Sesungguhnya Allah telah menjadikan setan sebagai musuh bagi para Nabi dan kaum mukminin. Allah berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi
tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan
(dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau
Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka
tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”(Al-An’am: 112)“Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh (mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 6)
Maka ayat yang mulia ini menyebutkan adanya dua senjata ampuh untuk menghadapinya, yaitu sabar dan yakin.
Ibnul Qayyim rahimahumullah menjelaskan dalam kitabnya Zadul Ma’ad bahwa berjihad melawan setan terdiri dari dua bagian:
Pertama: Berjihad melawannya dengan cara menolak syubhat (ujian berupa keragu-raguan pemikiran akan kebenaran Islam, red) dan berbagai keraguan yang dapat merusak keimanan yang dilemparkan kepada seorang hamba.
Kedua: Berjihad melawannya dengan cara menolak berbagai kehendak yang rusak dan syahwat (ujian berupa godaan jasmani dan hawa nafsu, red) yang dilemparkan kepada seorang hamba.
Jihad yang pertama akan menghasilkan keyakinan dan jihad yang kedua menghasilkan kesabaran. (Zadul Ma’ad, 3/10)
Maka seorang muslim hendaknya berusaha sekuat mungkin untuk melawan dua senjata setan yang telah menyebabkan banyak dari kalangan manusia menyimpang dari jalan Allah. Jika tidak, maka setan akan menghunjamkan salah satu senjata yang dimilikinya itu atau bahkan kedua-duanya. Sehingga dengan berbagai macam fitnah syubhat dan syahwat, hatinya tertutupi dari menerima hidayah dari Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu alahi wassalam bersabda:
“Dilekatkan berbagai fitnah kepada hati-hati (manusia), seperti anyaman tikar sehelai demi sehelai. Maka hati mana saja menyukainya, maka diberi titik berupa satu titik hitam. Dan hati mana saja yang mengingkarinya, maka diberi titik dengan satu titik putih. Sehingga ada yang hatinya berwarna putih seperti batu licin berwarna putih, tidak dimudharatkan oleh fitnah selama bumi dan langit masih ada. Dan hati yang lain berwarna hitam keruh, seperti gelas terbalik. Dia tidak mengenal yang ma’ruf, dan tidak mengingkari kemungkaran kecuali yang dimasuki oleh hawa nafsunya.” (HR. Muslim dari Hudzaifah radiyallahu anhu)
Menangkal Syubhat dan Syahwat
Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa senjata setan dalam menyebarkan fitnah terdiri dari dua macam: fitnah syubhat (ujian berupa keragu-raguan pemikiran akan kebenaran Islam, red) dan fitnah syahwat (ujian berupa godaan jasmani dan hawa nafsu, red), di mana fitnah syubhat adalah yang terbesar. Terkadang kedua fitnah ini dapat bercokol pada diri seorang hamba dan terkadang pula salah satunya.
Adapun fitnah syubhat disebabkan karena lemahnya wawasan dan dangkalnya ilmu dien (agama). Terlebih lagi jika dibarengi adanya maksud jelek, munculnya hawa nafsu, sehingga yang menjadi hakim adalah hawa nafsu, dan bukan petunjuk, sebagaimana yang difirmankan Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpin-mu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (At-Taubah: 23)
Sungguh Allah telah mengabarkan bahwa mengikuti hawa nafsu menjadi sebab tersesatnya seseorang dari jalan Allah. Firman-Nya:
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shad: 26)
Setelah menyebut ayat ini, Al-Imam Ibnul Qayyim t berkata: “Akibat fitnah ini adalah kekufuran dan kemunafikan. Ini adalah fitnah yang dialami kaum munafik dan ahli bid’ah sesuai tingkat kebid’ahan-nya. Secara keseluruhan, tidaklah mereka berbuat bid’ah melainkan dikarenakan terkena berbagai fitnah syubhat yang menyebabkan tersamarnya kebenaran dan kebatilan, dan antara petunjuk dan kesesatan.
Tidak ada yang dapat menyelamatkan dari fitnah ini melainkan dengan cara memurnikan sikap ittiba’ (senantiasa mengikuti) kepada Rasul. Menjadikannya sebagai hakim dalam seluruh perkara agama, yang jelas maupun yang pelik, yang nampak maupun yang tersembunyi, baik yang mencakup masalah aqidah, amalan, prinsip, dan syariatnya. Maka diambil ilmu dari Rasul dalam perkara hakekat keimanan, syariat Islam, dan apa-apa yang ditetapkan Allah dari sifat, perbuatan, nama-nama-Nya, dan apa-apa yang dinafikan darinya.
Sebagaimana diambilnya ilmu darinya dalam perkara kewajiban shalat, waktu-waktunya, dan jumlah rakaatnya. Demikian pula ketentuan dalam membayar zakat, orang-orang yang berhak menerimanya. Juga tentang wajibnya wudhu dan mandi dari junub, berpuasa di bulan Ramadhan. Maka jangan dia menjadikannya sebagai Rasul dalam sebagian perkara, namun tidak pada sebagian perkara agama yang lain. Tetapi beliau adalah seorang rasul dalam setiap perkara, di mana umat sangat mem-butuhkannya dalam berilmu dan beramal.
Tidak boleh diambil agama kecuali darinya, karena petunjuk seluruhnya bersum-ber di antara ucapan dan perbuatannya. Dan setiap apa yang menyimpang darinya maka itu adalah kesesatan. Hatinya terikat di atas hal tersebut dan berpaling dari yang lainnya dan menimbangnya berdasarkan apa yang dibawa Rasul. Jika sesuai dengan apa yang dibawa Rasul, maka diapun menerimanya. Dan dia menerimanya bukan karena ucapan orang tersebut, melainkan karena menco-coki Rasul. Dan jika bertentangan dengan apa yang dibawa Rasul, maka diapun menolaknya, siapapun yang mengatakan-nya. Maka inilah yang dapat menyelamat-kannya dari fitnah syubhat.
Jika ia tidak memperoleh hal itu, maka dia akan terjerumus ke dalam fitnah sesuai kadar dia meninggalkan (As-Sunnah). Fitnah ini terkadang muncul dari pemaham-an yang rusak, terkadang dari nukilan seorang pendusta, dan terkadang dari kebenaran yang tersamarkan atasnya dan belum menemukannya. Terkadang pula dari adanya tendensi yang rusak, hawa nafsu yang diikuti, sehingga dia menjadi buta dalam berilmu dan rusak dalam kehendak-nya.
Adapun yang kedua adalah fitnah syahwat. Di mana Allah telah mengumpulkan kedua fitnah tersebut dalam firman-Nya yang telah lalu yaitu:
“(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin adalah) seperti keadaan orang-orang yang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta benda dan anak-anaknya daripada kamu. Maka mereka telah menik-mati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagianmu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagian-nya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakap-kannya. Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi.”(At-Taubah:69).
Maka ayat ini mengisyaratkan kepada apa yang terjadi dari rusaknya hati dan keyakinan dengan sebab menikmati bagian (syahwatnya) dan tenggelam dalam kebatilan yaitu syubhat.
Sebab rusaknya agama terkadang disebabkan karena keyakinan batil yang bercokol atau beramal menyelisihi ilmu yang benar. Maka yang pertama adalah bid’ah dan segala yang berhubungan dengannya, dan yang kedua adalah kefasikan dalam beramal. Yang pertama datangnya dari arah syubhat sedangkan yang kedua datangnya dari arah syahwat. Oleh karena itu para ulama Salaf mengatakan:
“Hati-hatilah dari dua jenis manusia: pengikut hawa nafsu yang telah terfitnah oleh hawa nafsunya dan hamba dunia yang telah dibutakan oleh dunianya.”
Mereka juga mengatakan: “Hati-hatilah dari terfitnahnya seorang alim yang fajir dan ahli ibadah yang jahil. Karena sesungguhnya fitnah keduanya merupakan fitnah bagi setiap orang yang terfitnah.”
Sumber dari setiap fitnah adalah mendahulukan ra`yu (akal) daripada syariat dan mendahulukan hawa nafsu daripada akal. Maka yang pertama merupakan sumber fitnah syubhat, sedangkan yang kedua merupakan sumber fitnah syahwat (ujian hawa nafsu, red). Maka fitnah syubhat ditolak dengan keyakinan, sedangkan fitnah syahwat ditolak dengan kesabaran. Maka dari itulah Allah menjadikan kepemimpinan dalam agama disandarkan kepada dua perkara ini.” (Lihat Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim, 2/165-167).
Wallahul muwaffiq.
Sumber :
Tulisan ini dikutip dari tulisan berjudul “Meraih Kepemimpinan dalam Agama” (ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi), Majalah AsySyariah Edisi 022
Untuk membaca selengkapnya silahkan klik http://asysyariah.com/meraih-kepemimpinan-dalam-agama.html
No comments:
Post a Comment