Cinta Kepada Selain Allah
Fenomena syirik dalam cinta telah dijelaskan Allah Ta’ala dalam al-Qur’an: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya, sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat kuat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Cinta kepada Allah Ta’ala ada empat tingkatan:
Pertama: Seorang mencintai Allah melebihi selain-Nya. Inilah tauhid
Kedua: Seorang mencintai Allah seperti mencintai selain-Nya. Ini adalah syirik
Ketiga: Seorang mencintai selain Allah melebihi cintanya kepada Allah. Ini lebih besar dosa kesyirikannya dari yang sebelumnya
Keempat: Seorang mencintai selain Allah Ta’ala dan tidak ada sedikit pun kecintaan kepada Allah dalam hatinya. Ini lebih besar lagi dosa kesyirikannya dan lebih jelek lagi.” (Al-Qaulul Mufid, 1/200-201)
Takut kepada selain Allah Ta’ala
Takut kepada selain Allah Ta’ala terbagi menjadi tiga bentuk:
Pertama: Takut yang tersembunyi (dalam hati manusia), yakni takut dari suatu kemampuan khusus yang mereka yakini dimiliki oleh selain Allah Ta’ala, padahal kemampuan tersebut hanya dimiliki oleh Allah Ta’ala. Seperti keyakinan para penyembah kubur bahwa wali-wali yang mereka sembah memiliki kemampuan untuk menimpakan bahaya kepada mereka atau menghilangkannya dari mereka.
Bahkan mereka berani bersumpah bohong atas nama Allah, tetapi tidak berani bersumpah bohong atas nama wali karena takut kepada wali tersebut. Maka takut seperti ini adalah termasuk perbuatan syirik kepada Allah Ta’ala. Firman Allah Ta’ala: “Maka janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Ali Imran: 175)
Kedua: Takut karena sebab-sebab yang dapat dirasakan atau dilihat oleh panca indera, seperti takut kepada pencuri atau musuh. Takut seperti ini tidaklah termasuk syirik, dengan syarat tidak mengantarkan seseorang untuk meninggalkan perintah Allah Ta’ala.
Ketiga: Takut yang sifatnya tabiat, seperti takut dari binatang buas, takut terbakar, takut tenggelam dan lain-lain. Takut seperti ini juga tidak termasuk bentuk syirik kepada Allah Ta’ala atau maksiat kepada-Nya.
(lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 129-130)
Harap (Roja’) kepada selain Allah Ta’ala
Yaitu apabila seorang mengharap kepada selain Allah Ta’ala disertai dengan merendahkan diri dan ketundukan maka termasuk syirik, sebab hal tersebut termasuk ibadah yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah Ta’ala (lihat Syarh Tsalatsatil Ushul, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, dicetak dalam Jami’ Syarah Tsalatsatil Ushul, hal. 143)
Tawakkal kepada selain Allah Ta’ala
Allah Ta’ala telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk selalu bertawakkal kepada-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Maidah: 23)
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa tawakkal kepada Allah adalah ibadah dan hukumnya wajib, maka mempersembahkannya kepada selain Allah Ta’ala adalah syirik.” (Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 497)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata, “Tawakkal kepada Allah, serta benarnya penyandaran dan ketergantungan hati kepada-Nya adalah puncak pengamalan tauhid.” (Fathul Majid, hal. 60)
Taat kepada selain Allah dalam perkara maksiat kepada-Nya
Allah Ta’ala berfirman: “Mereka menjadikan ulama dan ahli ibadah mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Tafsir ayat ini telah jelas, yaitu tentang ketaatan kepada ulama dan kepada ahli-ahli ibadah dalam perkara maksiat kepada Allah. Jadi, bukanlah maksud ayat ini mereka berdoa kepada ulama dan kepada ahli-ahli ibadah tersebut. Dan hal ini sebagaimana yang ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim. “ (Ad-Durarus Saniyyah, 2/70)
Maksud beliau adalah sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam kepada ‘Adi bin Hatim radhiyallahu’anhu (seorang sahabat yang dahulunya beragama Kristen), ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menjelaskan makna ayat dalam surat at-taubah ayat 31 di atas, beliau bersabda: “Sesungguhnya orang-orang Kristen tidaklah beribadah kepada mereka (ulama dan ahli ibadah), akan tetapi mereka mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan (maka itulah yang dimaksud beribadah kepada mereka).” (HR. At-Tirmidzi, no. 3095, dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah, no. 3293 dan Ghayatul Marom, no. 6)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Mereka yang menjadikan ulama dan ahli ibadah sebagai tandingan-tandingan selain Allah dengan mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan, dari dua sisi:
Pertama: Mereka tahu bahwa ulama dan ahli ibadah mereka telah merubah agama Allah, lalu mereka ikuti agama yang telah dirubah tersebut. Sehingga mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan demi mengikuti pemimpin-pemimpin (agama) mereka, padahal mereka tahu bahwa pemimpin-pemimpin tersebut telah menyelisihi agama Rasul. Maka ini adalah kekafiran. Allah dan Rasul-Nya telah menjadikan perbuatan ini termasuk syirik, meskipun mereka tidak shalat dan sujud kepada ulama dan ahli ibadah mereka.
Maka seorang yang mengikuti orang lain dalam perkara yang bertentangan dengan agama padahal ia mengetahui bahwa perkara tersebut bertentangan dengan agama dan ia meyakini kebenaran perkataannya bukan perkataan Allah dan Rasul-Nya, ia pun musyrik seperti mereka.
Kedua: Mereka tetap meyakini dan mengimani bahwa yang diharamkan para ulama dan ahli ibadah mereka adalah halal dan yang dihalalkannya adalah haram, namun mereka tetap mentaati para ulama dan ahli ibadah tersebut dalam perkara maksiat kepada Allah, sebagaimana seorang muslim yang melakukan maksiat dan ia tetap meyakini bahwa perbuatannya itu adalah maksiat, maka yang seperti ini hukumnya sama dengan hukum bagi pelaku dosa besar (tidak sampai kafir).” (Majmu’ al-Fatawa, 7/70)
Bagaimana dengan seorang ulama mujtahid yang ijtihadnya salah dan bagaimana pula hukum orang yang mengikuti ijtihad tersebut?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Kemudian orang yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram apabila ia seorang mujtahid yang bertujuan untuk mengikuti Rasul namun ia belum mengetahui kebenaran dalam perkara tersebut dan ia telah bertakwa kepada Allah sesuai kemampuannya, maka yang seperti ini tidaklah Allah mengadzabnya karena kesalahannya, bahkan Allah akan membalas dengan kebaikan atas kesungguhannya dalam mentaati Rabbnya.
Akan tetapi orang yang mengetahui bahwa sang ulama mujtahid tersebut telah salah, tidak sesuai dengan petunjuk Rasul, lalu kemudian ia tetap mengikuti kesalahan tersebut dan berpaling dari perkataan Rasul, maka orang seperti ini telah melakukan satu bentuk syirik yang dicela oleh Allah Ta’ala.
Terlebih lagi jika ia mengikuti ulama mujtahid tersebut hanya karena hawa nafsunya sendiri dan ia mendukung kesalahan tersebut dengan lisan dan tangannya, padahal ia tahu bahwa hal itu bertentangan dengan petunjuk Rasul, maka ini termasuk syirik yang mengharuskan pelakunya dihukum.” (Majmu’ al-Fatawa, 7/71)
Sumber :
Peringatan Dari Bahaya Syirik, oleh Al Ustadz Abu Abdillah Sofyan Chalid bin Idham Ruray
http://nasihatonline.wordpress.com
No comments:
Post a Comment