Suatu hari Abdullah ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang masih belia beroleh wasiat dari sepupunya yang mulia, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Wahai anak1, sungguh aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau meminta (suatu keperluan) maka mintalah kepada Allah dan jika engkau meminta pertolongan maka minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah, andai umat ini berkumpul untuk memberikan suatu kemanfaatan kepadamu, niscaya mereka tidak akan bisa memberikannya selain sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah bagimu. Sebaliknya, jika mereka berkumpul untuk menimpakan suatu kemudaratan kepadamu niscaya mereka tidak akan bisa melakukannya, selain sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah atasmu. Telah diangkat pena dan telah kering lembaran catatan.”2
Dalam riwayat lain, Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalambersabda kepadanya: “Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan dapati Dia di hadapanmu. Kenalilah Allah dalam keadaan engkau lapang niscaya Dia akan mengenalimu saat engkau dalam kesempitan. Ketahuilah, apa yang telah ditetapkan luput darimu niscaya tidak akan menimpamu dan apa yang ditetapkan menimpamu niscaya tidak akan luput darimu. Ketahuilah, pertolongan itu bersama kesabaran, kelapangan itu bersama kesulitan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.”3
Wasiat yang tersampaikan lewat lisan Rasul Shalallahu ‘alaihi wassalam ini adalah wasiat yang sangat bermanfaat. Sepantasnya setiap muslim menghafalkan dan mengamalkannya karena mengamalkannya akan mendatangkan kebahagiaan dan kesuksesan.
Wasiat pertama: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Jagalah Allah niscaya Allah akan menjagamu.”
Menjaga Allah Subhanahu wata’ala adalah menjaga syariat agama-Nya dan batasan-batasan-Nya, yakni seseorang menjaga ketaatan kepada Allah dan menegakkan batasan-batasan Allah. Jika batasan tersebut berupa kewajiban maka ia tidak melampauinya. Jika berupa keharaman, ia meninggalkan dan menjauh darinya. Siapa yang menjaga Allah niscaya Allah akan menjaga agama, keluarga dan hartanya.
Menegakkan ketaatan kepada Allah adalah sebab dijaganya agama seorang hamba hingga ia wafat. Di samping itu, ia juga menjadi sebab terjaganya keluarga seseorang ketika hidupnya dan setelah matinya sehingga tidak terjadi sesuatu yang tak disukai pada keluarga yang ditinggalkan. Disebutkan dalam surah al-Kahfi tentang perjalanan Nabi Musa Alaihi salam dan Nabi Khidhir Alaihi salam, saat Nabi Khidhir menegakkan dinding yang hampir roboh karena di bawahnya ada harta yang tersimpan milik dua anak yatim yang akan dikeluarkan oleh Allah apabila keduanya telah dewasa. Disebutkan bahwa ayah kedua anak tersebut adalah seorang yang saleh.
“Adalah ayah keduanya seorang yang saleh.” (al-Kahfi: 82)
Ini menjadi bukti penjagaan Allah Subhanahu wata’ala terhadap keturunan seorang hamba yang saleh.
Menjaga batasan Allah juga menjadi sebab terjaganya harta seorang hamba. Bukankah Allah Subhanahu wata’ala telah berfirman: “Siapa yang bertakwa kepada Allah, Dia akan jadikan jalan keluar baginya dan Dia beri rezki dari arah yang tidak disangka-sangka.” (ath-Thalaq: 2—3)
Betapa banyak orang yang diberkahi hartanya, dijaga dari penyakit-penyakit dan gangguan karena ia menjaga batasan-batasan Allah.
Wasiat kedua: Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, “Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu.”
Termasuk manfaat yang diperoleh hamba dengan ia menjaga batasan-batasan Allah adalah Allah ada di hadapan si hamba. Allah Subhanahu wata’ala memberi hidayah kepadanya berupa hal-hal mengandung kebaikan si hamba. Allah Subhanahu wata’ala juga memudahkan urusannya sehingga tidak ia dapatkan sebuah urusan pun melainkan menjadi mudah dan ringan.
Wasiat ketiga: “Kenalilah Allah dalam keadaan lapang niscaya Dia akan mengenalimu di saat sempit.”
Tabiat umumnya manusia, saat lapang ia bersenang-senang dan melupakan hak-hak Allah. Adapun orang-orang yang diberikan taufik, mereka mengetahui bahwa kelapangan tidaklah terus-menerus dirasakan. Pasti ada saatnya seseorang jatuh dalam kesempitan dan kesulitan—paling tidak kesulitan saat kematian: berpisah dengan harta, istri dan anak. Maka dari itu, ketika lapang mereka melakukan amalan yang bisa menolong mereka di saat sempit. Di saat lapang mereka mengenali Rabb mereka dengan cara menunaikan ketaatan kepada-Nya. Allah Subhanahu wata’ala tidak kehilangan mereka dari mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Allah Subhanahu wata’ala pun tidak mendapati mereka mengerjakan apa yang dilarang oleh-Nya. Siapa yang mengenal Allah dalam keadaan senang, di saat sehat, atau di saat hidup dalam kekayaan, niscaya Allah akan mengenalinya dalam keadaan sempit.
Kesempitan bisa berupa kefakiran, sakit, atau rasa takut. Kesempitan paling besar yang akan dialami seorang hamba adalah saat kematian, karena kematian adalah saat berpisah dengan dunia dan menuju ke negeri akhirat. Dalam keadaan seperti ini, yang paling dia butuhkan adalah kelembutan Allah Subhanahu wata’ala dan rahmat-Nya. Di saat kematian datang menjemputnya, terkumpul padanya berbagai kesulitan: kesulitan berpisah dengan dunia, istri, anak, dan harta. Demikian juga kesulitan berupa rasa sakit yang menimpanya saat itu (sakaratul maut), kesulitan berupa ngerinya pemandangan yang ada, ditambah oleh kesulitan untuk tetap kokoh di atas iman. Hal ini karena setan sangat berambisi untuk menyimpangkan hamba dan menyesatkannya saat itu. Saat tersebut adalah poros penentu kebahagiaan seorang hamba atau celakanya. Bisa jadi, di saat genting demikian, ditawarkan kepada si hamba agama Yahudi dan Nasrani atau selainnya sebagai fitnah (ujian) baginya. Jika si hamba mengenali Rabbnya di saat lapang, Allah akan mengenalinya dalam kesempitan, mengokohkannya, dan menutup umurnya dengan akhir yang baik (husnul khatimah).
Wasiat keempat dan kelima: Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, “Apabila engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan bila engkau minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.”
Siapa yang ingin kebutuhannya terpenuhi tanpa harus berutang budi kepada seseorang selain Allah saja dan tanpa beroleh kesulitan, hendaknya ia memohon kepada Allah Subhanahu wata’ala, minta keutamaan, dan bersandar hanya kepada-Nya.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam telah membaiat sejumlah sahabat beliau agar tidak meminta apapun kepada manusia. Sampai-sampai ada salah seorang dari mereka yang cambuk atau tali kekang untanya jatuh, namun ia tidak meminta seorang pun untuk mengambilkannya. (HR. Muslim)
Kalaupun kita terpaksa minta tolong kepada makhluk dalam hal yang makhluk mampu melakukannya, yakinlah bahwa itu hanyalah sebab. Adapun yang menetapkannya dan menolong secara hakiki adalah Dia Yang di Atas. Maka dari itu, jangan lupakan Dia ketika Dia menolongmu lewat perantara seseorang dari kalangan hamba-Nya.
Di akhir sabdanya (dari hadits tersebut diatas), Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam menerangkan bahwa umat ini tidak akan mampu memberikan kemanfaatan kepadamu atau memudaratkanmu selain apa yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wata’ala bagimu. Apa yang telah ditetapkan oleh Allah atasmu, pasti akan menimpamu karena ketentuan takdir telah selesai. Semuanya telah tercatat.
Setelahnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam berkata kepada sepupunya (Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu) agar ia tahu bahwa pertolongan itu datang bersama kesabaran. Siapa yang bersabar, ia akan menang dan mencapai tujuannya. Kelapangan itu bersama kesulitan. Kapan saja kesulitan itu semakin besar menimpamu dan urusannya terasa sempit bagimu, menghadaplah kepada Rabbmu. Nantikanlah kelapangan dari-Nya karena sungguh kelapangan itu sangat dekat. Dan kesulitan itu bersama kemudahan. Kesulitan itu dilingkupi oleh dua kemudahan, kemudahan yang telah lewat dan kemudahan yang akan datang.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman: “Maka sungguh bersama kesulitan ada kemudahan. Sungguh bersama kesulitan ada kemudahan.” (al-Insyirah: 5—6)4
Oleh karena itu, satu kesulitan tidak mungkin mengalahkan dua kemudahan, kata Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu.
Demikianlah wasiat Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalamkepada anak pamannya. Hafalkan, realisasikan dan amalkanlah, mudah-mudahan kita termasuk orang yang beruntung.
Sebagai penutup, kita akan menyimpulkan beberapa faedah dari hadits di atas.
1. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memiliki sifat lembut kepada orang yang kedudukannya di bawah beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam. Dalam hal ini, beliau menyapa sepupunya dengan kalimat, “Wahai anak!”
2. Sebelum menyampaikan sesuatu yang penting, hendaknya seseorang mengawali dengan kalimat yang menarik perhatian pendengar. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam mengatakan, “Wahai anak, aku ingin mengajarkan kepadamu beberapa kalimat.”
3. Siapa yang menjaga Allah Subhanahu wata’ala, niscaya Allah akan menjaganya.
4. Siapa yang menyia-nyiakan agama Allah, Allah pun akan menyia-nyiakannya, tidak menjaganya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman: “Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang melupakan Allah maka Allah jadikan mereka melupakan diri-diri mereka. Mereka itulah orang-orang fasik.” (al-Hasyr: 19)
5. Siapa yang menjaga Allah, Allah akan memberi hidayah dan menunjukkan kebaikan kepadanya. Konsekuensi penjagaan Allah adalah Allah akan menghalangi kejelekan dari si hamba.
6. Jika seseorang membutuhkan pertolongan, hendaklah ia meminta tolong kepada Allah.
7. Manusia/makhluk yang ada tidak akan mampu memberikan kemanfaatan kepada seseorang melainkan apabila Allah Subhanahu wata’ala telah menetapkannya. Demikian pula sebaliknya, manusia tidak mampu memudaratkan seseorang melainkan jika Allah telah menentukannya.
8. Seseorang wajib menggantungkan harapannya kepada Allah dan tidak menoleh kepada makhluk karena makhluk tidak bisa memberi manfaat dan tidak pula dapat menolak kemudaratan.
9. Segala sesuatu telah tercatat dalam catatan takdir karena seperti kata Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalamdalam hadits yang sahih bahwa takdir makhluk telah Allah tetapkan 50.000 tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. (HR. Muslim)
10. Urusan yang telah ditetapkan oleh Allah akan diperoleh oleh seseorang, pasti dia akan mendapatkannya, tidak akan luput darinya. Sebaliknya, apa yang ditetapkan oleh Allah tidak akan diperoleh si hamba, selamanya ia tidak akan didapatkannya.
11. Kabar gembira yang agung bagi orang-orang yang bersabar, yakni dekatnya pertolongan Allah Subhanahu wata’ala untuknya karena pertolongan itu selalu bergandengan dengan kesabaran.
12. Kabar gembira besar yang lain, bahwa kesulitan itu pasti akan hilang karena kelapangan selalu bergandengan dengan kesulitan itu sendiri. Dengan demikian, manakala seorang hamba mengalami kesulitan dalam suatu urusan niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memberikan kelapangan kepadanya setelah kesulitan tersebut.
13. Kabar gembira yang ketiga adalah jika seseorang ditimpa oleh kesulitan maka hendaklah ia menanti datangnya kemudahan karena Allah telah menyebutkan hal tersebut dalam Al-Qur’anul Karim. Dia Yang Mahasuci berfirman: “Maka sungguh bersama kesulitan ada kemudahan. Sungguh bersama kesulitan ada kemudahan.” (al-Insyirah: 5—6)
Jika urusan yang engkau hadapi terasa sulit, berdoalah kepada Allah sembari menantikan kemudahan dari-Nya dan membenarkan janji-Nya.
14. Hiburan bagi hamba tatkala terjadi musibah dan terluput dari urusan yang diidamkannya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalambersabda (yang artinya), “Ketahuilah apa yang telah ditetapkan luput darimu niscaya tidak akan menimpamu. Dan apa yang ditetapkan menimpamu niscaya tidak akan luput darimu.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Dinukil secara ringkas dari adh-Dhiya’ul Lami’ minal Khuthabil Jawami’, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 6/264—268, dan Syarhul Arba’in an-Nawawiyah, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 224—229)
Catatan Kaki:
1 Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalamwafat sementara Ibnu Abbas baru berusia sekitar 15 atau 16 tahun atau lebih kecil lagi.
2 HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, Kitab Shifatul Qiyamah, no. 2516, Ahmad dalam Musnad-nya, 1/293. Hadits ini sahih, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, al-Misykat no. 5302, dan Zhilalul Jannah, 316—318.
3 HR. Ahmad 1/307, al-Hakim dalam al-Mustadrak, 3/624.
4 Kesulitan yang disebutkan dalam ayat pertama sama dengan kesulitan yang disebutkan dalam ayat berikutnya. Penyebutannya diulangi menggunakan alif lam lil ‘ahd adz-dzikri. Namun, kemudahan yang disebutkan dalam ayat yang awal berbeda dengan kemudahan yang disebutkan dalam ayat berikutnya karena keduanya disebutkan dengan lafadz nakirah (tak tertentu). Dengan demikian, satu kesulitan akan dihadapi oleh dua kemudahan. (Lihat Tafsir al-Qur’anil Karim, Juz ‘Amma, hal. 253, karya asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t)
wedhakencana.blogspot.com
Sumber :
Wasiat Nabi Kepada Anak Pamannya (ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)
Dari: Majalah AsySyariah Edisi 066, halaman 97
No comments:
Post a Comment