siapa-siapa yang Allah dan RasulNya musuhi.

 

Adapun sikap terhadap orang-orang yang terdapat pada dirinya kebaikan-kebaikan sehingga ia layak untuk dicintai dan juga terdapat keburukan-keburukan sehingga ia layak untuk dimusuhi sebagaimana orang-orang fasik (dimana mereka berhak untuk mendapatkan ganjaran dan hukuman) maka kecintaan, kebencian, loyalitas dan permusuhan itu disesuaikan dengan kadar kebaikan dan keburukan yang mereka kerjakan.

 

Marilah kita sedikit menengok sejarah para salaf sehingga kita bisa melihat kemuliaan hidup mereka.  Dari Abu Idris Al Khaulani berkata,” Aku masuk ke sebuah masjid di Damaskus. Aku dapatkan seorang pemuda dan manusia berkumpul bersamanya. Apabila mereka berselisih dalam suatu perkara mereka menyerahkan masalah itu kepadanya dan mengambil pendapatnya. Maka akupun bertanya tentangnya. Dikatakan kepadaku,” Ini adalah Muadz bin Jabal.” Keesokan harinya akupun bergegas untuk ke masjid dan ternyata dia telah mendahuluiku. Aku dapatkan dia sedang sholat. Maka akupun menungguinya sampai ia selesai sholat. Lantas akupun mendatanginya. Aku ucapkan salam kepadanya dan aku katakan,” Demi Allah aku mencintaimu karenaNya.” Dia bertanya,” Karena Allah ?” Aku katakan,” Karena Allah !” Ia kembali bertanya,” Karena Allah?” Aku katakan lagi,” Karena Allah !” maka iapun memegang selendangku dan mendekatkanku kepadanya. Ia lalu berkata,” Kabar gembira bagimu. Sungguh Aku telah mendengar Rasulullah bersabda,” Allah berfirman,’ Kecintaanku wajib kuberikan bagi siapa saja yang saling mencintai karenaKu.” 

 

Demikianlah,tatkala tumbuh rasa cinta Abu Idris Al Khaulani kepada Muadz  bin Jabal, iapun segera memberitahukannya.

 

Saling Mencinta Karena Kecintaan Kita Pada Allah Subhanahu Wata’ala

Tidak ada kecintaan yang patut diutamakan oleh makhluk melebihi kecintaannya kepada penciptanya. Barangsiapa yang mencintai Allah, maka Allah akan mencintai dan meridhoinya. Allah pun akan menjadikan manusia ridho kepadanya. Bukhari dan muslim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda,” Apabila Allah mencintai sesorang hamba, jibril akan menyerukan bahwa Allah mencintai fulan dan jibrilpun turut mencintainya. Kemudian jibril menyeru kepada penduduk langit,” Sungguh Allah telah mencintai fulan, maka cintailah dia.” Maka penduduk langitpun mencintainya. Kemudian Allahpun menjadikan hamba tersebut bisa diterima oleh penghuni bumi.” Masyarakat islamiyah tidak akan dapat hidup bahagia kecuali dengan sifat persaudaraan dan kasih sayang yang dibangun hanya karena Allah semata. Rasa cinta karena Allah akan senantiasa terkenang kebaikan dan keutamaan di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini karena ia dibangun diatas keimanan dan aqidah yang benar. Dan hanya orang-orang berimanlah yang saling mencintai karena Allah dengan penuh keikhlasan.

 

Adapun orang-orang pengumbar hawa nafsu dan kesenangan dunia serta pemburu harta, tidaklah mereka berkumpul kecuali jika ada keuntungan  duniawiyah. Oleh karenanya ikatan hubungan merekapun cepat pudar tatkala keuntungan duniawiyah yang mereka harapkan lenyap. Sungguh tidak berbarokah hubungan yang seperti ini. Mengapakah demikian ?

Karena jiwa-jiwa mereka telah tertambat pada materi semata, bukan kepada Allah ta’ala. Manusiapun banyak yang menyangka bahwa orang-orang yang berharta itu tidaklah mereka mendapatkan hartanya kecuali karena usaha, kepandaian dan ambisi mereka. Manusiapun mendekat untuk mencintai mereka lantaran serpihan dunia yang mereka punya. Demikianlah seterusnya. Hingga tatkala harta mereka telah lenyap dan kefakiran nampak pada diri mereka, maka manusiapun tidak lagi mencintainya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

 

Mereka tidak akan mencintai orang-orang sholeh. Karena kecintaan mereka dibangun bukan karena Allah.   Sungguh menarik apa yang disampaikan oleh ibnu Abbas tentang Abdurrahman bin Auf (shahabat Nabi yang kaya-raya namun tetap terjaga kesolehannya). Ibnu Abbas berkata, ”Allah telah menjadikan kecintaan baginya di hati para hamba. Tidaklah seorang mukmin memandangnya kecuali akan menghormat padanya. Dan tidaklah seorang kafir atau munafik melihat padanya kecuali akan mengagungkannya.” (Tafsir Al Qurthubi,Tahqiq Ahmad Abdul ‘Alim 11/161)

 

Bersabarlah dan jagalah ketakwaan, karena Allah telah menjanjikan rasa cinta yang begitu indahnya dihati kaum mukminin dan para malaikat bagi mereka pada hari akhirat.


Sumber:
http://kebunhikmah.wordpress.com/2009/12/23/mencintai-karena-allah/#more-2086
Rujukan :  hasil saduran dan peringkasan terhadap tulisan asli Syaikh Shodiq Al Baidhani di http://baidhani.com/modules.php?name=Content&pa=showpage&pid=133 (http://www.direktori-islam.com/2009/08/sifat-ikhlas-dalam-mencintai/)

No comments:

Post a Comment

Kemerdekaan Menurut Islam

Salah satu hak setiap bangsa, golongan, masyarakat atau pribadi yaitu hak mendapatkan kemerdekaan lahir batin. Lalu, ba...